Dinamika
Konflik Asia Timur
Hendra Manurung ; Staf
Pengajar/Dosen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Presiden. Alumnus
Saint Petersburg State University, St Petersburg, Federasi Rusia
|
SINAR
HARAPAN, 12 Oktober 2012
Konflik di Laut China Selatan telah dimulai sejak akhir abad
ke-19 ketika Inggris mengklaim Kepulauan Spartly, diikuti oleh China pada
awal abad ke-20 dan Prancis sekitar tahun 1930-an.
Di saat berkecamuknya Perang Dunia II, Jepang mengusir Prancis
dan menggunakan Kepulauan Spartly sebagai basis kapal selam.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, China dan Perancis kembali
mengklaim kawasan tersebut, diikuti oleh Filipina yang membutuhkan sebagian
kawasan tersebut sebagai bagian dari kepentingan keamanan nasionalnya.
Konflik yang berkembang antara China dan negara-negara ASEAN
lebih banyak melibatkan Filipina dan Vietnam. Brunei, Indonesia, dan Malaysia
memilih perluasan kerja sama ekonomi daripada mempersoalkan klaim wilayah
masing-masing negara dengan China.
Namun pada saat yang sama Malaysia dan Indonesia memberi tempat
bagi militer Amerika Serikat berupa fasilitas terbatas bagi transportasi
udara dan Laut Amerika. China pada saat itu tidak segera menyerang dan
menunda penyerbuannya ke Kepulauan Spratly dan baru pada 1988
melaksanakannya. Hal ini disebabkan beberapa hal.
Pertama, sejak akhir dasawarsa 1960-an, setelah dibubarkannya
gerakan Revolusi Kebudayaan, pemerintah China mulai merintis jalan untuk
memperbaiki citranya di dalam masyarakat internasional, khususnya dalam
hubungannya dengan negara-negara Barat, dan karena hubungannya yang semakin
memburuk dengan Uni Soviet, terutama setelah terjadi perang perbatasan pada
1969.
Sejak itu China membuka hubungan diplomatik dengan banyak negara
Barat. Sementara itu hubungannya dengan negara-negara ASEAN juga meningkat.
Pada 2 Juni 1974 hubungan diplomatik antara China dan Malaysia
diresmikan. Kemudian disusul hubungan diplomatik dengan Filipina pada 11 Juni
1975 dan dengan Thailand pada 1 Juli 1975. Perubahan kebijakan luar negeri
China ini tampaknya menjadi pertimbangan dalam penyelesaian sengketa
Kepulauan Spratly.
Kedua, setelah
China mengalami pergolakan politik di dalam negeri dan memuncak pada revolusi
kebudayaan (1966-1968), kondisi Angkatan Laut China sangat memprihatinkan.
Hal ini rupanya memengaruhi niatnya untuk melakukan penyerangan ke Kepulauan
Spratly.
Ketiga, setelah
pada 1975 hubungan anatara China dan Vietnam dapat dikatakan masih baik,
sampai 1978 ketika timbul masalah-masalah bilateral seperti pengusiran
penduduk keturunan China, masalah perbatasan, dan invasi pasukan Vietnam ke
Kampuchea yang berhasil mendepak rezim Khmer Merah dukungan Bejing.
Hubungan kedua negara diperburuk dengan terjadinya invasi sekejap
pasukan China pada Maret 1979 dengan dalih memberi pelajaran. Namun buruknya
hubungan itu ternyata tidak mendorong China melakukan serbuan ke wilayah
Kepulauan Spratly yang diklaim Vietnam.
Mungkin waktu itu dukungan Uni Soviet kepada Vietnam masih menjadi
pertimbangan China, terutama setelah Vietnam dan Uni Soviet menandatangani
perjanjian persahabatan dan kerja sama pada 1978.
Namun ternyata setelah China berhasil menduduki beberapa pulau
“milik Vietnam” di Kepulauan Spratly pada pertengahan Maret 1988, Uni Soviet
mengambil sikap tidak mendukung Vietnam. Soviet justru menyerukan agar
keduanya mau berunding untuk menyelesaikan konflik teritorial itu.
Armada Khusus
Menurut data The
Military Balance 1985-1986 yang diterbitkan IISS, China sekarang ini telah
menempatkan armada khusus yang ditugaskan di Laut China Selatan yang disebut
Armada Laut Selatan, di samping dua armada lainnya, yaitu Armada Utara dan
Armada Timur.
Kekuatan Armada Laut Selatan ini berkekuatan 600 kapal perang,
termasuk 25 kapal selam, 200 kapal amfibi dan beberapa jenis kapal perang
lainnya.
Dengan dua perkembangan itu, China tampaknya merasa mantap untuk
melaksanakan niatnya merebut wilayah yang diklaimnya di Kepulauan Spratly,
yaitu rencana pemerintah Filipina untuk membuat suatu UU yang akan menegaskan
haknya atas Kepulauan Spratly pada akhir November 1987.
Hal ini segera mengundang reaksi China. Sejak itu China
mengadakan manuver angkatan lautnya ke kepulauan itu, bahkan mengadakan
latihan perang di sana. Tindakan China ini dianggap sebagai sebagai provokasi
oleh Vietnam yang kemudian juga memperkuat angkatan lautnya sehingga terjadi
insiden pada 14 Maret 1988.
Saat itu Vietnam tidak hanya kehilangan pasukan dan kapal,
tetapi juga beberapa pulau. Konflik di Kepulauan Spratly yang melibatkan
banyak negara itu jelas mempunyai implikasi bagi keamanan regional di Asia
Tenggara.
Dua hal perlu yang diperhatikan dalam kaitan ini. Pertama,
sengketa itu melibatkan beberapa negara ASEAN, termasuk di dalamnya Filipina,
Malaysia, China, dan Vietnam. Dengan demikian, mau tidak mau negara-negara
ASEAN juga akan ikut terkena dampaknya bila konflik tersebut tidak dapat
diselesaikan secara damai.
Hal kedua adalah pentingnya kawasan Laut China Selatan yang
bersambungan langsung dengan perairan Asia Tenggara, tidak saja bagi
negara-negara ASEAN, tetapi juga bagi negara-negara besar. Jalur laut di
kawasan tersebut secara ekonomi sangat penting bagi negara-negara Asia
Tenggara, terutama negara-negara ASEAN.
Dalam perkembangannya, hingga 2011, China terlihat bertindak
sangat agresif dalam mempertahankan Laut China Selatan. Salah satu contohnya,
pelanggaran yang dilakukan China pada 25 Februari 2011. Kejadiannya sekitar
222,24 km dari pantai pulau palawan, di luar Spratly.
Kondisi di lapangan makin memanas di antara sejumlah negara yang
mengklaim Laut China Selatan. Angkatan bersenjata Vietnam mengumumkan rencana
mereka menggelar latihan perang dengan amunisi hidup di sekitar kawasan
sengketa.
Senin 13 Juni 2011, angkatan laut Vietnam menggelar latihan
perang menggunakan peluru tajam berlangsung sembilan jam di sekitar Hong On,
pulau tidak berpenghuni yang terletak sekitar 250 km dari Paracel dan hampir
1.000 km dari Spratly.
Sementara itu, di pihak lain Filipina mengusulkan penggantian
nama Laut China Selatan dengan Laut Filipina Barat. Filipina secara resmi
menggunakan nama ini sejak 1 Juni. Vietnam sendiri menyebutnya dengan nama
Laut Timur.
Jepang menyebutkan adanya kekhawatiran di kawasan Asia terhadap
membesarnya kehadiran angkatan laut China dan tujuannya di masa mendatang.
Meningkat
Persaingan pengaruh semakin meningkat di kawasan ini sejak AS
mengalihkan perhatian dan sumber dayanya ke Asia pada 2011.
Tokyo menegaskan pentingnya persekutuan Jepang dengan AS, di
mana kehadiran pasukan AS di Jepang berfungsi sebagai pencegahan terhadap
berbagai kemungkinan, dan memberikan rasa aman terhadap negara-negara di
kawasan ini. Namun demikian, Jepang juga menyebut Korea Utara dengan strategi
nuklirnya yang militeristis tetap merupakan ancaman keamanan.
Sementara itu, pemerintah Korea Utara juga sedang bekerja keras
untuk mengembangkan senjata perusak massal dan rudal balistik, menurut buku
putih itu.
Diproyeksikan hingga 2015, China akan menggelar sedikitnya 350
kapal patroli maritim dan 16 pesawat tempur. Sementara hingga 2020, jumlah
kapal laut akan meningkat menjadi 520 unit. Seiring meningkatnya
perekonomian, China semakin agresif mengklaim dalam wilayah Laut China
Selatan walaupun berbenturan dengan sejumlah negara tetangga.
Bagi ASEAN, perkembangan ini cukup memprihatinkan. Konflik
Kepulauan Spratly itu memang tidak melibatkan Indonesia secara langsung, tapi
dapat dikhawatirkan konflik itu menjalar ke wilayah Indonesia karena
Indonesia sekarang ini juga menguasai beberapa kepulauan di Laut China
Selatan, seperti Kepulauan Badas, Kepulauan Tambelan, Kepulauan Natuna, dan
Kepulauan Anambas yang letaknya berdekatan dengan Kepulauan Spratly.
Sekarang hal itu memang belum menjadi sumber konflik, tapi
mungkin konflik akan terjadi di masa mendatang. Hal ini terutama karena
adanya pengaturan baru dalam Konvensi Hukum Laut Internasional yang telah
disepakati oleh banyak negara pada Oktober 1982.
Sangat disesalkan bila ketidakamanan wilayah Laut China Selatan
sangat memengaruhi angkutan laut, baik yang datang dari negara-negara
tersebut di atas ke negara-negara ASEAN maupun sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar