Selasa, 23 Oktober 2012

Tiga Tahun tanpa Malu


Tiga Tahun tanpa Malu
Ichsanuddin Noorsy ;  Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)
MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2012
 


TIGA tahun lalu euforia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) demikian menghentak banyak kalangan. Betapa tidak, setelah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) 124% pada 2005 dan 27% pada Oktober 2008, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 untuk bidang ekonomi sebenarnya tak satu pun yang tercapai.

Banyak ahli berpendapat, bila disandingkan dengan siapa pun, SBY pasti menang. Media massa pun melihatnya demikian seiring dengan tandingan politik SBY yang kurang piawai dalam membangun komunikasi politik dengan publik. SBY jelas telah berhasil menyulap bantuan langsung tunai (BLT)--yang saya sebut sebagai suap politik di Metro TV--yang memang sudah diperjanjikan dengan Bank Dunia sebagai kedermawanan pemerintah kepada rakyat miskin, sekaligus berhasil membangun opini bahwa subsidi BBM dan listrik adalah salah sasaran.

Konversi minyak tanah ke LPG 3 kg termasuk pembagian gratis tabungnya, kredit usaha rakyat, beras untuk rakyat miskin (raskin), dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat yang walaupun sumbernya dari utang luar negeri mampu menyulap kegagalan RPJMN 2004-2009 menjadi pesona kepemimpinannya yang cerdas, bersih, dan santun.

Apalagi ditambah dengan berita media asing yang menyebutkan Indonesia akan segera mengikuti jejak India yang sukses dalam pembangunan ekonomi. Tidak mengherankan, saat krisis ekonomi 2008 terjadi dan berlanjut hingga
kini, duet SBY-Boediono justru menunjukkan keberhasilan. Pertunjukkan itu ditampilkan lewat iklan-iklan di halaman muka koran-koran besar di Jakarta dengan pesan bahwa kebijakan yang dibangun sudah benar, sedangkan kaum pesimistis terheran-heran dengan keberhasilan itu.

Iklan yang sekaligus memuat kata-kata sarkastis itu seakan menyahuti kritik tokoh lintas agama tentang 18 kebohongan SBY dan stempel `Sibuya' serta kelompok kritis. Yang lebih menarik lagi, Pemilu 2009--sebelumnya sudah saya prediksi akan melemahkan struktur sosial, ekonomi, dan hukum Indonesia seperti wawancara saya di sebuah tabloid--justru berbuah masalah. Dengan mendayagunakan kebijakan yang seakan berpihak kepada kaum miskin itu, menyusul terciumnya bau masalah pada daftar pemilih tetap dan soal IT pada KPU, euforia tersebut hanya berumur dua bulan. Sebab, berikutnya DPR RI segera membentuk panitia khusus yang menyelidiki kasus dana talangan Rp6,762 triliun kepada Bank Century.

Suara Semu

Dengan latar belakang pengalaman berpolitik di era Soeharto dan reformasi, saya mencoba memahami euforia 2004 dan 2009 itu yang malah berbuah pada penyanderaan sosial, politik, dan merosotnya kewibawaan pemerintah. Saya memahaminya karena program keberpihakan kepada kaum miskin dan pencitraan yang dibangun ternyata membuahkan suara semu (false vote). Rakyat memilih bukan karena kesadaran dan penge tahuan tentang siapa dan apa yang dipilih dalam pemilu, m melainkan lebih karena alasan e ekonomi. Tahap lanjutan dari suara semu itu ialah lahirnya keterwakilan semu (false representative). Keterwakilan itu akan diindikasikan dengan banyaknya kebijakan legislatif dan eksekutif yang tidak didasarkan pada kehendak nurani rakyat. Aspirasi berhasil dijaring, tetapi gagal diagregasi karena dimanipulasi dengan cara mengubahnya menjadi kepentingan partai dan golongan bahkan pribadi. Semunya keterwakilan itu membuat kebijakan publik juga bernasib sama. Dalam dimensi bahwa kebijakan publik sepantasnya menunjukkan keberpihakan kepada kebutuhan mendasar dan mendalam pada rakyat banyak, yang terjadi secara esensial malah keberpihakan kepada kalangan yang telah membiayai investasi politik selama masa pemilu. Kebijakan semu (false public policy) itu sebenarnya berpijak pada model demokrasi korporasi, yakni suatu demokrasi politik yang secara sistemis bergerak karena kekuatan pembiayaan dan kepentingan korporasi.

Tahap lanjutannya ialah semunya penerapan good governance yang sejak awal 2005 saya sebut sebagai omdo (omong doang). Titik temu antara keterwakilan semu dan good governance semu ialah semunya kewibawaan pemerintah. Kewibawaan semu itu ditandai dengan tidak dihargai dan dihormatinya hukum, munculnya konflik kelembagaan dalam tubuh pemerintahan, perbedaan pendapat anggota kabinet yang tidak terselesaikan dengan baik, dan kuatnya rekayasa politik serta transaksi materi dalam proses pencarian dan pene gakan keadilan.

Garis yang terbentuk dari titik suara semu dan kebijakan semu itu pun merupakan cara pandang politisi, birokrasi, dan kaum teknokrat yang hanya berjangka pendek. Alhasil, kita bisa memahami kenapa sikap masyarakat begitu. Semuanya mengandung muatan transaksional material dan egoisme sektoral.

Saya mencermati hal itu bukan hanya produk SBY-Jusuf Kalla dan SBY-Boediono. Di era Soeharto, itu sudah terjadi walau ma sih setengah hati.
 
