Sabtu, 13 Oktober 2012

Dinamika Konflik Asia Timur


Dinamika Konflik Asia Timur
Hendra Manurung ;  Staf Pengajar/Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Presiden. Alumnus Saint Petersburg State University, St Petersburg, Federasi Rusia
SINAR HARAPAN, 12 Oktober 2012



Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad ke-19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada awal abad ke-20 dan Prancis sekitar tahun 1930-an.

Di saat berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang mengusir Prancis dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam.

Dengan berakhirnya Perang Dunia II, China dan Perancis kembali mengklaim kawasan tersebut, diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya.

Konflik yang berkembang antara China dan negara-negara ASEAN lebih banyak melibatkan Filipina dan Vietnam. Brunei, Indonesia, dan Malaysia memilih perluasan kerja sama ekonomi daripada mempersoalkan klaim wilayah masing-masing negara dengan China.

Namun pada saat yang sama Malaysia dan Indonesia memberi tempat bagi militer Amerika Serikat berupa fasilitas terbatas bagi transportasi udara dan Laut Amerika. China pada saat itu tidak segera menyerang dan menunda penyerbuannya ke Kepulauan Spratly dan baru pada 1988 melaksanakannya. Hal ini disebabkan beberapa hal.

Pertama, sejak akhir dasawarsa 1960-an, setelah dibubarkannya gerakan Revolusi Kebudayaan, pemerintah China mulai merintis jalan untuk memperbaiki citranya di dalam masyarakat internasional, khususnya dalam hubungannya dengan negara-negara Barat, dan karena hubungannya yang semakin memburuk dengan Uni Soviet, terutama setelah terjadi perang perbatasan pada 1969.
Sejak itu China membuka hubungan diplomatik dengan banyak negara Barat. Sementara itu hubungannya dengan negara-negara ASEAN juga meningkat.

Pada 2 Juni 1974 hubungan diplomatik antara China dan Malaysia diresmikan. Kemudian disusul hubungan diplomatik dengan Filipina pada 11 Juni 1975 dan dengan Thailand pada 1 Juli 1975. Perubahan kebijakan luar negeri China ini tampaknya menjadi pertimbangan dalam penyelesaian sengketa Kepulauan Spratly.

Kedua, setelah China mengalami pergolakan politik di dalam negeri dan memuncak pada revolusi kebudayaan (1966-1968), kondisi Angkatan Laut China sangat memprihatinkan. Hal ini rupanya memengaruhi niatnya untuk melakukan penyerangan ke Kepulauan Spratly.

Ketiga, setelah pada 1975 hubungan anatara China dan Vietnam dapat dikatakan masih baik, sampai 1978 ketika timbul masalah-masalah bilateral seperti pengusiran penduduk keturunan China, masalah perbatasan, dan invasi pasukan Vietnam ke Kampuchea yang berhasil mendepak rezim Khmer Merah dukungan Bejing.

Hubungan kedua negara diperburuk dengan terjadinya invasi sekejap pasukan China pada Maret 1979 dengan dalih memberi pelajaran. Namun buruknya hubungan itu ternyata tidak mendorong China melakukan serbuan ke wilayah Kepulauan Spratly yang diklaim Vietnam.

Mungkin waktu itu dukungan Uni Soviet kepada Vietnam masih menjadi pertimbangan China, terutama setelah Vietnam dan Uni Soviet menandatangani perjanjian persahabatan dan kerja sama pada 1978.

Namun ternyata setelah China berhasil menduduki beberapa pulau “milik Vietnam” di Kepulauan Spratly pada pertengahan Maret 1988, Uni Soviet mengambil sikap tidak mendukung Vietnam. Soviet justru menyerukan agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan konflik teritorial itu.

Armada Khusus

Menurut data The Military Balance 1985-1986 yang diterbitkan IISS, China sekarang ini telah menempatkan armada khusus yang ditugaskan di Laut China Selatan yang disebut Armada Laut Selatan, di samping dua armada lainnya, yaitu Armada Utara dan Armada Timur.

Kekuatan Armada Laut Selatan ini berkekuatan 600 kapal perang, termasuk 25 kapal selam, 200 kapal amfibi dan beberapa jenis kapal perang lainnya.
Dengan dua perkembangan itu, China tampaknya merasa mantap untuk melaksanakan niatnya merebut wilayah yang diklaimnya di Kepulauan Spratly, yaitu rencana pemerintah Filipina untuk membuat suatu UU yang akan menegaskan haknya atas Kepulauan Spratly pada akhir November 1987.

Hal ini segera mengundang reaksi China. Sejak itu China mengadakan manuver angkatan lautnya ke kepulauan itu, bahkan mengadakan latihan perang di sana. Tindakan China ini dianggap sebagai sebagai provokasi oleh Vietnam yang kemudian juga memperkuat angkatan lautnya sehingga terjadi insiden pada 14 Maret 1988.

Saat itu Vietnam tidak hanya kehilangan pasukan dan kapal, tetapi juga beberapa pulau. Konflik di Kepulauan Spratly yang melibatkan banyak negara itu jelas mempunyai implikasi bagi keamanan regional di Asia Tenggara.

Dua hal perlu yang diperhatikan dalam kaitan ini. Pertama, sengketa itu melibatkan beberapa negara ASEAN, termasuk di dalamnya Filipina, Malaysia, China, dan Vietnam. Dengan demikian, mau tidak mau negara-negara ASEAN juga akan ikut terkena dampaknya bila konflik tersebut tidak dapat diselesaikan secara damai.

Hal kedua adalah pentingnya kawasan Laut China Selatan yang bersambungan langsung dengan perairan Asia Tenggara, tidak saja bagi negara-negara ASEAN, tetapi juga bagi negara-negara besar. Jalur laut di kawasan tersebut secara ekonomi sangat penting bagi negara-negara Asia Tenggara, terutama negara-negara ASEAN.

Dalam perkembangannya, hingga 2011, China terlihat bertindak sangat agresif dalam mempertahankan Laut China Selatan. Salah satu contohnya, pelanggaran yang dilakukan China pada 25 Februari 2011. Kejadiannya sekitar 222,24 km dari pantai pulau palawan, di luar Spratly.

Kondisi di lapangan makin memanas di antara sejumlah negara yang mengklaim Laut China Selatan. Angkatan bersenjata Vietnam mengumumkan rencana mereka menggelar latihan perang dengan amunisi hidup di sekitar kawasan sengketa.

Senin 13 Juni 2011, angkatan laut Vietnam menggelar latihan perang menggunakan peluru tajam berlangsung sembilan jam di sekitar Hong On, pulau tidak berpenghuni yang terletak sekitar 250 km dari Paracel dan hampir 1.000 km dari Spratly.

Sementara itu, di pihak lain Filipina mengusulkan penggantian nama Laut China Selatan dengan Laut Filipina Barat. Filipina secara resmi menggunakan nama ini sejak 1 Juni. Vietnam sendiri menyebutnya dengan nama Laut Timur.
Jepang menyebutkan adanya kekhawatiran di kawasan Asia terhadap membesarnya kehadiran angkatan laut China dan tujuannya di masa mendatang.

Meningkat

Persaingan pengaruh semakin meningkat di kawasan ini sejak AS mengalihkan perhatian dan sumber dayanya ke Asia pada 2011.

Tokyo menegaskan pentingnya persekutuan Jepang dengan AS, di mana kehadiran pasukan AS di Jepang berfungsi sebagai pencegahan terhadap berbagai kemungkinan, dan memberikan rasa aman terhadap negara-negara di kawasan ini. Namun demikian, Jepang juga menyebut Korea Utara dengan strategi nuklirnya yang militeristis tetap merupakan ancaman keamanan.

Sementara itu, pemerintah Korea Utara juga sedang bekerja keras untuk mengembangkan senjata perusak massal dan rudal balistik, menurut buku putih itu.

Diproyeksikan hingga 2015, China akan menggelar sedikitnya 350 kapal patroli maritim dan 16 pesawat tempur. Sementara hingga 2020, jumlah kapal laut akan meningkat menjadi 520 unit. Seiring meningkatnya perekonomian, China semakin agresif mengklaim dalam wilayah Laut China Selatan walaupun berbenturan dengan sejumlah negara tetangga.

Bagi ASEAN, perkembangan ini cukup memprihatinkan. Konflik Kepulauan Spratly itu memang tidak melibatkan Indonesia secara langsung, tapi dapat dikhawatirkan konflik itu menjalar ke wilayah Indonesia karena Indonesia sekarang ini juga menguasai beberapa kepulauan di Laut China Selatan, seperti Kepulauan Badas, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, dan Kepulauan Anambas yang letaknya berdekatan dengan Kepulauan Spratly.

Sekarang hal itu memang belum menjadi sumber konflik, tapi mungkin konflik akan terjadi di masa mendatang. Hal ini terutama karena adanya pengaturan baru dalam Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah disepakati oleh banyak negara pada Oktober 1982.

Sangat disesalkan bila ketidakamanan wilayah Laut China Selatan sangat memengaruhi angkutan laut, baik yang datang dari negara-negara tersebut di atas ke negara-negara ASEAN maupun sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar