Overstigmatization
Koruptor
dan
Overconfidence kepada KPK
Romli Atmasasmita ; Guru Besar Emeritus Unpad
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Oktober 2012
PENULIS yang menjadi `bidan' KPK tentu merasa bangga karena UU KPK
yang susah payah diperjuangkan 11 tahun lalu telah memperoleh tempat di hati
rakyat luas. Namun, perjalanan KPK juga tidak terlalu mulus karena faktor
internal dan eksternal. Faktor internal karena sistem manajemen perkara yang
masih menggunakan pola `menghirup bubur panas' sehingga telah menimbulkan syak
wasangka `permainan' dengan pihak luar.
Keberadaan pengawas internal pun dalam posisi yang tidak setara
dengan deputi pengaduan, penindakan, dan penuntutan sehingga kekuatan satuan
pengawas internal tidak dapat bekerja maksimal. Faktor eksternal jelas datang
dari koruptor dan kronikroninya.
Yang mengkhawatirkan penulis ialah fenomena KPK menggandeng
seluruh elemen masyarakat sehingga tercipta suatu proses `overstigmatization' yang cenderung kontraproduktif, di antaranya
tidak efektif untuk menimbulkan efek jera pada koruptor dan calon koruptor
layaknya seseorang yang overdosis sehingga menjadi imun. Tidak ada rasa malu
lagi dan tidak ada rasa takut lagi terhadap KPK. Di sisi lain, fenomena `overconfidence' terhadap KPK atau
`loyalitas buta' (blind loyalty)
cenderung kontraproduktif terhadap akuntabilitas kinerja KPK sehingga setiap
langkah lembaga tersebut apriori benar adanya.
Dua sisi paradoks itu tentu memerlukan renungan kita bersama
karena beberapa pertimbangan. Pertimbangan pertama, KPK sengaja dibentuk
untuk memicu kinerja Polri dan kejaksaan sehingga untuk tujuan tersebut, KPK
diberi wewenang koordinasi dan supervisi (korsup).
Wewenang tersebut, saya amati, gagal dilaksanakan KPK selama
hampir 12 tahun sejak pembentukannya, bukan karena kedua institusi tersebut
resisten semata-mata, melainkan memang konsep korsup tidak sejalan dengan
budaya Timur `ewuh pakewuh'. Terlebih,
aktor utama KPK ialah penyidik dari Polri dan penuntut dari kejaksaan. Intinya,
korsup tidak dapat diterima dalam skema hubungan kelembagaan.
Pertimbangan kedua, sudah ada empat peristiwa KPK gagal menjalankan fungsi tersebut; 1) Kasus penggeledahan
ruang kerja Ketua MA sehingga menimbulkan ‘keributan’ internal di MA, 2) Kasus
mantan Mensesneg dan KPK sehingga menimbulkan `keributan' internal di MA, 2)
Kasus mantan Mensesneg dan KPK jilid I sehingga presiden harus turun tangan
untuk menengahinya, 3) Kasus cecak versus buaya sehingga melibatkan MK untuk
menyelesaikan masalah itu, dan 4) Kasus simulator antara Polri dan KPK yang
telah dinodai keberadaan MoU kejaksaan, Polri, dan KPK tanggal 29 Maret 2012. Sesungguhnya
MoU KPK dan Kejaksaan Agung pada Desember 2005 sangat baik karena memperkuat
keberadaan UU KPK.
Pertimbangan ketiga, akuntabilitas kinerja KPK dalam soal penyadapan dan penetapan
tersangka korupsi memang sangat tertutup. Akuntabilitas KPK dimaksud hanya dapat diketahui pimpinan KPK
dan beberapa penyidik tertentu saja, sedangkan fungsi pengawasan Komisi III DPR
RI terbatas pada masalah nonyudisial. Satuan pengawas internal hanya pada
masalah perilaku sehingga menjadi bias tentang `who control the controller'?
Dalam konteks tersebut, satu-satunya kepercayaan hanyalah pada
integritas kelima pemimpin KPK dan pegawainya. Akan tetapi, mereka bukanlah
tanpa cacat karena bukan malaikat. Oleh karena itulah, pengawasan sangat
diperlukan terhadap kinerja yudisial KPK agar pernyataan Lord Acton tidak
terbukti, “Power tends to corrupt,
absolute power tends to corrupt absolutely.“
Terlebih dengan seleksi calon pimpinan KPK sejak jilid I sampai III yang penuh
dengan kontroversi dan kepentingan politis, dapat diduga bahwa integritas
pimpinan KPK tidak bersifat absolut dan abadi. Contoh, bebasnya sekretaris
mantan Gubernur BI Burhanudin Abdullah yang ditangani KPK dan kasus Panda
Nababan yang tampak dipaksakan; kasus Hambalang dengan 60 saksi tidak ada
kemajuan, hanya sampai pada tingkat kuasa pengguna anggaran dan pihak ketiga yang
tidak relevan; pernyataan Nazaruddin dibantah salah satu pemimpin KPK terbukti
benar, dengan ditetapkannya Angelina Sondakh dll menjadi tersangka.
Kontraproduktif
Overconfidence terhadap KPK justru
kontraproduktif dan menyesatkan karena akan mengakibatkan fungsi kontrol tidak
efektif, bahkan dinafikan pimpinan KPK.
Overconfidence masyarakatlah yang telah mendorong keyakinan pimpinan dan penyidik/penuntut KPK beranggapan langkah hukum mereka benar. Dipastikan, 99% perkara korupsi dibawa KPK pasti dihukum Majelis Pengadilan Tipikor.
Overconfidence masyarakatlah yang telah mendorong keyakinan pimpinan dan penyidik/penuntut KPK beranggapan langkah hukum mereka benar. Dipastikan, 99% perkara korupsi dibawa KPK pasti dihukum Majelis Pengadilan Tipikor.
Kenyataan itu sejatinya bertentangan dengan maksud tujuan semula
tidak diberikannya wewenang SP3, yaitu agar KPK harus sangat ekstra hati-hati
menetapkan tersangka, sekurang-kurangnya 3 atau 4 alat bukti untuk tujuan
tersebut.
Contoh
efek negatif overconfidence ialah
penandatanganan MoU 29 Maret 2012 antara KPK, kejaksaan, dan Polri, yang
terbukti fatal karena bertentangan secara diametral dengan UU KPK.
Pertimbangan keempat, memburuknya hubungan kelembagaan antara KPK dan Polri tidak akan
selesai dengan keluarnya fatwa MARI ataupun turun tangan presiden karena
harmonisasi dan koordinasi sangat bergantung pada sikap dan ketulusan kedua
pemimpin lembaga tersebut.
Solusi terbaik berdasarkan pengalaman KPK selama 12 tahun ialah,
pertama, KPK tetap memiliki wewenang sebagaimana telah diatur dalam UU KPK.
Namun, diperlukan dewan pengawas yang ditempatkan pada struktur organisasi KPK,
yang terdiri dari akademisi hukum senior dan tokoh masyarakat sipil untuk
mencegah kekeliruan dan pendapat Lord Acton menjadi kenyataan. Kedua, wewenang
korsup dihapuskan karena lebih banyak mudarat dari maslahatnya. Ketiga, batas
perkara korupsi ditangani KPK hanya senilai Rp2 miliar dan ditujukan kepada
penyelenggara negara saja. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar