Rabu, 10 Oktober 2012

Deliberasi Publik


Deliberasi Publik
F Budi Hardiman ;  Pengajar Filsafat Politik di STF Driyarkara Jakarta
KOMPAS, 10 Oktober 2012


Sukses pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta dalam dua putaran baru-baru ini telah memberikan angin segar pada proses demokratisasi di negeri kita. Peristiwa itu makin meyakinkan kita bahwa demokrasi merupakan modus yang paling tepat untuk suksesi kekuasaan dalam negeri multikultural ini.

Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama dalam putaran II dapat dibaca tidak hanya sebagai bukti mulai usangnya retorika SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) di negeri kita. Sejauh kita ikuti rekam jejak mereka, kedua pemimpin baru Jakarta ini mempraktikkan politik deliberatif untuk transformasi sosial. Sebelum mengambil keputusan mereka siap meninggalkan meja kantor mereka untuk turun ke bawah dan berbincang-bincang dengan masyarakat. Hal inilah yang kini langka di kalangan para pemimpin negeri ini.

Sambung Nalar

Gaya merakyat yang dipraktikkan Jokowi-Basuki bukan hal baru di negeri kita. Soekarno dan banyak tokoh pergerakan nasional juga punya gaya serupa. Yang baru pada kedua pemimpin baru Jakarta ini, gaya merakyat tak dipakai dalam konteks populisme yang muncul akibat krisis politis, tetapi dalam konteks negara hukum demokratis. Mereka ingin membaca aspirasi publik dari sumbernya sendiri. Sebagai Wali Kota Solo, Jokowi perlu puluhan forum dengar pendapat sebelum mengambil suatu keputusan publik. Baginya opini dan aspirasi dari bawah kontribusi untuk pertimbangan keputusannya. Proses menimbang- nimbang bersama masyarakat dalam teori politik kontemporer dikenal sebagai ”deliberasi publik”.

Negara hukum demokratis menyediakan ruang publik, yaitu ruang untuk sambung nalar dengan publik. Para birokrat negara memakai ruang ini hanya untuk pencitraan diri demi kedudukannya atau membiarkannya terbengkalai ditimbun prosedur- prosedur rutin yang membunuh inisiatif warga. Yang dilakukan Jokowi adalah memanfaatkan ruang itu untuk merevitalisasi praktik negara hukum demokratis. Masalah kita bukanlah tak adanya perangkat sistemis, seperti birokrasi dan lembaga parlementer, melainkan ringkihnya sambungan komunikasi perangkat sistemis itu ke masyarakat madani. Sensitivitas sistem politis kita terhadap aspirasi publik masih sangat kurang, maka warga pun mati rasa terhadap politik. Revitalisasi negara hukum berarti upaya membangun sambungan yang selama ini macet oleh berbagai blokade kepentingan kuasa dan uang. Tanpa sambungan komunikasi tersebut, menurut Jurgen Habermas, kita hanya akan mendapatkan paternalisme birokrasi, bukan negara hukum yang demokratis.

Mengikuti analisis Habermas dalam Theory of Communicative Action, kita akan tahu betapa besar tantangan yang dihadapi para pemimpin dewasa ini, termasuk Jokowi-Basuki. Dalam globalisasi, menurut dia, birokrasi dan pasar berekspansi ke wilayah masyarakat warga sehingga kebijakan pembangunan kota seolah didikte kepentingan modal dan kuasa semata. Apa yang disebutnya ”kolonisasi sistem atas dunia-kehidupan” ini tak hanya membunuh partisipasi warga dalam pembangunan kota, tetapi juga mengakibatkan marjinalisasi dan pemiskinan karena kolaborasi birokrat-investor membuat sistem seleksi yang menguntungkan sepihak. Menjamurnya mal, ITC, dan hipermarket tak lepas dari ”ekonomi libidinal” investor kelas kakap yang mencaplok bisnis kelas teri di pasar tradisional.

Pendapat Habermas bahwa kolonisasi tersebut dapat dibendung dengan produk hukum yang merupakan hasil deliberasi publik dapat berlangsung di negara-negara Barat yang masyarakat madaninya sudah relatif kuat. Masyarakat kita baru lepas dari moncong rezim otoriter yang paternalistis sehingga masih bergantung pada figur pemimpin dan kurang percaya pada sistem. Dalam kondisi transisi seperti itu, demokrasi deliberatif harus dimulai dengan kepemimpinan deliberatif. Pemimpin sendiri berinisiatif untuk sambung nalar dengan publiknya. Bukankah deliberasi harus dari bawah ke atas dan bukan sebaliknya? Hal ini tidak diperhitungkan dalam model Habermas yang bertolak dari tradisi kritis terhadap otoritas, tetapi Jokowi memperkenalkan kemungkinan itu. Setidaknya itu yang telah dikerjakannya sebagai Wali Kota Solo.

Tradisi Deliberasi

Ide demokrasi deliberatif sudah tersirat dalam ide ”permusyawaratan” sila ke-4 Pancasila. Model ini ingin menjawab kebutuhan akan legitimasi politis dalam masyarakat kompleks seperti Indonesia. Diperlengkapi dengan teori diskursus, model ini menjelaskan bahwa suatu kebijakan publik baru dapat mengklaim legitimitasnya setelah diuji secara diskursif dalam forum-forum deliberasi, terutama di dalam ruang-ruang publik di luar DPR. Pertumbuhan tradisi deliberasi publik, baik lewat media- media massa maupun forum-forum warga, akan mendorong produksi kebijakan-kebijakan publik yang semakin dekat dengan aspirasi masyarakat bila tersambung dengan DPR. Demokrasi deliberatif tidak bermuara pada liberalisme, tetapi pada sosialisme demokratis yang tidak lain daripada organisasi diri warga.

Jakarta bukan Solo atau Belitung. Tidak mudah mengatur sejumlah besar utility maximizers tanpa ketulusan sekaligus kecerdikan. Interaksi sosial di Jakarta begitu banyak digerakkan oleh sistem, tetapi begitu sedikit digerakkan oleh solidaritas sosial. Sistem dengan kode uang dan kuasa masih selalu merupakan motivator utama interaksi sosial. Konflik kepentingan antarpartai, antarinstansi, antarperusahaan, dan antarkelompok dalam berbagai taraf dapat selalu terjadi dalam kompleksitas sosial Jakarta di mana gubernur dan wakilnya dapat terseret ke dalamnya. Integritas kepemimpinan mereka kiranya akan disokong oleh sambung nalar dengan berbagai lapisan publik di Ibu Kota.

Kekuatan-kekuatan masyarakat warga telah ada meski belum cukup besar. Kekuatan itu, misalnya, tampak dalam forum lintas agama untuk menentang kekerasan dan intoleransi atau dalam dukungan publik akhir- akhir ini untuk mentang pengebirian KPK lewat revisi UU KPK di DPR. Jumlah mereka yang antidiskriminasi, anti-intoleransi, antimarjinalisasi, dan antikorupsi pasti merupakan mayoritas di Jakarta. Para pemilik modal dan kuasa juga akan mengklaim diri mereka pro-kesetaraan sosial dan propemberdayaan masyarakat miskin.

Kebenaran isi klaim itu hanya bisa dibuktikan jika mereka juga dilibatkan dan dievaluasi dalam forum-forum deliberasi publik. Keprihatinan bersama yang dibangun lewat deliberasi publik akan membuat para individu rela melampaui kepentingan privatnya dengan mengambil alih peran warga kota.

Suatu kombinasi antara berbagai kekuatan masyarakat warga dan kepemimpinan deliberatif, seperti dicontohkan oleh Jokowi, dalam jangka panjang akan dapat mengubah Jakarta menjadi masyarakat dengan ”rasa komuniter” yang lebih tinggi. Tidak mustahil kepemimpinan deliberatif menjadi—meminjam Malcolm Gladwell—Tipping Point, yakni ”momen dramatis, ketika segalanya berubah sekaligus” di Indonesia. Dampak ”epidemis” seperti itu dianugerahkan oleh Sang Waktu kepada pemimpin amanah yang mampu memobilisasi ”modal sosial” untuk kebaikan bersama. Berbagai persoalan Jakarta, seperti kemacetan lalu lintas, korupsi, kemiskinan, dan banjir, memang tak mudah diselesaikan. Namun, penyelesaian kiranya sudah dicapai separuhnya jika tercipta sinergi sosial lewat deliberasi publik, yaitu jika kebijakan-kebijakan kota didukung para warganya.

Selamat bertugas Pak Jokowi dan Pak Basuki. Lanjutkan politik deliberatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar