Pro Korban,
“Wajah Baru” Polri
Emanuel Dapa Lopa ; Mahasiswa
Universitas Mercu Buana Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 12 Oktober 2012
Meski terlambat, pidato Presiden SBY pada 8 Oktober 2012 dalam
menengahi konflik Polri versus KPK memuaskan berbagai pihak. Disebut-sebut
pidato tersebut memberikan kesejukan bagi hati rakyat yang memang sedang
mengharapkan "pembelaan" presiden pada KPK.
Saya tadinya mengira SBY hanya akan menyanyikan lirik lama,
mengumbar rasa keprihatinan seperti yang sudah-sudah.
“Dengan gaya khasnya, dia akan meletakkan tangannya di dada lalu
berkata, ‘Saya prihatin!’,” begitu tulis saya dalam sebuah artikel berjudul
Paling-paling SBY Hanya Berkata, “Saya Prihatin”! Maafkan atas kelancangan
saya menduga-duga, Tuan Presiden!
Yang pasti, rakyat berharap dengan sikap tegas dan benar
Presiden SBY, KPK bisa memainkan perannya secara efektif dalam menumpas para
koruptor yang telah menyengsarakan rakyat di negeri ini. Sadis! Korupsi telah
menjelma menjadi tren di negeri yang presidennya pernah berjanji akan berada
di garis depan dalam memimpin pemberantasan korupsi.
Saat ini, KPK tinggal satu-satunya avant garde harapan
beratus-ratus juta rakyat Indonesia dalam memberantas korupsi. Polri sulit
dipercaya lagi menangani kasus serupa sebab anggotanya juga terlibat. Bahkan
yang sudah berpangkat jenderal pun ikut bermain “pencurian” seperti dalam
manipulasi simulator SIM. Bahkan ada dugaan, Kapolri Timur Pradopo pun
terlibat dalam hal ini.
Yang membuat Polri panas adalah kenyataan pahit berhadapan
langsung dengan anak buahnya sendiri. Justru anak buah yang ditempatkan di
KPK. Menariknya, sang anak buah tidak sedikit pun berkompromi. Hasilnya,
Jenderal Djoko Susilo dilekati predikat tersangka!
Atas kenyataan ini, Polri lalu melakukan aksi “bongkar arsip”.
Rekam jejak Novel Baswedan mulai di-rescreening, maka ketemulah kasus yang
pernah melibatkan pria berkepala plontos itu. Novel ternyata adalah tersangka
kasus penganiayaan berat kasus pencurian sarang burung walet di Bengkulu pada
18 Februari 2004.
Berdasarkan itu Novel lalu diincar. Serta-merta dibuatlah
skenario bahwa korban mendesak pengusutan kasus Novel. Dengan gesit Polri
lalu bergerak menjemput Novel ke KPK, bahkan dengan show of force, mengerahkan kekuatan.
Polri tiba-tiba tampak sangat pro pada korban. Mereka seakan
benar-benar menyendengkan telinga terhadap rintih derita rakyat. Mereka
mendadak berubah menjadi sangat peka, sensitif terhadap suara lirih rakyat
kecil.
Jelas, ini “wajah baru” tak wajar Polri. Wajar publik bertanya
ada apa? Ini karena Polri bukan kekurangan perkara untuk diungkap dan
dituntaskan. Sangat banyak kasus yang mengendap begitu saja, terutama yang
melibatkan anggotanya.
Kasus Berlimpah
Adalah Indra “The Old Solidier”
Azwan, pria setengah baya asal Malang Jawa Timur, yang mencari keadilan
hingga ke Istana Presiden. Dia bahkan bertekad mengadu hingga ke Mekah, meski
harus dengan berjalan kaki hanya karena suaranya diabaikan.
Warga Blimbing, Malang, Jawa Timur, itu selama 19 tahun mencari
keadilan atas kasus tabrak lari oleh seorang polisi, Joko Sumantri, yang
menimpa anaknya, Rifki Andika, pada 1993. Kasus itu menggantung, tak jelas
juntrungannya sampai akhirnya dinyatakan kedaluwarsa karena telah lebih dari
12 tahun. Sang pelaku pun bebas.
Menurut catatan Rakyat Merdeka Online (RMOL), sepanjang satu
tahun, terhitung sejak Juli 2011 hingga September 2012, Komisi untuk Orang
Hilang dan Tindak Kekerasaan (Kontras) menerima banyak pengaduan kasus
kekerasan yang potensial menimbulkan pelanggaran HAM yang dilakukan aparat
polisi di beberapa daerah.
Seperti dikatakan Ketua Divisi Hukum Politik dan HAM Kontras
Sinung Karto, setidaknya ada 40 kasus yang didampingi Kontras, antara lain
penggusuran Pasar Raya Padang (2011), jemaat Gereja Baptis Papua, dan
kejadian Syiah Sampang (2012).
"Kriminalisasi biasanya diikuti oleh sejumlah praktik
penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, bahkan penembakan yang
menimbulkan korban jiwa, seperti kasus Tiaka Morowali tahun 2011," ujar
Sinung di gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Minggu (7/10).
Entah bagaimana pula kabar kasus penembakan pengunjuk rasa di
Sape, Bima, NTB tahun lalu, dan masih banyak kasus lain. Inilah bukti-bukti
bahwa Polri berlimpah kasus yang mesti diungkap.
Salahkah Polri mengusut Novel? Oh, tidak! Hanya, waktunya salah.
Ke mana saja selama ini? Kalau memang Novel telah menjadi tersangka, mengapa
masih sempat naik pangkat? Mengapa pula ditempatkan di KPK? Mestinya dia
sudah meringkuk dalam penjara.
Aksi salah waktu, salah tempat, dan salah beraksi Polri tersebut
telah menjadi “iklan buruk gratis” bagi terciptanya citra muram kepolisian.
Tidak bisa dibendung persepsi bahwa Polri hanya peduli kalau kasus menyangkut
eksistensi dirinya.
Selain itu, wallahualam! Kenyataan di atas wajar membuat rakyat
melakukan perlawanan. Rakyat telah cukup cerdas membaca permainan, apalagi
tontonan setelanjang yang diperlihatkan Polri tersebut.
Bercermin pada penderitaan yang telah ditanggung rakyat, semua
pihak harus serius mendukung pemberantasan korupsi. Presiden harus
benar-benar kembali mengingat janjinya untuk berada di garis depan dalam
pemberantasan korupsi. Sikap tegasnya dalam pidato tanggal 8 Oktober itu
harus benar-benar dikonkretkan.
Sebegitu kagumnya pada pidato SBY tersebut, Teten Masduki sampai
perlu membuat tulisan khusus berjudul SBY Akhirnya Memimpin (Kompas, 10/10).
Tulis Teten, “di luar dugaan khalayak ramai, Presiden Susilo Bambang Yudoyono
cukup berani mengambil sikap tegas dalam menyelesaikan perseteruan antara KPK
dan Polri.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar