Minggu, 07 Oktober 2012

Overstigmatization Koruptor dan Overconfidence kepada KPK


Overstigmatization Koruptor
dan Overconfidence kepada KPK
Romli Atmasasmita ;  Guru Besar Emeritus Unpad
MEDIA INDONESIA, 06 Oktober 2012


PENULIS yang menjadi `bidan' KPK tentu merasa bangga karena UU KPK yang susah payah diperjuangkan 11 tahun lalu telah memperoleh tempat di hati rakyat luas. Namun, perjalanan KPK juga tidak terlalu mulus karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal karena sistem manajemen perkara yang masih menggunakan pola `menghirup bubur panas' sehingga telah menimbulkan syak wasangka `permainan' dengan pihak luar.

Keberadaan pengawas internal pun dalam posisi yang tidak setara dengan deputi pengaduan, penindakan, dan penuntutan sehingga kekuatan satuan pengawas internal tidak dapat bekerja maksimal. Faktor eksternal jelas datang dari koruptor dan kronikroninya.

Yang mengkhawatirkan penulis ialah fenomena KPK menggandeng seluruh elemen masyarakat sehingga tercipta suatu proses `overstigmatization' yang cenderung kontraproduktif, di antaranya tidak efektif untuk menimbulkan efek jera pada koruptor dan calon koruptor layaknya seseorang yang overdosis sehingga menjadi imun. Tidak ada rasa malu lagi dan tidak ada rasa takut lagi terhadap KPK. Di sisi lain, fenomena `overconfidence' terhadap KPK atau `loyalitas buta' (blind loyalty) cenderung kontraproduktif terhadap akuntabilitas kinerja KPK sehingga setiap langkah lembaga tersebut apriori benar adanya.

Dua sisi paradoks itu tentu memerlukan renungan kita bersama karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama, KPK sengaja dibentuk untuk memicu kinerja Polri dan kejaksaan sehingga untuk tujuan tersebut, KPK diberi wewenang koordinasi dan supervisi (korsup).

Wewenang tersebut, saya amati, gagal dilaksanakan KPK selama hampir 12 tahun sejak pembentukannya, bukan karena kedua institusi tersebut resisten semata-mata, melainkan memang konsep korsup tidak sejalan dengan budaya Timur `ewuh pakewuh'. Terlebih, aktor utama KPK ialah penyidik dari Polri dan penuntut dari kejaksaan. Intinya, korsup tidak dapat diterima dalam skema hubungan kelembagaan.

Pertimbangan kedua, sudah ada empat peristiwa KPK gagal menjalankan fungsi tersebut; 1) Kasus penggeledahan ruang kerja Ketua MA sehingga menimbulkan ‘keributan’ internal di MA, 2) Kasus mantan Mensesneg dan KPK sehingga menimbulkan `keributan' internal di MA, 2) Kasus mantan Mensesneg dan KPK jilid I sehingga presiden harus turun tangan untuk menengahinya, 3) Kasus cecak versus buaya sehingga melibatkan MK untuk menyelesaikan masalah itu, dan 4) Kasus simulator antara Polri dan KPK yang telah dinodai keberadaan MoU kejaksaan, Polri, dan KPK tanggal 29 Maret 2012. Sesungguhnya MoU KPK dan Kejaksaan Agung pada Desember 2005 sangat baik karena memperkuat keberadaan UU KPK.

Pertimbangan ketiga, akuntabilitas kinerja KPK dalam soal penyadapan dan penetapan tersangka korupsi memang sangat tertutup. Akuntabilitas KPK dimaksud hanya dapat diketahui pimpinan KPK dan beberapa penyidik tertentu saja, sedangkan fungsi pengawasan Komisi III DPR RI terbatas pada masalah nonyudisial. Satuan pengawas internal hanya pada masalah perilaku sehingga menjadi bias tentang `who control the controller'?

Dalam konteks tersebut, satu-satunya kepercayaan hanyalah pada integritas kelima pemimpin KPK dan pegawainya. Akan tetapi, mereka bukanlah tanpa cacat karena bukan malaikat. Oleh karena itulah, pengawasan sangat diperlukan terhadap kinerja yudisial KPK agar pernyataan Lord Acton tidak terbukti, “Power tends to corrupt, absolute power tends to corrupt absolutely.“

Terlebih dengan seleksi calon pimpinan KPK sejak jilid I sampai III yang penuh dengan kontroversi dan kepentingan politis, dapat diduga bahwa integritas pimpinan KPK tidak bersifat absolut dan abadi. Contoh, bebasnya sekretaris mantan Gubernur BI Burhanudin Abdullah yang ditangani KPK dan kasus Panda Nababan yang tampak dipaksakan; kasus Hambalang dengan 60 saksi tidak ada kemajuan, hanya sampai pada tingkat kuasa pengguna anggaran dan pihak ketiga yang tidak relevan; pernyataan Nazaruddin dibantah salah satu pemimpin KPK terbukti benar, dengan ditetapkannya Angelina Sondakh dll menjadi tersangka.

Kontraproduktif

Overconfidence terhadap KPK justru kontraproduktif dan menyesatkan karena akan mengakibatkan fungsi kontrol tidak efektif, bahkan dinafikan pimpinan KPK.
Overconfidence masyarakatlah yang telah mendorong keyakinan pimpinan dan penyidik/penuntut KPK beranggapan langkah hukum mereka benar. Dipastikan, 99% perkara korupsi dibawa KPK pasti dihukum Majelis Pengadilan Tipikor.

Kenyataan itu sejatinya bertentangan dengan maksud tujuan semula tidak diberikannya wewenang SP3, yaitu agar KPK harus sangat ekstra hati-hati menetapkan tersangka, sekurang-kurangnya 3 atau 4 alat bukti untuk tujuan tersebut. 
Contoh efek negatif overconfidence ialah penandatanganan MoU 29 Maret 2012 antara KPK, kejaksaan, dan Polri, yang terbukti fatal karena bertentangan secara diametral dengan UU KPK.

Pertimbangan keempat, memburuknya hubungan kelembagaan antara KPK dan Polri tidak akan selesai dengan keluarnya fatwa MARI ataupun turun tangan presiden karena harmonisasi dan koordinasi sangat bergantung pada sikap dan ketulusan kedua pemimpin lembaga tersebut.

Solusi terbaik berdasarkan pengalaman KPK selama 12 tahun ialah, pertama, KPK tetap memiliki wewenang sebagaimana telah diatur dalam UU KPK. Namun, diperlukan dewan pengawas yang ditempatkan pada struktur organisasi KPK, yang terdiri dari akademisi hukum senior dan tokoh masyarakat sipil untuk mencegah kekeliruan dan pendapat Lord Acton menjadi kenyataan. Kedua, wewenang korsup dihapuskan karena lebih banyak mudarat dari maslahatnya. Ketiga, batas perkara korupsi ditangani KPK hanya senilai Rp2 miliar dan ditujukan kepada penyelenggara negara saja. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar