Rabu, 10 Oktober 2012

Polri, KPK, dan Pemberantasan Korupsi


Polri, KPK, dan Pemberantasan Korupsi
Mohammad Nasih ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
SINDO, 10 Oktober 2012



Konflik “cicak vs buaya” kembali terjadi dan juga menarik perhatian publik luas. Penyebabnya sama: kasus dugaan korupsi yang ditangani oleh KPK menyeret nama salah satu oknum petinggi di institusi Polri.

Namun, oknum tersebut terkesan berusaha menghindari proses hukum yang sedang dijalankan oleh KPK dan sikap tersebut seolah mendapatkan dukungan dari institusinya. Bahkan kemudian tampak ada upaya untuk melakukan serangan balik. Konflik ini kemudian makin berlarut-larut, sehingga membuat institusi KPK dan Polri harus kehilangan energi yang seharusnya difokuskan untuk kinerja penegakan hukum guna memberantas korupsi tanpa pandang bulu.

Konflik antara kedua institusi tersebut makin meningkat ketika pihak kepolisian bermaksud menjemput paksa Komisaris Polisi Novel Baswedan, salah seorang penyidik KPK yang berasal dari unsur kepolisian, yang memimpin proses penyidikan kasus dugaan korupsi simulator SIM.Beberapa aparat polisi dengan sangat demonstratif berusaha menangkap Novel Baswedan di gedung KPK. Disebut demonstratif karena untuk melakukan itu harus melibatkan personel aparat yang terbilang cukup banyak, termasuk ada indikasi keterlibatan para perwira tinggi kepolisian.

Jika dibandingkan dengan kasus penangkapan Susno Duadji ketika itu, perbedaannya sangat mencolok. Padahal Susno adalah perwira tinggi aktif, walaupun sedang dinonaktifkan dari posisi sebagai kepala Badan Reserse Kriminal di Mabes Polri. Sesungguhnya apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian ibarat menepuk air di dulang tepercik muka sendiri. Lepas dari benar atau salah, apa yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut menunjukkan kelambanan Polri.

Sebab, dasar argumentasi yang digunakan untuk menangkap Novel Baswedan adalah argumen perdata yang seharusnya digunakan untuk hukum perdata atau pidana delik aduan. Padahal, yang dituduhkan adalah kasus pidana yang tidak membutuhkan pengaduan dari pihak korban atau yang lain. Dalam konteks tersebut, tindakan pihak kepolisian telah menunjukkan bahwa kasus ini telah direkayasa sedemikian rupa untuk membuat proses penyidikan terhadap kasus korupsi di kepolisian terhambat dan tentu saja.

Ada indikasi kuat bahwa yang dilakukan tersebut bertujuan agar oknum petinggi kepolisian yang patut diduga melakukan tindakan korupsi tersebut selamat dari jerat hukum. Seharusnya Polri justru berbangga karena di KPK ada penyidik dari unsur kepolisian yang memiliki integritas tinggi, karena bisa dan berani “tutup mata” untuk melakukan proses penegakan hukum, walaupun melibatkan petinggi di bekas institusi ia berasal.

Sikap tersebut akan menguntungkan institusinya dari generalisasi pandangan masyarakatbahwa Polri adalah lembaga yang korup dan tidak mampu memberantas korupsi. Konflik antara Polri dan KPK yang kian berlarut-larut bisa dipastikan akan menyebabkan proses pemberantasan korupsi menjadi terhambat. Tidak hanya energi yang akan terkuras, tetapi juga waktu yang akan habis.Padahal, masyarakat memiliki harapan besar pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dijalankan secara akseleratif.

Dan KPK memang dilahirkan untuk menjalankan tugas memberantas korupsi yang dipandang sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).Korupsi diyakini telah mewabah di segala rumpun dan level kekuasaan pada saat lembagalembaga penegak hukum yang ada dipandang tidak mampu menjalankan fungsinya.

Perlu Menata Diri

Polriseharusnya mengambil kesempatan untuk secara cepat menjadi institusi yang mampu mengondisikan diri sebagai institusi yang mendapatkan kepercayaan tinggi dari masyarakat, sehingga ketika KPK nanti sudah tidak ada lagi, Polri bisa dipercaya masyarakat untuk mengambil peran dalam melakukan pemberantasan korupsi. Namun, dengan insiden konflik tersebut,akan semakin sulit bagi Polri untuk mendapatkan lagi kepercayaan masyarakat.

Bahkan sebaliknya, Polri akan menjadi semakin lekat dengan citra sebagai institusi yang bobrok dan sarat skandal korupsi. Bukan hanya terjadi di pinggir-pinggir jalan oleh oknum-oknum polisi berpangkat rendahan, tetapi juga oknum-oknum polisi berpangkat tinggi dengan skala korupsi besar. Dengan begitu, Polri akan makin terpuruk, sehingga harapan untuk menjadikan Polri sebagai mitra masyarakat akan menjadi semakin berat.

Sebaliknya institusi ini akan dinilai makin menjadi musuh masyarakat. Konflik antara KPK dan Polri tentu telah membuat para koruptor bergembira ria, karena kedua institusi yang diharapkan melakukan pemberantasan korupsi justru me-lakukan banyak hal, kecuali yang seharusnya dikerjakan. Karena itu, Polri dan KPK harus segera menghentikan konflik yang kontraproduktif itu. Namun, menghentikannya bukan semata-mata untuk menghilangkan konflik dengan mengabaikan substansi tugas dan kewajiban untuk memberantasan korupsi. Jangan sampai penghentiannya terjadi atas dasar barter atau “tukar guling” kasus.

Penghentian konflik tersebut harus didasarkan kepada objektivitas dalam memandang substansi upaya pemberantasan korupsi. Institusi apa pun tidak boleh menghalangi siapa pun yang terlibat tindakan korupsi.Para pemimpin Polri dan KPK harus menyerahkan siapa pun, termasuk apabila mereka ada dalam jajarannya struktur institusi, apabila memang terlibat dalam tindakan korupsi.

Sikap tersebut justru akan membuat institusi menjadi semakin dipercaya oleh masyarakat. Sikap melindungi oknum koruptor dalam institusi tertentu justru akan menghancurkan institusi itu sendiri. Sikap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, ketika terjadi dugaan korupsi di MK, patut dicontoh. Terbukti, sikap itu telah membuat MK selamat dari degradasi integritas sebagai lembaga yang sebelumnya dikenal paling bersih dari tindakan korupsi. Harus diakui bahwa upaya pemberantasan korupsi, baik oleh kepolisian maupun KPK, selama ini belum optimal.

Di antara penyebabnya adalah ada oknum-oknum di dalam kedua institusi tersebut yang justru melakukan tindakan penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Sebagian di antaranya telah tertangkap basah melakukan pemerasan terhadap pihak yang bermasalah secara hukum. Akibatnya, terdapat kasus-kasus korupsi yang tidak bisa ditangani secara optimal. Ada indikasi kuat, inilah yang menyebabkan kasus-kasus megaskandal tidak bisa ditangani oleh KPK sekalipun.

Padahal,KPK telah mendapatkan kekuasaan yang membuatnya dianggap sebagai institusi superbody, sehingga rakyat menaruh harapan besar agar KPK bekerja secara akseleratif dan optimal dalam memberantas korupsi. Bisa dikatakan bahwa KPK adalah harapan terakhir. Jika KPK tidak mampu menunjukkan kinerja yang baik, harapan itu akan berubah menjadi kekecewaan yang mendalam dan bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat kepada seluruh institusi negara.

Untuk benar-benar membersihkan institusi dari para oknum yang terlibat korupsi, para pemimpin KPK dan Polri harus mengambil sikap yang sama seperti yang dilakukan oleh Mahfud. Biarkan, siapa pun oknum yang tidak bersih diproses secara hukum. Bahkan harus memberikan dukungan atas proses itu.Hanya dengan cara itulah kepercayaan publik bisa kembali dipulihkan. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar