Diskusi Panel Kompas
‘Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’
|
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Pendidikan harus memerdekakan dan membebaskan
rakyat dari belenggu kebodohan. Pendidikan nasional bukan untuk kepentingan
politik, golongan, atau agama, melainkan untuk membangun bangsa.
Masyarakat dunia sesudah Perang Dunia II
dilandasi peradaban, yang menurut Sutan Takdir Alisjahbana, berciri modern,
rasional, berdasarkan kemajuan ilmu, teknologi, dan menekankan hak-hak manusia.
Namun, menurut Djojonegoro, pada tahun 1940, rakyat Indonesia yang mengenyam
pendidikan dasar sangat sedikit, bahkan mahasiswa hanya 157 orang (Lima Puluh Tahun Perkembangan Pendidikan
Indonesia, 1996).
Akhirnya, para pendiri Republik yang menjadi
cerdas karena pendidikan sekolah menetapkan tujuan kemerdekaan sebagai
mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional. Mereka yang
menganut moto ”membangun bangsa, membangun sekolah” itu menetapkan kewajiban
pemerintah sebagai ”mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran
nasional” (Pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945).
Mencerdaskan Rakyat
Sering ”mencerdaskan kehidupan bangsa”
dimaknai sebagai memperluas kesempatan memperoleh pendidikan apa pun mutunya.
Saat ini, memang kesempatan memperoleh pendidikan tingkat SD sudah berada di
atas 96 persen, tingkat SMP hampir 70 persen serta perguruan tinggi di atas 10
persen. Namun, kehidupan bangsa yang cerdas sesungguhnya belum terwujud.
Lembaga pendidikan kita masih dengan gedung sekolah tanpa laboratorium, tanpa
buku, tanpa lapangan olahraga, dengan guru yang kurang terjamin
kesejahteraannya.
Hakikat mencerdaskan kehidupan bangsa adalah
gerakan transformasi budaya dari tradisional dan feodalistik menjadi modern,
rasional, demokratis, dan berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).
Semangat ”ada hari ada nasi” harus berubah
menjadi rawe-rawe rantas, malang-malang
putung. Perlu transformasi budaya bagi perubahan sikap hidup: dari menerima
nasib menjadi manusia yang memiliki jati diri dalam menghadapi tantangan. Untuk
itu, sekolah harus menjadi pusat pembudayaan warga negara yang bermoral,
beretos kerja, berdisiplin, produktif, demokratis, dan bertanggung jawab.
Persoalan besar yang sedang kita hadapi
sekarang adalah hilangnya roh pendidikan nasional. Dengan sadar kita
meninggalkan tujuan pendidikan seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara,
pendiri Perguruan Tamansiswa, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1950 tentang Pokok-pokok Pengajaran di Sekolah. Di situ, siswa dilihat
sebagai makhluk sosial.
Tujuan pendidikan nasional adalah menciptakan
insan mandiri yang tidak bergantung pada orang lain, tetapi juga tidak menjadi
individualis, insan yang dapat mengatur diri sendiri dalam rangka hidup
bersama. Idealnya, pendidikan bersifat membebaskan dan memberdayakan.
Pendidikan Terpisah dari Rakyat
Rakyat sebagai pemilik negeri semakin susah
mendapatkan pendidikan bermutu. Pendidikan kita semakin menciptakan segregasi
sosial (pengotak-kotakan masyarakat) berdasarkan kemampuan ekonomi dan agama.
Sekolah negeri yang seharusnya sekolah kebangsaan semakin terpenjara oleh
berbagai kepentingan non-pendidikan.
WS Rendra mengungkapkan kegelisahannya tentang
pendidikan yang semakin terpisah dari kenyataan hidup rakyat. Apa gunanya pendidikan bila hanya membuat
seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya? Apa gunanya
pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di Ibu Kota,
kikuk pulang ke daerahnya? (Sajak
Seonggok Jagung, 1975)
Tak kalah memprihatinkannya, praktik pungutan
untuk mengikuti pendidikan wajib belajar masih berlangsung, meski tersurat
dalam konstitusi ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan
pemerintah wajib membiayainya”. Pemerintah pun secara sadar tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 31 Ayat 2, tetapi hanya membantu melalui program yang dikenal
dengan bantuan operasional sekolah (BOS).
Padahal, bersama ketentuan Ayat 4 yang
mewajibkan negara untuk memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya
20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta ketentuan Ayat 5 yang mewajibkan
pemerintah untuk memajukan iptek, tujuan akhirnya adalah mewujudkan Indonesia
sebagai negara kesejahteraan dengan rakyat yang cerdas. Pendidikan untuk semua
lapisan masyarakat.
Di samping dimensi pembiayaan, yang tidak
kalah pentingnya adalah manajemen penyelenggaraan pendidikan. Di hampir semua
negara kesatuan, seperti Perancis, Inggris, atau Jepang, penyelenggaraan
pendidikan tidak sepenuhnya terdesentralisasi. Perancis adalah negara kesatuan
yang tidak mengenal desentralisasi penyelenggaraan pendidikan. Inggris, sejak
Perdana Menteri Margaret Thatcher mengurangi otonomi penyelenggaraan
pendidikan, terutama yang terkait kurikulum, karena mutu pendidikan justru
merosot akibat desentralisasi.
Sejak UU Pemerintahan Daerah tahun 1999
berlaku, otonomi penyelenggaraan pendidikan diberikan kepada pemerintah tingkat
kabupaten. Dunia pendidikan pun tercemari kepentingan politik sesaat. Bahkan,
ada cerita nyata, karena sang bupati tidak suka dengan kepala SMA di suatu
kota, kepala sekolah itu dipindahkan menjadi guru TK di daerah terpencil.
Rakyat Bertindak
Apa yang salah dengan pendidikan kita?
Mengapa setelah hampir 70 tahun merdeka, kualitas pendidikan kita belum maju,
dan bahkan tertinggal dari negara-negara di sekitar kita? Para pendiri Republik
mungkin menangis melihat sebagian besar rakyat Indonesia yang belum cerdas.
Visi mulia pendidikan dalam konstitusi
seperti kata-kata kosong makna, hanya menjadi bumbu retorika politik para
penguasa menjelang pemilu. Visi pendidikan diperdebatkan dan menjadi bahan
diskusi, tetapi tidak mengubah dan menghidupi apa pun. Kebijakan sistem
pendidikan, kurikulum nasional, dan peraturan perundang-undangan berubah-ubah
tanpa arah karena selalu tersandera oleh berbagai kepentingan non-pendidikan.
Dan, akhirnya rakyat tetap menjadi obyek pendidikan bukan subyek.
Memang menagih janji pendidikan untuk rakyat
bersenjatakan konstitusi tidaklah cukup. Kita tidak bisa hanya berpangku tangan
dan menantikan kemauan politik pemerintah untuk memajukan pendidikan.
Rakyat terdidik perlu merapatkan barisan dan
mengorganisasi diri demi menuntut pendidikan untuk rakyat. Orangtua dan guru
menjadi garda depan memperjuangkan visi mulia pendidikan dan menolak campur
tangan kepentingan non-pendidikan.
Organisasi guru yang independen dan bebas
dari kepentingan politik jangka pendek penguasa perlu ditumbuhkembangkan dan
diperkuat. Komunitas-komunitas pendidikan harus terus bersuara tanpa kenal
lelah, mendesak dan menanamkan berbagai kebijakan pendidikan untuk rakyat dalam
sistem demokrasi dan ketatanegaraan saat ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar