Mengorupsi
Ibadah Haji
Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al-Azhar,
Kairo, Mesir Pengamat politik Timur Tengah dan dunia Islam pada Moderate
Muslim Society (MMS), Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Oktober 2012
“Mereka yang melakukan ibadah haji/umrah dengan menggunakan uang hasil
korupsi tak ubahnya orang mandi dengan menggunakan air kotor. Mereka tidak akan
pernah bersih, berapa kali pun mandi dengan air kotor tersebut."
JEMAAH haji Indonesia mulai berangkat menuju Tanah Suci, Mekah
AlMukaromah. Bagi umat Islam pada umumnya, pergi ke Tanah Suci untuk berhaji
merupakan ibadah paling ‘mewah’ sekaligus paling mahal.
Hal itu tidak semata-mata disebabkan ibadah tersebut membutuhkan
modal finansial yang cukup banyak. Lebih daripada itu, ibadah haji sarat dengan
pesan-pesan sosial. Salah satunya ialah pesan antikorupsi.
Setidaknya ada tiga pesan antikorupsi yang dapat diambil dari
ibadah haji. Pertama, orang yang melaksanakan ibadah haji dilarang melakukan
bentuk keburukan apa pun. Alih-alih melakukan keburukan seperti korupsi,
perdebatan dalam bentuk katakata pun dilarang keras bagi seseorang yang
melakukan ibadah haji (QS Al-Baqarah: 197). Dengan demikian, orang yang
melakukan ibadah haji sesungguhnya terkondisikan untuk meninggalkan segala
macam keburukan, terutama korupsi.
Kedua, orang yang melakukan ibadah haji diwajibkan menggunakan
sehelai kain putih yang biasa dikenal dengan istilah pakaian ihram. Dengan
menggunakan sehelai kain itu, ibadah haji telah memangkas pelbagai macam
atribut sosial yang membuat umat manusia hidup dalam pelbagai macam kelas dan
pengotakan sosial; miskin dan kaya, sipil dan militer, hitam dan putih, pejabat
dan rakyat biasa, dan begitu seterusnya.
Hal yang tak kalah penting ialah sehelai kain ihram semestinya
menyadarkan umat manusia bahwa tidak ada yang bisa lepas dari pengetahuan
Tuhan, sekecil apa pun kejahatan yang dilakukan dan di mana pun kejahatan itu
dilakukan (walaupun di ruangan yang paling sempit nan sesunyi sekalipun).
Sangat mudah bagi Tuhan untuk mengetahui semua perbuatan manusia, jauh lebih
mudah daripada jemaah haji yang hendak melepaskan pakaian ihramnya.
Ketiga, orang yang melakukan ibadah haji dilarang keras menyakiti
dan menzalimi orang lain. Alih-alih menzalimi orang lain, menjatuhkan sehelai
rambut secara sengaja pun terlarang bagi mereka yang melakukan ibadah haji.
Bila tetap melakukan pelanggaran tersebut secara sengaja, jemaah
haji harus menggantinya dengan materi yang tidak sedikit. Sangat disayangkan,
sebagian jamaah haji kerap memahami bahwa sejumlah ajaran tadi hanya berlaku
dalam keadaan mereka sedang melakukan ibadah haji di Tanah Suci.
Dengan kata lain, ajaranajaran luhur dalam ibadah haji seperti itu
senantiasa tidak dianggap sebagai kewajiban juga untuk dilaksanakan di rumah
masing-masing. Suasana suci yang terbangun selama pelaksanaan ibadah tersebut
kerap berakhir semenjak mereka meninggalkan Tanah Suci menuju rumah
masing-masing.
Korupsi Terhadap Ibadah Haji
Inilah yang saya sebut sebagai praktik korupsi terhadap ibadah
haji. Disebut demikian karena ibadah haji sesungguhnya sarat dengan pesan-pesan
sosial dan moralitas untuk kehidupan nyata (di samping sebagai sebuah kewajiban
secara ritual). Namun karena praktik korupsi, ibadah haji kerap tidak mampu
menciptakan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat luas.
Padahal, jutaan umat Islam setiap tahun senantiasa melakukan ibadah haji dengan
segenap ajaran-ajaran luhur yang terdapat di dalamnya, termasuk mereka yang
berasal dari Indonesia.
Tentu,
praktik mengorupsi ibadah haji paling parah ialah para pejabat korup yang
melakukan ibadah haji dengan uang korupsi mereka, baik pejabat di jajaran
legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Di satu sisi, mereka telah mengorupsi
ibadah haji (bila tetap melakukan tindak pidana korupsi setelah melakukan
ibadah haji, sebagaimana telah dijelaskan). Di sisi lain, mereka juga
menggunakan uang rakyat untuk bisa melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci.
Tak mengherankan bila ibadah haji yang dilakukan pun tidak akan
benar-benar
mampu membersihkan jiwa raga mereka dari pelbagai macam jenis
kejahatan, terutama korupsi. Apalagi bila uang yang digunakan untuk melakukan
ibadah itu merupakan hasil tindak pidana korupsi (sebagaimana pernah diakui
salah seorang pejabat yang melakukan ibadah umrah dengan menggunakan uang hasil
korupsi).
Mereka yang melakukan ibadah haji/umrah dengan menggunakan uang
hasil korupsi tak ubahnya orang mandi dengan menggunakan air kotor. Mereka
tidak akan pernah bersih, berapa kali pun mandi dengan air kotor tersebut.
Berapa kali pun mereka bolak-balik ke Tanah Suci tidak akan mampu
menghentikan perbuatan korupsi, sebab air kotor tidak akan mampu membersihkan
sesuatu yang kotor. Kotoran yang ada jus tru akan semakin tersebar ke
mana-mana.
Pengalaman Pribadi
Penulis mempunyai pengalaman pribadi terkait dengan pembahasan
ini. Pada kisaran 2003 lalu, penulis menjadi salah satu tenaga mahasiswa,
Kairo, Mesir, yang ditugaskan untuk membantu jemaah haji di Tanah Suci. Tenaga
honorer yang dijatahkan kepada para mahasiswa Indonesia di luar negeri itu
(sesuai porsi masing-masing) biasa dikenal dengan istilah temus (tenaga musiman haji).
Ada sedikit gejolak di kalangan tenaga musiman haji dari mahasiswa
saat itu, terutama mereka yang bertugas di lapangan (bukan di perkantoran).
Gejolak tersebut berawal dari ketidakpuasan kawan-kawan mahasiswa lantaran
honor harian mereka dipotong sekian persen. Kawan-kawan mahasiswa berpandangan
honor itu semestinya diberikan secara penuh.
Namun, pemerintah (melalui perwakilannya di Jeddah) beralasan
pemotongan itu dilakukan sebagai pajak untuk negara. Keputusan pemerintah
itulah yang harus diterima temus dari mahasiswa hingga masa tugas berakhir.
Beberapa bulan setelah bulan haji berlalu, menteri agama saat itu
menyindir kawan-kawan mahasiswa yang mempersoalkan pemotongan honor di Tanah
Suci. Menteri agama menyebut kawan-kawan tersebut sebagai mahasiswa yang tidak
berakhlakul karimah.
Namun sekitar dua tahun kemudian, justru sang menteri agama yang
dituduh terlibat tindak pidana korupsi dalam urusan jemaah haji. Menteri agama
pun divonis bersalah dan harus menjadi penghuni penjara.
Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda bangsa ini akan segera
terbebas dari penyakit korupsi. Ibadah haji harus dijadikan sebagai momentum
oleh bangsa ini untuk membersihkan diri dari persoalan-persoalan yang ada,
terutama persoalan korupsi.
Para jemaah haji, para pejabat
negara di bidang urusan haji, dan siapa pun yang mengimani ajaran tersebut
sejatinya berada di garis terdepan dalam memerangi persoalan korupsi dan
persoalanpersoalan bangsa yang lain, hingga ajaran-ajaran luhur yang terdapat
di balik ibadah haji berkontribusi secara konkret dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar