Minggu, 07 Oktober 2012

Mubaligh dalam Iklan


Mubaligh dalam Iklan
Muhammad Akhyar Adnan ;  Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
REPUBLIKA, 06 Oktober 2012


Ada suatu femonena yang semakin marak muncul sejak beberapa tahun terakhir ini, yang mungkin, atau rasanya tidak pernah ada sekitar satu atau dekade yang lalu, yakni ketika sejumlah Mubaligh ––apakah digelari ustaz atau ustazah, kiai, atau dai, dan sebagainya‚–– meramaikan dunia periklanan komersial dengan cara menjadi bintang iklan. Adakah sesuatu yang salah dengan fenomena ini? Jawabannya, tentu bergantung dari sudut mana kita memandangnya.

Sebagian masyarakat mungkin berpendapat sah-sah saja. Pertanyaannya, apakah sesederhana itu masalahnya? Tentu tidak. Mari kita lihat dari ––setidaknya–– dua sisi saja, yakni: siapa itu para mubaligh dan apa serta bagaimana dunia periklanan.
Seorang mubaligh [agama Islam, tentunya] adalah seseorang yang memiliki ilmu agama yang memadai dan sekaligus mempunyai kemampuan komunikasi yang baik dalam menyebarkan dakwah Islamiyah yang tentu saja sarat dengan nilai kebenaran, kejujuran, dan keikhlasan.

Fungsi utama mereka adalah melakukan dakwah Islamiah, amar makruf nahi munkar dengan tata cara yang lazim, dengan niat tulus hanya mencari rida Allah SWT. Sekali lagi, nilai-nilai kebenaran dan kejujuran serta keikhlasan (sedikitnya) menjadi landasan kokoh dalam dunia mereka yang tidak bisa dibeli atau ditukar dengan apa pun.

Sebaliknya, [dunia] iklan adalah media seseorang atau sekelompok pelaku ekonomi untuk mempromosikan dan men jual barang, produk atau jasa yang diproduksinya. Betapapun‚ ––mestinya–– ada etika yang mengikat mereka da lam praktik berpromosi, semua kita juga tahu bahwa dalam kenyataannya sering kali etika tinggal etika, praktik periklanan berjalan terlepas sama seka li dari apa yang seharusnya menjadi pe doman. Bukankah semua kita mengenal ungkapan, ‘semua kecap adalah nomor satu’.

Ini berarti, untuk mencapai tujuan tertentu, sering kali hal-hal yang berkaitan dengan cara, metode, dan semacamnya diabaikan sama sekali. Tidak jarang kita lihat iklan yang penuh kebohongan, kelicikan, tipuan, jebakan, dan semacamnya. Sering pula sejumlah iklan harus menghalalkan pemandangan (aurat wanita, misalnya) yang semestinya harus disembunyikan atau ditutup sesuai dengan kaidah syariah.

Dua penjelasan singkat di atas secara gamblang menunjukkan sesungguhnya betapa paradoksnya variabel mubaligh di satu sisi, dan dunia periklanan di sisi yang lain. Para mubaligh, semestinya sangat lekat dengan [tradisi] kebenaran (sebagai lawan kebatilan), kejujuran (sebagai lawan dari kebohongan dengan segala variasinya), dan keikhlasan yang hanya mencari rida Allah versus segala sesuatu yang bersifat serba vested interest.

Kenyataan Berlawanan

Sementara itu, dunia periklanan, seperti diungkap di atas, sangat terbiasa melupakan kebenaran, sarat dengan kebohongan, dan serba diukur dengan materi atau apa pun yang bersifat duniawi dan jangka pendek. Jangan pernah bicara kebenaran (haq), jujur apalagi ikhlas dalam hal dunia iklan komersial, apalagi dibingkai kokoh oleh alam komersial dan filosofi kapitalisme yang mendalam.

Sekadar contoh, ketika seorang mubaligh mengiklankan produk atau jasa X (misalkan saja obat atau minuman tertentu) adalah yang terbaik, pertanyaanya: apakah secara jujur memang itulah produk terbaik dalam segala hal (mutu, khasiat, harga, delivery, dan lain sebagainya)? Bukankah masih ada produk sejenis lain yang mungkin, secara jujur harus diakui lebih baik dari apa yang diiklankan yang bersangkutan?

Bukankah sang mubaligh yang bintang iklan yang (dalam iklan tersebut) mengatakan bahwa produk X tersebut terbaik dan patut dibeli konsumen atau jamaahnya mengatakan semuanya karena semata-mata ia dibayar untuk itu? Artinya, sama sekali tiada lagi nilainilai keikhlasan (dan kejujuran) dalam perilaku tersebut. Ini berarti, bertolak belakang secara frontal dengan nilai yang selayaknya dianut dan dipegang teguh seorang mubaligh, yakni: menyampaikan kebenaran (haq) dengan penuh kejujuran hanya demi meraih mardhatillah (rida Allah), dan bukan motif lain.

Berdasarkan hal di atas, kendati mung kin secara hukum positif sulit dicari justifikasi adanya pelanggaran bagi para mubaligh yang menjadi bintang iklan, namun secara moral dan etis, sulit menolak bahwa mereka sama sekali bersih. Apakah patut rasanya bila seorang mubaligh dengan mudahnya melupakan nilai-nilai moral dan etika yang justru harus dijaganya secara ketat dan konsisten?

Bukankah mereka yang semestinya menjadi benteng terakhir dalam penegakan moral dan etika dalam masyarakat kita yang semakin runyam ini? Apa jadinya kalau di masa depan gejala ini tidak segera dihentikan, bukankah mereka akan semakin kehilangan respek dan rasa amanah (trust) umat, akibat hanya ‘menjual diri dan martabat mulia’ dengan mendapatkan sejumlah uang dari hasil sampingan sebagai bintang iklan? Sudah sepatutnya hal ini menjadi perhatian dan keprihatinan berbagai pihak yang berwenang dan berkompeten.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi mubaligh seperti Ikatan Da’i Indone sia (Ikadi), bahkan ormas seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persis, mestinya jeli dan peka akan gejala ini.

Mereka sepatutnya selalu memantau juga perilaku para mubaligh, tidak hanya dari segi hukum, tetapi juga dari hal-hal yang berkaitan dengan moral dan etika, yang kadang-kadang terkesan samar atau tidak jelas, tetapi sesungguhnya sangat melanggar batas yang selayaknya dijaga ketat. Tidak pula berlebihan, bilamana perlu MUI juga mengeluarkan fatwa atas gejala yang mengkhawatirkan ini.
Wallahu a’lam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar