Rabu, 24 Oktober 2012

Jerat Rezim Elektrokrasi


Jerat Rezim Elektrokrasi
Girindra Sandino ;  Koordinator Kajian Komite Independen Pemantau Pemilu
(KIPP) Indonesia
REPUBLIKA, 23 Oktober 2012
  

Tidak banyak perubahan fundamental yang diinginkan selama masa transisi yang telah berjalan kurang lebih 14 tahun bagi kita semua. Keinginan-keinginan itu, antara lain, 1) Menegakkan demokrasi yang egaliter dan rasional; 2)
Menyeret penjahat-penjahat negara ke pengadilan, baik sipil maupun militer; 3)
Penyelesaian krisis ekonomi yang tepat sasaran, yaitu dengan menolak monopoli swasta maupun negara. 

Pertama, kita semuanya berpotensi menjadi pencuri sebab selama ini negara lebih menekankan ide-ide kolektivisme, tetapi pada kenyataannya manusia- manusia yang ada di dalamnya bersikap individualistik yang tak bertanggung jawab. Mereka hanya memikirkan di ri mereka pribadi, keluarga, serta kelom- poknya. 

Kedua, hal itu pun dimanfaatkan oleh angkatan bersenjata dalam melihat keadaan masyarakat. Dalam berkuasa (semasa Orde Baru) mereka berhasil mengakumulasi modal secara kapitalistis demi keuntungan kelompok dalam bidang persenjataan dan kesejahteraan anggotanya. Ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi inilah kecenderungan militer di negara-negara berkembang.
Hal itu juga merupakan masalah yang serius menyangkut uang negara. 

Ketiga, bobroknya sistem politik pada masa Soeharto dengan Demokrasi Pancasila (1966-1998), yang menganut sistem otoritarianisme. Efek positif darinya ialah stabilitas negara cukup terjamin, tapi efek negatifnya kemakmuran hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu yang berada di pusat maupun kelompok yang mendekat ke pusat.

Mengkritik memang mudah, tapi melaksanakannya sulit. Kalau pemerintah berdalih bahwa mereka ditinggali sampah oleh rezim sebelumnya maka pernyataan ini lebih pantas dikeluarkan oleh orang tua yang sempit pikiran dan dadanya. Wajar pernyataan ini keluar dari pemerintahan yang melihat suatu masalah dengan seenaknya saja. 

Ada beberapa sifat dari pernyataan itu. Pertama, sifat status quo, bahwa penguasa lebih mengutamakan kelompok pendukungnya. Kedua, sifat oligarkis yang ada pada kekuasaan. Dan ketiga, sifat alamiah manusia bahwa lebih mudah mengeluh daripada bekerja untuk rakyat. Faktor-faktor ini akan menentukan arah dari suatu bangsa. 

Yang pasti, penguasa yang dihasilkan dari sifat-sifat tersebut bakal sewenang- wenang terhadap rakyatnya. Mereka lebih menekankan kewajiban yang tak pernah henti kepada rakyat. Sedangkan, rakyat tidak pernah merasakan kewa- jibannya. Kewajiban yang paling utama dari rakyat itu ialah mengawasi atau menegur penguasa yang salah. 

Bersamaan dengan itu, rakyat juga harus berbuat konkret dengan menjalankan kewajiban secara baik. Pilihlah anggota-anggota parlemen yang tidak memiliki kecenderungan ke arah tiga sifat di atas. Kedua, mengingat yang pertama tidak mungkin dilakukan, cara yang harus didahulukan saat ini ialah faktor person sangat menentukan bagi suatu perubahan. 

Perbaikan sistem memang penting, tapi bagaimana menjaga perubahan ini tidak di tangan ke banyakan orang-orang yang tak bertanggung jawab. Memang sulit sekali bagi orang Indonesia melaksanakan praktik yang sesuai dengan teori. Muhammad Natsir pernah menyangkal kepusingan Presiden Soekarno pada 1956 akan partai-partai politik masa Demokrasi Parlementer (1950 - 1959) yang dianggapnya menimbulkan krisis serta menghancurkan hasil revolusi nasional. Natsir berargumen tidak tepat menumpahkan kesalahan kepada banyaknya partai-partai yang ada. 

Masalah yang sedang dihadapi itu disebabkan oleh tiga hal, yaitu telah melunturnya idealisme sehingga yang merajalela nafsu amarah; tidak jelasnya batas antara yang patut dan yang tidak patut, yang halal dan yang haram; kaburnya nilai-nilai keadilan objektif. 

Argumen Natsir yang lebih diarahkan kepada para pejabat negara ini pantas untuk dihayati bersama-sama saat ini.

Setelah 67 tahun Indonesia merdeka, masih saja elite sipil sekarang lebih mengandalkan hiperpragmatisme dibandingkan ucapan mereka ketika rezim Orde Baru tumbang dan digelarnya pemilu demokratis pertama pada 1999, ketika semangat memperbaiki bangsa dan negara begitu menggelora. Bahkan, privatisasi badan negara yang menyangkut hajat hidup orang banyak dilakukan oleh pemerintah. 

Seluruh negara di dunia ini yang menganut sistem demokrasi modern sudah hampir dipastikan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) sebagai sarana pengejawantahan suara rakyat dalam suksesi kepemimpinan, baik eksekutif maupun legislatif. Pemilu dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah proses pemilihan orang(-orang) untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.

Namun demikian, yang terpenting adalah pemilu sebagai salah satu pilar demokrasi, dalam konteks Indonesia kini, mampukah menjaring pemimpin- pemimpin berkualitas? Suksesi kepemimpinan melalui proses elektoral terima atau tidak terima adalah sebuah konsensus nasional yang tegas diamanatkan dalam konstitusi kita sebagai negara demokrasi konstitusional. 

Adalah wajar adanya untuk mempersiapkan figur kepemimpinan dari jauh-jauh hari sebelum pemilihan umum supaya masyarakat tidak dalam keadaan mengambang. Sekarang, apakah bisa diharapkan akan muncul kesejahteraan yang merata sesuai amanat UUD 1945 bila negara diisi oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab?

Cita-cita menuju civil society yang beradab dengan menolak kanibalisme politik tidaklah usah diragukan untuk mengambil kebenaran dari mana pun asalnya. Kebenaran bukanlah monopoli suatu kaum, begitu Natsir bilang. Di mana saja ia berada maka ambilah ia dengan selektif dan kritis. 

Bangsa ini harus mencontoh keterpurukan suatu kaum akibat meremehkan kelompok lemah. Jangan sampai negeri ini terjerumus ke dalam rezim elektokrasi yang berisi para elektokrat-elektokrat yang hanya memikirkan bagaimana caranya mempertahankan status quo, menang dalam pemilu, pencitraan diri atau partainya, dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar