Diskusi Panel Kompas
‘Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’
|
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Siapakah sesungguhnya pemegang kendali
pembelajaran dalam sistem pendidikan di negeri ini? Guru di sekolah, kurikulum
pendidikan, ataukah para penentu kebijakan di Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan?
Buku-buku teks yang memuat berbagai teori
didaktik-metodik, yang tentu didukung pengalaman empirik di berbagai belahan
dunia, selalu menempatkan guru sebagai simpul awal sekaligus akhir dari
keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum dan infrastruktur
pendidikan memang penting, tetapi ia hanyalah alat untuk mencapai tujuan.
Adapun penentu kebijakan lebih dimaksudkan sebagai fasilitator untuk
mendinamisasikan arah yang ingin dituju.
Masalahnya, di negeri ini fungsi dan peran
hakiki guru sebagai pendidik sudah bergeser jauh. Di tengah rezim pendidikan
yang lebih mendewa hasil daripada proses, ditandai penyelenggaraan ujian
nasional (UN) sebagai penentu kelulusan, proses pembelajaran tak lagi tertuju
pada upaya pemahaman dan penguasaan materi ajar yang aplikatif untuk menatap
kehidupan di luar kelas. Apa yang disebut proses belajar-mengajar kini lebih terfokus
pada upaya bagaimana bisa keluar sebagai pemenang, menaklukkan seperangkat
model soal pilihan berganda yang akan menjadi penentu kelanjutan masa depan
persekolahan peserta didik ke level berikutnya.
Fungsi guru sudah direduksi sedemikain rupa
dan lebih diposisikan sekadar sebagai pengajar. Model dan strategi belajar pun
penuh siasat, bagaikan sekompi pasukan tempur yang terjun ke medan perang untuk
menaklukkan musuh bersama bernama UN. Latihan-latihan menyiasati model-model
soal sudah jamak dilakukan. Proses pengerdilan pun terjadi. Bahkan, di banyak
tempat, sejumlah guru menipu diri sendiri dengan ikut berbuat curang hanya agar
anak didiknya lolos dari jerat UN.
Hak dan tanggung jawab mereka sebagai
pendidik sudah tergerus kepentingan jangka pendek. Proses pembelajaran tak lagi
diorientasikan untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaan anak. Ketika
imajinasi disumbat, pendidikan pun kehilangan maknanya sebagai bagian dari
proses pembudayaan.
Dalam diskusi panel Kompas bersama Lingkar
Muda Indonesia di Bentara Budaya Jakarta, 5 September 2012, kegundahan itu kian
meruyak. Sekolah diakui bukan lagi tempat yang menggairahkan untuk berkreasi.
Seorang guru peserta diskusi sampai pada tahap ”putus asa” untuk terus
berwacana, mengkritik, dan mengingatkan para pengambil kebijakan bahwa ada yang
tidak beres dengan pengelolaan pendidikan saat ini. Terlebih menyangkut
kebijakan UN, yang secara masif sudah mengubah orientasi pembelajaran di
sekolah.
”Anehnya, ketika sekolah dikelompokkan jadi
tiga kategori, ujian akhirnya hanya satu, yakni UN. Apakah ini masuk akal untuk
orang sehat?” kata peserta lainnya. Tiga kategori dimaksud adalah sekolah
reguler, sekolah standar nasional (SSN), serta sekolah bertaraf
internasional/rintisan sekolah bertaraf internasional (SBI/RSBI).
UN yang Membelenggu
Sudah begitu banyak kata pengingat diucapkan,
masukan disampaikan, bahkan gugatan melalui pengadilan pun sudah dilayangkan.
Namun, semua itu tak didengar.
Putusan pengadilan yang memenangkan gugatan
citizen lawsuit oleh 58 warga negara terhadap keberadaan UN, yang antara lain
memerintahkan para tergugat—Presiden, Wakil Presiden, Menteri Pendidikan
Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), serta Ketua Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan—agar terlebih dahulu ”…meningkatkan kualitas
guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di
seluruh daerah di Indonesia, sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan ujian
nasional lebih lanjut… dan meninjau kembali sistem pendidikan nasional”, juga tak
digubris.
”Kalau sistem pendidikan kita masih terus
seperti ini, apakah mungkin kita bisa membangun pendidikan yang memerdekakan?
Menurut saya kita tak perlu terlalu banyak lagi berwacana. Kita desak saja
Menteri Pendidikan supaya kembali ke jalan yang benar,” kata seorang guru
peserta diskusi.
Guru yang seharusnya jadi pemegang kendali
pembelajaran di sekolah kini tak lebih hanya alat dari rezim pendidikan yang
mendewakan hasil ketimbang pendidikan sebagai proses. Ketika keberhasilan anak
diukur dari capaian angka-angka; ketika proses pembelajaran sekadar instrumen
untuk memperoleh nilai tinggi; dan ketika kelulusan itu sendiri jadi penentu
masa depan peserta didik, maka kecederungan umum mengorientasikan kegiatan
belajar-mengajar pada pencapaian UN tak terelakkan.
Proses pembelajaran yang seharusnya memberi
tekanan pada aspek kreativitas, pemecahan masalah, berdiskusi, presentasi dan
riset—atau apa pun istilahnya—terbatas, akhirnya terpinggirkan. Alih-alih
melahirkan kerja keras untuk menguasai materi ajar dalam rangka membangun
pemahaman dan pengaplikasian ilmu untuk kehidupan, yang terjadi justru mereka
bekerja keras terkait bagaimana menyelesaikan latihan-latihan soal. Kini UN
sudah jadi belenggu dalam sistem pendidikan di negeri ini, terutama dalam upaya
pengembangan potensi anak.
Persentase kelulusan tinggi dengan
nilai-nilai yang bagus, yang oleh pemegang kebijakan serta-merta diklaim
sebagai bukti mutu pendidikan kita meningkat berkat UN, adalah kesimpulan yang
naif. Fakta empirik justru menampakkan gejala sebaliknya.
Masalah Rutin
Lihatlah pencapaian siswa Indonesia dalam Programme for International Student
Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD).
Tes yang tak sekadar mengukur kemampuan anak memahami mata pelajaran di
sekolah, tetapi juga bagaimana mereka mengaplikasikan pengetahuan itu untuk
menyelesaikan masalah-masalah di dunia nyata, menempatkan anak-anak Indonesia
di posisi ke-54-59 dari 65 negara pada 2006 . Pada 2009, tes kemampuan di
bidang membaca, sains, dan matematika itu tetap tak beranjak. ”Kalau tidak di
posisi ke-6, ya, paling tinggi ke-9 dari bawah di antara 65 negara,” kata salah
seorang panelis.
Mengutip hasil kajian Profesor Iwan Pranoto,
Guru Besar Matematika dari Institut Teknologi Bandung, ternyata penyebab
rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia menyelesaikan soal- soal yang diberikan
dalam PISA terkait erat dengan pelaksanaan model pembelajaran kita di sekolah
yang sangat dipengaruhi target-target pencapaian UN.
Tersebab oleh UN, proses
pembelajaran pun difokuskan pada kemampuan berpikir rutin, suatu kemampuan
berpikir tingkat rendah. Ini ditandai kecenderungan kuat pada peningkatan
intensitas belajar-mengajar lewat pembiasaan penyelesaian latihan-latihan soal UN,
di mana soal yang satu dengan yang lain memiliki banyak kemiripan.
Hasilnya? Anak-anak Indonesia tidak diajar
bagaimana menyelesaikan masalah dengan kreativitas mereka. Jika pembelajaran
semacam ini terus berlanjut, anak-anak Indonesia tak akan siap menghadapi
tantangan abad ke-21 yang butuh dasar-dasar kemampuan berpikir tingkat tinggi
untuk memecahkan berbagai persoalan dunia nyata. ●
Terima kasih Saudara Budi Santoso atas pemuatan ulang artikel Kompas ini. Saya sangat terbantu. Saya tidak perlu repot "scan" Kompas dan menjadikannya digital.
BalasHapus