Mubaligh dalam
Iklan
Muhammad Akhyar Adnan ; Dosen Fakultas
Ekonomi
Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
06 Oktober 2012
Ada suatu femonena yang semakin marak muncul sejak beberapa tahun
terakhir ini, yang mungkin, atau rasanya tidak pernah ada sekitar satu atau
dekade yang lalu, yakni ketika sejumlah Mubaligh ––apakah digelari ustaz atau
ustazah, kiai, atau dai, dan sebagainya‚–– meramaikan dunia periklanan
komersial dengan cara menjadi bintang iklan. Adakah sesuatu yang salah dengan
fenomena ini? Jawabannya, tentu bergantung dari sudut mana kita memandangnya.
Sebagian masyarakat mungkin berpendapat sah-sah saja. Pertanyaannya,
apakah sesederhana itu masalahnya? Tentu tidak. Mari kita lihat dari
––setidaknya–– dua sisi saja, yakni: siapa itu para mubaligh dan apa serta
bagaimana dunia periklanan.
Seorang mubaligh [agama Islam, tentunya] adalah seseorang yang
memiliki ilmu agama yang memadai dan sekaligus mempunyai kemampuan komunikasi
yang baik dalam menyebarkan dakwah Islamiyah yang tentu saja sarat dengan nilai
kebenaran, kejujuran, dan keikhlasan.
Fungsi utama mereka adalah melakukan dakwah Islamiah, amar makruf nahi munkar dengan tata cara
yang lazim, dengan niat tulus hanya mencari rida Allah SWT. Sekali lagi,
nilai-nilai kebenaran dan kejujuran serta keikhlasan (sedikitnya) menjadi
landasan kokoh dalam dunia mereka yang tidak bisa dibeli atau ditukar dengan
apa pun.
Sebaliknya, [dunia] iklan adalah media seseorang atau sekelompok
pelaku ekonomi untuk mempromosikan dan men jual barang, produk atau jasa yang
diproduksinya. Betapapun‚ ––mestinya–– ada etika yang mengikat mereka da lam
praktik berpromosi, semua kita juga tahu bahwa dalam kenyataannya sering kali
etika tinggal etika, praktik periklanan berjalan terlepas sama seka li dari apa
yang seharusnya menjadi pe doman. Bukankah semua kita mengenal ungkapan, ‘semua
kecap adalah nomor satu’.
Ini berarti, untuk mencapai tujuan tertentu, sering kali hal-hal
yang berkaitan dengan cara, metode, dan semacamnya diabaikan sama sekali. Tidak
jarang kita lihat iklan yang penuh kebohongan, kelicikan, tipuan, jebakan, dan
semacamnya. Sering pula sejumlah iklan harus menghalalkan pemandangan (aurat
wanita, misalnya) yang semestinya harus disembunyikan atau ditutup sesuai
dengan kaidah syariah.
Dua penjelasan singkat di atas secara gamblang menunjukkan
sesungguhnya betapa paradoksnya variabel mubaligh di satu sisi, dan dunia
periklanan di sisi yang lain. Para mubaligh, semestinya sangat lekat dengan
[tradisi] kebenaran (sebagai lawan kebatilan), kejujuran (sebagai lawan dari
kebohongan dengan segala variasinya), dan keikhlasan yang hanya mencari rida
Allah versus segala sesuatu yang bersifat serba vested interest.
Kenyataan Berlawanan
Sementara itu, dunia periklanan, seperti diungkap di atas, sangat
terbiasa melupakan kebenaran, sarat dengan kebohongan, dan serba diukur dengan
materi atau apa pun yang bersifat duniawi dan jangka pendek. Jangan pernah
bicara kebenaran (haq), jujur apalagi
ikhlas dalam hal dunia iklan komersial, apalagi dibingkai kokoh oleh alam
komersial dan filosofi kapitalisme yang mendalam.
Sekadar contoh, ketika seorang mubaligh mengiklankan produk atau
jasa X (misalkan saja obat atau minuman tertentu) adalah yang terbaik,
pertanyaanya: apakah secara jujur memang itulah produk terbaik dalam segala hal
(mutu, khasiat, harga, delivery, dan
lain sebagainya)? Bukankah masih ada produk sejenis lain yang mungkin, secara
jujur harus diakui lebih baik dari apa yang diiklankan yang bersangkutan?
Bukankah sang mubaligh yang bintang iklan yang (dalam iklan
tersebut) mengatakan bahwa produk X tersebut terbaik dan patut dibeli konsumen
atau jamaahnya mengatakan semuanya karena semata-mata ia dibayar untuk itu?
Artinya, sama sekali tiada lagi nilainilai keikhlasan (dan kejujuran) dalam
perilaku tersebut. Ini berarti, bertolak belakang secara frontal dengan nilai
yang selayaknya dianut dan dipegang teguh seorang mubaligh, yakni: menyampaikan
kebenaran (haq) dengan penuh
kejujuran hanya demi meraih mardhatillah (rida Allah), dan bukan motif lain.
Berdasarkan hal di atas, kendati mung kin secara hukum positif
sulit dicari justifikasi adanya pelanggaran bagi para mubaligh yang menjadi
bintang iklan, namun secara moral dan etis, sulit menolak bahwa mereka sama
sekali bersih. Apakah patut rasanya bila seorang mubaligh dengan mudahnya
melupakan nilai-nilai moral dan etika yang justru harus dijaganya secara ketat
dan konsisten?
Bukankah mereka yang semestinya menjadi benteng terakhir dalam
penegakan moral dan etika dalam masyarakat kita yang semakin runyam ini? Apa
jadinya kalau di masa depan gejala ini tidak segera dihentikan, bukankah mereka
akan semakin kehilangan respek dan rasa amanah (trust) umat, akibat hanya ‘menjual diri dan martabat mulia’ dengan
mendapatkan sejumlah uang dari hasil sampingan sebagai bintang iklan? Sudah
sepatutnya hal ini menjadi perhatian dan keprihatinan berbagai pihak yang
berwenang dan berkompeten.
Majelis Ulama Indonesia (MUI), organisasi mubaligh seperti Ikatan
Da’i Indone sia (Ikadi), bahkan ormas seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama
(NU), dan Persis, mestinya jeli dan peka akan gejala ini.
Mereka sepatutnya selalu memantau juga perilaku para mubaligh,
tidak hanya dari segi hukum, tetapi juga dari hal-hal yang berkaitan dengan
moral dan etika, yang kadang-kadang terkesan samar atau tidak jelas, tetapi
sesungguhnya sangat melanggar batas yang selayaknya dijaga ketat. Tidak pula
berlebihan, bilamana perlu MUI juga mengeluarkan fatwa atas gejala yang
mengkhawatirkan ini.
Wallahu a’lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar