Diskusi Panel Kompas
‘Konstitusi
dan Negara Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan’
|
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Pengantar
Redaksi
Menandai
peringatan Hari Kemerdekaan RI, Desk Opini ”Kompas” bekerja sama dengan Lingkar
Muda Indonesia (LMI) pada 15 Mei 2012 menyelenggarakan diskusi panel seri
II/2012 di Bentara Budaya Jakarta (BBJ). Mengambil tema ”Konstitusi dan Negara
Kesejahteraan: Pendidikan yang Memerdekakan”, diskusi menampilkan pembicara
Jalaluddin Rakhmat (Yayasan Muthahari), Elin Driana (Universitas Muhammadiyah
Prof Dr Hamka), dan H Soedijarto (Universitas Negeri Jakarta), dipandu oleh
Daniel Adipranata. Hasil diskusi yang dirangkum oleh Chris Panggabean dan
Daniel Adipranata dari LMI serta wartawan ”Kompas” Kenedi Nurhan, diturunkan
pada halaman 6 dan 7 hari ini.
Sesuatu yang alamiah jika individu
menginginkan yang terbaik. Sesuatu yang mulia jika ada kehendak untuk maju mencapai
kondisi yang lebih baik lagi. Dalam hal ini pembanding diperlukan. Apakah
membandingkan satu hal dengan hal lain yang setara; atau membandingkan dengan
keadaan sebelumnya.
Apa pun itu diperlukan suatu tolok ukur,
gunanya untuk meminimalkan bias dalam menilai diri. Setelah proses belajar
berlangsung banyak pihak yang ingin mengetahui, sampai sejauh apa pelajaran
dapat terserap, siswa mana saja yang kemampuan menyerap pengetahuannya lebih
terbelakang dibanding teman-teman satu sekolah, sekolah mana saja yang dapat
memberikan proses pembelajaran yang terbaik dan seterusnya. Tolok ukur diharapkan menjadi masukan dalam
proses evaluasi sehingga dapat diketahui sudah sejauh apa melangkah dan sisi
mana yang masih perlu diperbaiki.
Konstruk pengukuran semestinya disesuaikan
dengan tujuan yang hendak dicapai. Jika tujuannya untuk evaluasi proses,
selayaknya ia ditempatkan sebagai data masukan untuk memperbaiki proses. Lantas
bagaimana jika angka tolok ukur menjadi tujuan itu sendiri?
Atau lebih parah lagi tolok ukur turut
dijadikan penentu kelulusan siswa, penentu besarnya dana bantuan ke sekolah,
penentu karier para guru? Karena ada konsekuensi besar pascamistar pengkuran
(lewat high stakes testing), serta-merta subyek-subyek yang terlibat dalam
ujian nasional menjadikan angka-angka yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai
tujuan.
Tidak mengherankan jika dalam ujian nasional
ada banyak kasus di mana kepala sekolah dan para guru memfasilitasi siswanya
untuk saling ”berbagi” saat ujian berlangsung. Pihak sekolah ingin konduite
sekolahnya bagus, para siswa tidak ingin mengulang satu tahun lagi.
Untuk itu angka kelulusan minimal harus
tercapai. Tanpa disadari oleh pembuat kebijakan standar baku yang ditentukannya
menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh sekolah.
Kontradiksi
Ada kontradiksi dalam kebijakan pendidikan
nasional. Sistem evaluasi pendidikan nasional di akhir bertentangan dengan
proses pembelajaran yang sudah berlangsung. Ujian Nasional yang seharusnya
memetakan perbedaan kualitas pendidikan malah menjadi alat untuk meningkatkan
kualitas pendidikan.
Padahal, perbedaan kualitas pendidikan dan
pengetahuan sejak semula ada di dalam proses pendidikan itu. Pemerintah
mengenal beberapa kategori sekolah: sekolah reguler, sekolah standar nasional
(SSN) dan sekolah berstandar internasional (SBI). Setiap kategori memiliki
perbedaan fasilitas dan metode belajar mengajar.
Untuk ketiganya diadakan Ujian Nasional yang
sama. Saat ini sistem pendidikan nasional menggunakan kurikulum operasional
yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Intinya pihak sekolah dan
komite sekolah diminta untuk menyusun kurikulum sesuai dengan kondisi
geografis, ekonomis, dan sosial di mana sekolah itu berada.
Artinya, proses pembelajaran sangat
dimungkinkan berbeda-beda antarsekolah sesuai dengan karakteristik tiap-tiap
sekolah. Untuk kesemuanya itu, kelulusan siswa ditentukan oleh satu ujian
nasional yang sama.
Cara berpikir yang sama juga pernah coba
diterapkan lewat aturan yang mewajibkan mahasiswa S-1 dapat lulus jika telah
menulis satu artikel di jurnal ilmiah. Pembuat kebijakan seolah tak paham bahwa
di dunia ilmiah yang dipandang adalah impact factor-nya, bukan seberapa banyak
jurnal yang diterbitkan. Jika angka yang menjadi tujuan, ada banyak cara
pragmatis untuk mencapainya.
Meneruskan gaya high stakes testing dalam
sistem pendidikan hanya akan mengungkung perkembangan potensi individu. Sekolah
akan mengajarkan bahwa kebenaran ada pada otoritas, guru misalnya. Padahal,
pada era digital seperti sekarang pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai
sumber.
Intelegensi tidak lebih dari daya ingat dan
kemampuan mengulang. Akurasi ingatan dan kemampuan mengulang ini yang justru
mendapatkan pengakuan. Tak mengherankan jika daya analitis dan kemampuan
berpikir kritis semakin menurun.
Biasanya mereka yang tidak patuh terhadap
sistem akan dihukum sehingga konformitas secara intelektual dan sosial
meningkat. Sukar menemukan inovasi dan kebaruan dari karakter-karakter semacam
ini.
Sekolah tidak lebih dari pabrik untuk
mencetak murid-murid yang mampu melewati ujian akhir. Karena fokus pada ujian
nasional, jumlah jam belajar di kelas sama lamanya dengan jam belajar di tempat
les.
Kegiatannya bukan mencari pengetahuan,
melainkan mengulang-ulang soal dan mencari cara singkat menjawab soal. Siswa
pun menjadi cepat bosan, terasing dan frustrasi.
Berpikir Instrumental
Proses belajar tidak lagi menjadi pengalaman
yang menyenangkan. Tidak ada lagi kegembiraan karena mendapatkan pemaknaan dari
penyingkapan pengetahuan. Ada kekosongan dalam proses belajar. Peserta didik
menjadi terlatih untuk berpikir instrumental.
Ciri khas cara berpikir ini adalah melakukan
manipulasi agar tujuan tercapai. Makna pendidikan menjadi terdegradasi.
Pendidikan ini dikhawatirkan semakin jauh dari apa yang pernah digambarkan oleh
para pendiri bangsa.
Jika dikatakan bahwa pendidikan kita terlalu
menekankan aspek kognitif dan kurangnya aspek spiritual adalah benar adanya.
Namun, aspek spiritual yang dimaksud bukanlah gagasan tentang agama, melainkan
menciptakan kebaikan bagi kehidupan bersama, bagi kemajuan komunitasnya.
Seperti yang dilakukan oleh para pendiri
bangsa yang menggunakan pengetahuannya untuk membentuk kesadaran lepas dari
kungkungan kolonialisme. Bagi mereka, kemerdekaan akan membuat bangsa menjadi
lebih baik.
Pendidikan seharusnya menambah pengetahuan
yang mengarahkan individu untuk mampu berempati, bekerja sama dan saling
melayani dengan individu lain sehingga ketidakadilan dapat terkurangi.
Kesemuanya itu memupuk fondasi bagi karakter
diri yang terbuka. Tidak picik pada perbedaan dan terbuka pada
kemungkinan-kemungkinan baru. Visi kemajuan, inovasi, dan kreativitas dapat
diharapkan dari orang-orang semacam ini. Saat itulah pendidikan yang
memerdekakan mendapatkan pemaknaannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar