Selasa, 23 Oktober 2012

Mitos Keliru tentang UN


Mitos Keliru tentang UN
Sukemi ;  Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media
MEDIA INDONESIA, 23 Oktober 2012



TULISAN Saudara Kreshna Aditya berjudul ‘Kuda Mati Bernama Ujian Nasional’ di Media Indonesia (15/10) menambah satu lagi mitos keliru tentang ujian nasional (UN) yang berkembang di masyarakat. Dengan maksud untuk memberikan tanggapan atas tulisan tersebut, artikel ini mengemukakan beberapa mitos yang santer di publik, tapi sesungguhnya mitos yang keliru. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memandang setiap opini yang dilontarkan masyarakat sebagai bagian dari partisipasi publik untuk kemajuan pendidikan nasional.

Sedikitnya ada sembilan mitos keliru tentang UN yang berkembang di publik. Harus diakui, ada dua kutub berbeda tentang UN, yang menentang dan setuju. Itu kenyataan dan pemerintah tentu harus memilih satu di antaranya dengan pijakan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Hal pertama tentang UN yang keliru dipahami terkait dengan memaknai amar putusan Mahkamah Agung (MA), sebagaimana ditulis dalam rubrik ini bahwa MA telah mengeluarkan putusan menghentikan ujian nasional sampai pemerintah memastikan keadilan distribusi layanan pendidikan.

Itu pernyataan menyesatkan dan telah berkembang menjadi mitos yang keliru. Dalam amar putusan MA, tidak ada satu kata pun yang menyatakan penghentian pelaksanaan UN.

Terkait perbaikan sarana dan prasarana, tentu akan terus berlanjut sampai kapan pun. Begitu juga dengan peningkatan kualitas guru, karena sangat menentukan kualitas murid. Karena itulah uji kompetensi dalam bentuk uji kompetensi awal (UKA) dan uji kompetensi guru (UKG) dilakukan. Itu dilakukan untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan.

Mitos keliru kedua tentang UN sebagai satu-satunya alat untuk kelulusan. Kenyataannya, UN bukan lagi menjadi satu-satu faktor yang menentukan kelulusan. UN hanya berkontribusi pada 60% kelulusan, sisanya yang 40% berasal dari ujian sekolah. Itu pun harus disertai dengan syarat bahwa seorang siswa hanya bisa mengikuti UN bilamana telah menyelesaikan seluruh kewajiban dalam proses pendidikannya di sekolah.

Ketiga, mitos keliru yang menyatakan bahwa UN hanya menguji kemampuan kognisi siswa. Pendapat tersebut sepertinya benar semata-mata karena jawaban soal UN adalah pilihan berganda. Pertanyaannya, apakah setiap jawaban berganda itu berlandaskan kekuatan hafalan belaka? Kenyataannya tidak. Ujian dengan jawaban pilihan berganda itu juga bisa dipakai untuk mengukur kemahiran analisis dan kemampuan sintesis. Pendekatan itu pula yang ditempuh dalam UN, ada soal untuk mengukur kekuatan hafalan, ada soal menguji kemahiran analisis, dan ada pula soal untuk mengetahui kemampuan sintesis.

Keempat, mitos keliru tentang UN tiga hari menentukan seluruh proses pendidikan. Faktanya, kelulusan seorang siswa sangat bergantung pada sekolah dan dewan guru. Jika sekolah menilai seorang siswa belum layak lulus, katakanlah karena masalah moral yang melebihi tingkat kewajaran, sedangkan ia sangat pandai, pihak sekolah dapat mengambil keputusan untuk tidak meluluskan siswa tersebut. Sudah ada contoh kasus yang dilaksanakan sekolah.

Kelima, mitos keliru tentang UN yang membuat stres murid dan guru serta orangtua. Dalam proses pembelajaran, terminologi stres bukanlah berarti tekanan psikis yang mengarah ke keputusasaan, melainkan merujuk ke fakta naiknya tingkat belajar di kalangan peserta didik serta tenaga pendidikan dan kependidikan utamanya dalam menghadapi ujian.

Kenyataannya, setiap ada ujian, baik ujian sekolah maupun UN, tingkat stres tersebut naik. Hasil uji petik yang dilakukan Kemendikbud terhadap sejumlah peserta UN menunjukkan pada umumnya tingkat belajar para siswa naik sewaktu UN diselenggarakan.

Keenam, mitos UN meneror murid dan guru serta orangtua. UN merupakan bagian dari proses pendidikan dengan tujuan, antara lain, memetakan kualitas peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, dan kebijakan pendidikan. 
Oleh karena itu, sangat keterlaluan mereka yang menyamakan UN dengan terorisme.
Ketujuh, mitos tentang UN adalah termometer yang rusak. Menurut hemat kami, analogi itu tidaklah pas untuk penyelenggaraan UN. Pengibaratannya terlalu menyederhanakan realitas. UN bukanlah termometer, bukan pula barometer, melainkan multimeter. Yang hendak diukur UN mencakup sejumlah aspek yang melekat pada peserta didik, tenaga pendidik dan kependidikan, satuan pendidikan, wilayah, mata pelajaran, metode pengajaran, serta sarana dan prasarana, yang berujung pada intervensi yang mesti dilakukan atas temuan dari multimeter bernama UN ini.

Kedelapan, mitos UN selalu bocor dan penuh kecurangan. Fakta yang ada, beredarnya kunci jawaban yang tanpa kode mata pelajaran dengan spekulasi amat tinggi dan belum tentu kebenarannya. Itu diperoleh atas pengakuan beberapa siswa SMA di Jakarta Utara, yang tidak lulus, dan mengakui mereka telah mengerjakan jawaban dari bocoran kunci jawaban yang diperoleh.

Terhadap berbagai kemungkinan tersebut, pemerintah bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara terus melakukan perbaikan-perbaikan.

Pada pelaksanaan UN 2012, Kemendikbud telah membuka posko pengaduan. Lebih dari seribuan laporan masuk ke posko. Namun, hanya 30-an laporan yang bisa ditindaklanjuti di lapangan karena pengaduan itu faktual dengan menunjukkan peristiwa dan lokus kejadiannya. Itu pun setelah dilakukan pengecekan di lapangan terhadap laporan tersebut, tidak terbukti telah terjadi kebocoran.

Kesembilan, mitos UN tidak memberi manfaat bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional. Harus dipahami, dalam pengambilan keputusan, diperlukan data yang mencerminkan realitas lapangan. Untuk itu, data hasil UN berperan penting sebagai multimeter. Kementerian sangat memanfaatkan data hasil UN untuk mengintervensi kebijakan. Di situlah pentingnya UN jujur. Sekolah-sekolah yang UN-nya jujur niscaya mendapatkan banyak manfaat karena Kemendikbud menjadi tahu apa yang sebenarnya diperlukan sekolah itu.

Jelaslah kiranya, dari mitosmitos tersebut, apa yang selama ini disuarakan sebagian masyarakat yang kontra terhadap UN tidak sepenuhnya benar, termasuk yang ditulis Saudara Kreshna Aditya.

Pastinya, pemerintah tidak akan menutup mata terhadap berbagai masukan. Karena itu, upaya perbaikan terus-menerus dilakukan. Ada tiga hal yang terus-menerus diperbaiki agar UN kredibel. Pertama dari sisi metodologi, menyangkut pembuatan dan sistem penilaian soal; kedua, teknologi; serta ketiga, manajemen pelaksanaan. ●

1 komentar:

  1. Pak Sukemi ini nggak pernah baca koran apa ya?

    ini tentang Stress UN:

    http://www.antaranews.com/berita/306365/satu-siswi-batal-ikut-un-karena-stres

    http://www.merdeka.com/peristiwa/stres-jalani-un-sejoli-siswa-smk-berbuat-mesum.html

    http://dhahnd371.wordpress.com/2011/03/20/siswa-peraih-nilai-un-tertinggi-bunuh-diri-karena-tidak-lulus/

    Orang sperti itu kok bisa jadi staff ahli menteri?

    BalasHapus