Namun, begitu melangkah di era reformasi, muatan transaksional material meluas dan makin mendalam karena SBY tanpa sungkan menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal. Walau pada 12 Juli 2007 SBY menyatakan tidak menerapkan kebijakan ekonomi neoliberal dan pada musim kampanye 2009 menyatakan lagi menerapkan ekonomi jalan tengah sebagai respons kampanye antineolib, faktanya SBY menandatangani jaminan investasi Singapura di Indonesia pada 15 Februari 2005, melahirkan UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang lebih agresif daripada UU No 01/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan sejumlah UU lain yang menegaskan ke berlakuan mekanisme pasar bebas, privatisasi (terbuka atau terselubung, langsung atau tidak langsung).

Pada 10 November 2010, ia juga menandatangani perjan jian kemi jian kemi traan strategis dengan pemerintah AS. Sebelum AS. Sebelum itu, pada 13 April 2010 di Washington, Wakil Presiden Boediono telah menandatangani perjanjian jaminan investasi.

Percaya Diri

Liberalisasi ekono mi, sebagai wujud globalisasi dan wajah terintegrasinya per ekonomian nasional dengan ekonomi global, dijalankan walau bertemu dengan hambatan di Mahkamah Konstitusi (MK) karena banyak kalangan memohon judicial review sejumlah UU yang digagas pihak asing. Beberapa media massa dan jaringan internet bahkan menginventarisasi UU yang berjiwa neoliberal itu. Jauh sebelum isu tersebut merebak, saya bahkan menyampaikannya di MK dan BIN.

Dengan modal dukungan suara Pemilu 2009 di atas 60%, SBY-Boediono percaya diri bahwa pemakzulan tidak akan terjadi karena adanya koalisi semu, walau terganggu juga oleh gerakan yang ingin menjatuhkannya. Terganggunya SBY-Boediono juga terjadi karena media asing pernah menuliskan mereka sebagai itchy dan lame duck. Kepercayaan diri dan gangguan itu terus berjalan walau pertumbuhan ekonomi termasuk ketiga tertinggi setelah RRC dan India, serta meningkatnya peringkat menjadi layak investasi di tengah resesi besar ekonomi yang masih belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.

Kepercayaan diri itu juga muncul karena BPS menunjukkan angka statistik penurunan angka pengangguran terbuka dan kemiskinan, sedangkan gangguan esensial tidak bisa dihindari karena ke timpangan terus meningkat dari 0,33 menjadi 0,41. Ketimpangan itu juga tampak dari pemilik simpanan pada bank umum di atas Rp1 miliar hingga Rp5 miliar dan di atas Rp5 miliar. Pada 2005, total rekening simpanan umum mencapai 84,76 juta.

Sementara itu, pemilik rekening di atas Rp1 miliar hingga Rp5 miliar dengan jumlah nominal Rp199,3 triliun mencapai 0,18% dan 0,17% untuk di atas Rp5 miliar dengan nominal Rp364,3 triliun. Artinya hanya 0,35% dari jumlah rekening yang menguasai 49,9% dari total simpanan Rp1.130,2 triliun. Di 2008, pemilik rekening Rp1 mi liar-Rp5 miliar menjadi 0,18% dan di atas Rp5 miliar 0,03% dari total 81,83 juta rekening. Namun, 0,18% itu mempunyai uang Rp281,2 triliun dan yang 0,03% memiliki sampai dengan Rp100 juta mencapai 97% lebih dengan nominal hanya 17% lebih dari total nominal simpanan umum Rp2.502,3 triliun. Pemilik Rp1 miliar-Rp5 miliar mencapai 0,23% dari total 99,71 juta rekening yang menguasai nominal Rp1212,6 triliun (48,46%).

Adapun pemilik uang di atas Rp5 miliar mencapai Rp1.007 triliun (40,21%) dengan jumlah rekening 0,04%. Itu membuktikan kebanggaan pada tingginya PDB untuk menentukan purchasing power parity tidak memadai dan menyesatkan. Ketimpangan tersebut masih bisa dibuktikan lagi lewat besarnya andil makanan dan minuman serta transportasi di atas 50% dalam membentuk besaran inflasi tahunan.

Sementara itu, isu kedaulatan ekonomi yang mencakup kedaulatan pangan, energi, keuangan, infrastruktur, dan hubungan luar negeri tetap merupakan persoalan. Itu membuktikan politisi, birokrat, dan kaum teknokrat bersikap ahistoris atas perjuangan para pahlawan dan founding fathers, bahkan bertentangan dengan semangat menegakkan harkatmartabat bangsa. Jika merujuk situasi dan kondisi AS yang juga demikian timpang karena kue ekonomi hanya dikuasai 1% masyarakat AS, Stiglitz berkesimpulan bahwa sistem ekonomi dan politik AS telah gagal.

Kajian Stiglitz tidak baru. Sejumlah ekonom sebelumnya sudah menyatakan kebijakan neoliberal telah gagal dalam 150 tahun ini. Ironisnya, kenapa kita tidak malu menerapkan kebijakan yang gagal itu? Menjelang 2014, SBY-Boediono masih punya waktu walau tidak memadai. Namun bila memperhatikan keterikatan dengan perjanjian multilateral dan bilateral yang dibuat SBY-Boediono, melihat sosok-sosok yang berada di sekitarnya, dan merujuk sejumlah capres yang bermunculan untuk Pilpres 2014, rasanya Indonesia akan tetap di bawah panji neoliberal. Akankah begitu? Sejarah akan membuktikannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar