Pelajaran dari
Maybrat
Sri Palupi ; Ketua Institute for Ecosoc Rights
|
KOMPAS,
9 Oktober 2012
Sejak pendidikan menjadi komoditas
perdagangan dan lembaga pendidikan beralih fungsi dari sosial menjadi
komersial, pendidikan—apalagi yang bermutu—semakin jauh dari kelompok miskin.
Kian mahalnya biaya pendidikan membuat
keluarga miskin sering harus menyerah betapapun berprestasinya anak-anak
mereka. Bahkan sekadar bermimpi menyekolahkan anak sampai setingkat SMA saja,
mereka tak berani lagi.
Ada anak lulusan SMP yang berprestasi—bahkan
pernah mengikuti olimpiade sains di daerahnya—terpaksa menjadi TKI. Ada lagi
anak yang nekat mengikuti tes dan diterima di perguruan tinggi negeri, akhirnya
mengundurkan diri. Alasannya sama, tak ada lagi
biaya.
Di negeri ini ternyata tengah berlangsung
proses pemiskinan yang jauh lebih buruk dari yang kita bayangkan. Dulu masih
terbuka peluang bagi anak-anak keluarga miskin untuk mewujudkan mimpi. Tidak
heran kalau dulu banyak mobilisasi vertikal lewat pendidikan. Sekarang, biaya
jadi kendala utama.
Fenomena tidak biasa terkait kemiskinan dan
akses atas pendidikan kami temukan di pedalaman Papua, tepatnya di Kabupaten
Maybrat. Di kalangan masyarakat Papua, Maybrat dikenal sebagai daerah yang
warganya banyak menjadi sarjana. Bahkan tidak sedikit pejabat tinggi di
kabupaten lain di Papua berasal dari Maybrat.
Padahal, kondisi warga Maybrat sama miskinnya
dengan warga di kabupaten lain. Namun, masyarakat Maybrat bersemangat tinggi
untuk memperoleh pendidikan. Apa yang membedakan Maybrat dengan masyarakat lain
di Papua?
Pertanyaan ini muncul ketika mendata keluarga
miskin di kampung-kampung. Ternyata banyak yang anak-anaknya sampai ke jenjang
perguruan tinggi. Tidak sedikit anak dari keluarga miskin di daerah ini mampu
menyelesaikan pendidikan tinggi. Bahkan, banyak pula yang menempuh pendidikan
tinggi di Jawa.
Jawaban kami temukan dalam diskusi bersama
komunitas-komunitas kampung di Kabupaten Maybrat. Meski berbeda kadarnya, ada
semacam spirit gotong royong yang berlaku umum dan dipelihara oleh masyarakat
kampung di Maybrat. Spirit ini dalam bahasa setempat disebut anu beta tubat, yang artinya bersama
kami mengangkat.
Spirit yang Menyatukan
Spirit anu
beta tubat menyatukan masyarakat Maybrat untuk memprioritaskan pendidikan.
Ibarat lidi yang bila disatukan sulit dipatahkan, demikian pula kekuatan spirit
anu beta tubat bagi keluarga-keluarga
miskin di Maybrat. Betapa pun miskinnya, mereka tidak menyerah dalam memperjuangkan
pendidikan anak-anak mereka. Berbagai hambatan diatasi bersama.
Spirit anu
beta tubat semakin menguat setelah masyarakat memetik dan merasakan
buahnya. Melihat perubahan positif pada karakter anak-anak mereka yang
mendapatkan pendidikan, para orangtua tidak ragu lagi mengirim anak ke sekolah.
Melihat anak-anak yang berpendidikan mudah memperoleh pekerjaan, masyarakat
berlomba menyekolahkan anak-anaknya.
Mereka bergotong royong dan berjibaku bersama
membiayai pendidikan anak. Dulu untuk mengirimkan anak ke sekolah saja para
orangtua harus didorong-dorong. Kini, pendidikan mereka tempatkan sebagai
prioritas dan spirit anu beta tubat menjadi kekuatan untuk mengatasi berbagai
hambatan.
Spirit gotong royong untuk pendidikan itu
bisa ditemukan di kampung-kampung untuk berbagai tingkatan pendidikan. Di
tingkat sekolah dasar, spirit itu mewujud dalam upaya masyarakat menjaga
keberlangsungan pendidikan di kampung mereka.
Untuk membuat guru betah mengajar di kampung,
di antaranya mereka bergotong royong membuatkan kebun, membangun tempat
tinggal, dan menyokong bahan makanan bagi guru yang baru ditempatkan di kampung
mereka.
Masyarakat juga bergotong royong membangun
atau memperbaiki bangunan sekolah, membantu pengadaan mebel, membayar gaji guru
honorer, membeli buku-buku pelajaran, dan membantu membiayai ujian.
Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih
tinggi, baik SMP atau SMA, kebanyakan anak di Maybrat harus keluar dari
kampungnya dan bersekolah di kota kecamatan, di kota kabupaten atau di kota
provinsi. Mereka tinggal di asrama atau menumpang pada keluarga-keluarga di
kota. Baru tingkat SMP saja orangtua sudah harus mengirimkan uang tunai setiap
bulan. Padahal, penghasilan mereka sebagai petani tidaklah menentu.
Untuk menghemat biaya, masyarakat kampung
membangun asrama atau rumah tinggal bersama bagi anak-anak yang bersekolah di
kota. Salah satu atau beberapa warga ditunjuk untuk mengurus asrama dan
mengawasi anak-anak dalam belajar. Sistem ”asrama” atau ”rumah tinggal bersama”
ini sangat membantu para orangtua yang tidak memiliki keluarga di kota.
Pada tingkat perguruan tinggi, anu beta tubat
diwujudkan dalam bentuk dukungan untuk meringankan beban biaya pendidikan.
Orangtua biasanya menanggung biaya bersekolah di SMP dan SMA, sementara biaya
hidup anak selama belajar di kota dibantu oleh masyarakat kampung atau keluarga
di kota.
Dukungan Keluarga Besar
Bentuk dukungan masyarakat kampung bagi
keluarga yang anaknya menempuh pendidikan tinggi bermacam-macam. Ada yang
bergotong royong menanggung biaya pendaftaran, pembelian sarana-prasarana,
membayari biaya skripsi, biaya wisuda, dan lainnya. Dukungan paling besar
datang dari keluarga besar orangtua masing-masing.
Anak-anak yang berhasil menyelesaikan
pendidikan tinggi akan menjadi kekuatan dan modal bagi masyarakat kampung dalam
menjalankan dan memperkuat spirit anu beta tubat. Mereka punya tanggung jawab
lebih dalam mengangkat anak-anak lain. Kalau tanggung jawab itu tidak mereka
jalankan, masyarakat akan menempatkan mereka dalam barisan yang tidak berguna.
Spirit anu beta tubat memberi inspirasi
tentang bagaimana kemiskinan dan lemahnya akses kaum miskin atas pendidikan
dapat diatasi. Pada saat negara tidak lagi menempatkan pendidikan sebagai hak
asasi—sehingga pemerintah kurang serius dalam menjalankan komitmen untuk
mewujudkan pendidikan bagi semua—masyarakat dapat bahu-membahu mengembalikan
pendidikan sebagai prioritas.
Saat negara kehilangan daya dalam memenuhi
hak warga atas pendidikan, masyarakat dapat berjibaku untuk secara bersama
mencerdaskan kehidupan bangsa. Kehidupan bangsa yang cerdas tidak akan dapat
dicapai selama kaum miskin masih sulit mengakses pendidikan.
Kami membayangkan banyaknya
kemajuan yang bisa kita capai sebagai bangsa seandainya satu warga yang mampu
secara ekonomi berkomitmen menyekolahkan satu anak keluarga miskin. Kami yakin,
sumber daya warga yang terbatas apabila disatukan akan menjadi kekuatan yang
dapat mengembalikan bangsa ini sebagai bangsa yang punya masa depan. Masyarakat
Maybrat di Papua Barat telah membuktikannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar