Rabu, 24 Oktober 2012

Otonomi Daerah dan Kepastian Hukum

Otonomi Daerah dan Kepastian Hukum
Effendi Gazali ; Pakar Komunikasi Politik
MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2012



INDONESIA dinyatakan mengalami pertumbuhan ekonomi 6,2% pada semester kedua. Jika benar demikian, hal itu merupakan suatu prestasi tersendiri mengingat suramnya situasi ekonomi negara maju yang mengalami resesi. Namun, pertumbuhan Indonesia saat ini tidak berkualitas. Pertumbuhan didominasi konsumsi domestik dan Pulau Jawa masih menjadi motor penggerak utama perekonomian.
Distribusi kesejahteraan merupakan tantangan bagi Indonesia terkini. Terdapat kesenjangan yang cukup tinggi antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Semenjak berdirinya Badan Kerja Sama dan Penanaman Modal (BKPM), investasi langsung mengalami kenaikan drastis, tetapi dinilai belum cukup. Investor masih enggan berinvestasi ke daerah-daerah pelosok Indonesia karena minimnya infrastruktur fisik seperti listrik dan jalan raya. Banyak daerah tertinggal sesungguhnya memiliki potensi sumber daya alam yang berlimpah, tapi gagal dimanfaatkan. Salah satu penyebab fundamental yang belum terselesaikan ialah kepastian hukum.
Sejak berlakunya otonomi daerah, kepala daerah memiliki peranan yang lebih besar dalam memberikan lisensi berusaha kepada investor. Hal itu berakar dari runtuhnya Orde Baru dan euforia desentralisasi. Pada era Orde Baru, korupsi tersentralisasi di pusat. Hak pengelolaan wilayah daerah menjadi otoritas pusat. Situasi tersebut berubah pada 1999 dengan terbitnya UU No 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dikuatkan UU No 32/2004.
Namun apa yang terjadi? Pada praktiknya, otonomi daerah bisa relatif ‘kebablasan’ karena minimnya payung hukum untuk melakukan fungsi pengawasan kekuasaan pemerintah di daerah. Di bawah sistem otonomi daerah, terjadi perpindahan korupsi dari pusat ke daerah.
Dalam banyak kasus, kepala daerah menjadi raja kecil yang menerima upeti dari pebisnis yang mau berinvestasi di daerah. Pada saat yang sama, praktik pemerasan menjadi sisi lain dari mata uang tersebut. Pebisnis tidak memiliki kesempatan yang adil dalam berinvestasi di daerah kecuali memiliki hubungan pribadi yang baik dengan penguasa daerah. Hal itu diperparah jika suatu daerah sedang bersiap mengadakan pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada).
Terdapat dua sumber dana untuk dieksplorasi kepala daerah petahana atau kandidatnya. Pertama adalah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), tetapi risikonya lebih besar karena harus diaudit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Sudah terbayang bagaimana jika BPKP menemukan bukti penggelapan anggaran. Kedua adalah pebisnis. Berlimpahnya sumber daya alam Indonesia memang merupakan salah magnet utama investasi langsung. Namun begitu sampai di lapangan, sering sekali ketertarikan itu terganjal oleh hambatan infrastruktur dan lisensi berusaha.
Di bawah sistem otonomi daerah, bupati memiliki kewenangan untuk memberikan rekomendasi izin usaha, seperti hak guna usaha (HGU). Namun, harga untuk mendapatkan rekomendasi tersebut tidaklah murah. Walau secara hukum terdengar mudah, pada kenyataannya investor harus mengeluarkan dana berlebih untuk kepala daerah. Yang lebih parah lagi, bisa pula terjadi, kepala daerah menggunakan pengaruhnya untuk memobilisasi masyarakat guna melakukan demonstrasi, pemogokan, dan penutupan pabrik.
Dalam beberapa kasus, polisi bahkan tidak jarang hanya berdiam diri karena tidak mampu menangani massa. Situasi itu mencerminkan lemahnya legitimasi pemerintah di daerah dan menyuburkan budaya premanisme pejabat daerah. Tidak sedikit pebisnis mengalami kerugian karena lemahnya penegakan hukum.
Sudah Mengakar
Lazimnya, pebisnis pun hanya dapat pasrah dengan `sistem' yang ada. Jika kepala daerah tidak diberi upeti, bisnis tidak akan jalan. Dalam berbagai kasus, praktik itu dipandang sebagai penyuapan agar pebisnis diberi kemudahan dalam berusaha di daerah. Praktik pemerasan tampaknya sudah mengakar hingga terasa tidak ada celah untuk berbisnis di daerah tanpa kehadiran upeti.
Tentulah di sisi lain, para pebisnis akan bertanya-tanya, “Adilkah jika pebisnis yang nyatanya menjadi korban sistem karena diperas kepala daerah dikriminalisasi pula gara-gara ketidakmampuan penegakan kepastian hukum yang ada?
Kepastian hukum merupakan kewajiban yang harus bisa dipenuhi pemerintah Indonesia. Tanpa koordinasi pengawasan dari pusat ke daerah, pemerasan dan budaya premanisme akan terus berlanjut. Salah satu yang perlu dilakukan ialah memikirkan kembali dengan sungguh-sungguh sistem yang ada. Pemerintah harus menjamin, jika terjadi upaya pemerasan dan pebis nis berikhtiar melaporkannya, pebisnis harus diberi perlindungan hukum atau bahkan insentif sedemikian rupa. Dengan demikian, akan makin banyak pebisnis yang berani melawan. Jangan terjadi sebaliknya, pebisnis yang melawan dan menjadi whistleblower malah dituntut balik dengan tuduhan pencemaran nama baik.
Akhirnya, setiap kali aparat hukum ingin memproses sesuatu yang dianggap sebagai `penyuapan', mereka harus mencoba menempatkan diri dalam posisi pebisnis yang sering kali jelas-jelas diancam, bahkan disertai pengerahan massa dan gangguan keamanan. Hanya dengan begitu, aparat hukum bisa bertindak lebih substansial (ke arah preventif ) ketimbang hanya menyadap dan menangkap tangan.
Di sisi lain, kepastian hukum terhadap hak-hak rakyat lokal, utamanya tanah dan kesempatan berkembang bersama, harus pula dijamin semua pihak. Jika tidak, hukum di negeri ini makin menuju ke arah apa yang disebut mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai `hukum rimba'.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar