Rabu, 24 Oktober 2012

Keharusan Berdamai dengan Sejarah

Keharusan Berdamai dengan Sejarah
Ananda Mustadjab Latip ; Aktivis Perhimpunan 98 dan Direktur Eksekutif LSSBN
MEDIA INDONESIA, 24 Oktober 2012



ADA ucapan seorang revolusioner Prancis yang menjadi semboyan hidupnya, Door de zee op te zoeken, blift de rivier trouw aan haar bron (dengan menuju ke laut, sungai tetap setia pada sumbernya). Pemahaman penulis atas semboyan itu, bila dikaitkan dalam konteks politik kebangsaan, bisa diartikan bahwa apa pun cara dan jalan yang ditempuh menuju pengabdian kepada negara dan tanah air, kita tetap harus setia kepada sumber dasar ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila sebagai ideologi negara memang masih harus dikembangkan dan disosialisasikan pemahamannya. Namun, Pancasila yang memiliki hakikat gotong royong sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Itulah mengapa Pancasila bisa dibilang sebagai lem perekat antarsuku bangsa, agama, dan berbagai budaya yang ada di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah para pemimpin elite politik di negeri ini telah mengamalkan dan mengimplementasikan nilainilai Pancasila dan UUD ‘45 dalam mengelola negara dan masyarakat? Lalu tanyakan kepada generasi muda, apakah mereka mengerti sejarah perjuangan revolusi kemerdekaan? Mengerti dan menjiwai roh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928? Bagi penulis, bila kalangan pemuda memahami isi dan menjiwai roh Sumpah Pemuda 1928, mungkin tawuran antarpelajar tidak perlu terjadi! Bila pemuda memahami makna Pancasila, tidak perlu terjadi intoleransi/pertentangan antarsuku, agama, atau ras. Harusnya lembaga survei meneliti hal-hal yang bersifat ideologis, strategis, dan mendasar seperti itu, bukannya hanya melakukan survei untuk urusan pilpres atau pilkada.
Bila menyebut kongres pemuda, perhatian publik umumnya diarahkan pada Kongres Pemuda 1928. Bisa dipahami, kong res itu menghasilkan rumusan ‘ajaib’: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Namun, sesungguhnya, teks yang mempunyai kesakralan itu tidak serta-merta muncul begitu saja dalam benak para pemuda terpelajar pada Kongres 1928 (diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) karena sebelumnya terdapat ‘Kongres Pemuda Pertama’ 1926 yang jarang diingat publik.
Mengingat tindakan masa kini tentang masa lalu (sejarah), relativisme waktu memungkinkan kita mengandaikan yang disebut sebagai masa kini ialah satu generasi, sekumpulan besar kelompok masyarakat yang hanya dipisahkan satu peristiwa mengesankan yang menjadi garis pemisah, seperti era revolusi kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, runtuhnya Orde Baru/pasca-Orde Baru atau era reformasi.
Namun, suatu ingatan kolektif bagi suatu komunitas kecil atau suatu masyarakat besar tidak hadir dengan sendirinya. Ingatan itu dibentuk, diubah, dirancang lagi, bahkan dihap pus atau diusahakan dihapus. Ingatan bisa direncanakan dengan merancang kurikulum sekolah dasar, menengah, dan perguruan tinggi.
Akan tetapi, dalam kurikulum yang dibuat, ingatan itu bisa dirancang untuk dihapus atau sekurangkurangnya diabaikan sama sekali.
Jika mengingat sejarah Kongres 28 Oktober 1928, kita juga tidak bisa melepaskan ingatan terhadap Kongres 1926. Artinya, jika penulis menguraikan catat an sejarah tersebut, tentunya akan sangat panjang. Namun, penulis mencoba mengambil benang merah dan inti sari dari hasil Kongres 1926 yang bertautan dengan hasil Kongres 1928.
Nama Sendiri
Kongres Pemuda 1926 ialah kongres pertama dengan nama resmi disebut Het Eerste Indonesich Jeugdcongres--boleh dikatakan suatu pertandingan diskursus politik dengan bahasa sebagai alat utama bila dibandingkan dengan Kongres Pemuda 1928. Semangat dan dasar pemikiran kaum muda terpelajar berjiwa patriotik nasionalis saat itu ialah perlawanan terhadap pemerasan, eksploitasi petani dan buruh, eksploitasi sumber-sumber daya alam, dan pelarian modal oleh kolonial Belanda, serta tentunya, keinginan untuk merdeka, merdeka sebagai satu bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Perhimpunan Indonesia di Belanda secara terang-terangan menginginkan kemerdekaan, yang secara simbolis dapat dilihat dengan terbentuknya Indonesiche Vereniging (Perhimpunan Indonesia, 9 Februari 1924). Mereka menolak menggunakan nama Hindia Belanda, dan memaklumkan nama sendiri, yakni Indonesia. Nama Indonesia akhirnya menjadi nama politis meskipun tidak direkomendasikan pemerintah Belanda saat itu.
Perlawanan yang boleh kita sebut radikal ialah Kongres Pemuda 30 April-2 Mei 1926, di Batavia yang diprakarsai Jong Java (1918), yang diselenggarakan dalam situasi panas, karena bersamaan dengan persiapan-persiapan yang dilakukan PKI sejak Januari 1926 untuk berontak kepada kolonial Belanda. Itu juga bertepatan dengan peringatan Hari Buruh Internasional 1 Mei. Meskipun demikian, sejarah mencatat pemberontakan PKI berlangsung November 1926.
Kongres 1926 dihadiri 11 organisasi terkemuka seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Ambonsche Studeerenden, Minahasache Studeerenden, Studie Club Indonesia, Boedi Oetomo, Mohammadijah, dan berbagai tokoh yang berminat. Kongres bertema kesatuan itu lebih banyak ‘berkutat’ pada pemikiran tentang kesatuan Indonesia dan kesatuan yang dirumuskan dalam kesatuan penggunaan bahasa, meskipun dalam diskusi saat itu mereka menggunakan bahasa Belanda. Kongres ditutup dengan acara makan malam di restoran Insulinde.
Pascakongres bahan-bahan kongres masih terus didiskusikan sampai mendapatkan perumusan akhir Agustus 1926. Yang menarik ialah kenapa Kongres Pemuda 1926 menggunakan bahasa Belanda sebagai pembicaraan dan perumusan diskusi? Hal tersebut disebabkan bahasa Belanda menempati posisi kelas sosial tertinggi dan membedakan dengan inlander/pribumi asli sebagai bangsa yang dijajah. Hierarki sosial berdasarkan bahasa itu berjalan lurus dengan hierarki rasial yang dibentuk dalam politik rasial.
Dalam pemahaman para pemuda ketika itu, secara psikopolitik, mungkin menggunakan bahasa Belanda menempatkan mereka pada kelas sosial yang secara politik setara dengan kolonial Belanda. Sejarah juga mencatat Kongres Ke-8 Jong Java di Bandung pada 2 Januari 1926 menunjukkan keberhasilan kaum muda dan mereka yang berasal dari `pinggiran' budaya Jawa, sebagaimana diwakili sosok Mohammad Tabrani Soerjowijtitro asal Pamekasan, Madura, anggota Jong Java cabang Surabaya, menempuh pendidikan OSVIA di Bandung, dan menjadi anggota luar biasa cabang Batavia. Dalam kongres tersebut tercetus tiga hal yang sangat menentukan arah perkembangan gagasan tentang persatuan Indonesia di kemudian hari: Jong Java cabang Batavia mengusulkan gagasan tentang persatuan Indonesia; Tabrani Soerjowijtitro memprakarsai Kongres Pemuda 1926, dan pengakuan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Kongres Pemuda 1926 mendapatkan sambutan luas, bahkan mulai menemukan landasan bersama bagi persatuan. Manifestasi persatuan diwujudkan pertama, dengan mendirikan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) sebagai fusi organisasi-organisasi pemuda. Kedua, menerima bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Selain itu, pemikiran lain yang muncul ialah membentuk badan permanen dengan tujuan mengusahakan dan mewujudkan konsep kesatuan Indonesia, dan memperkuat tali hubungan semua organisasi pemuda setanah air.
Saat ini, ketika era milenium abad 21 hadir dengan segala ragam nilai budaya dan peradaban umat manusia, bangsa Indonesia dihadapkan pada tantangan dan hambatan yang secara substansial masih sama, yaitu melawan penindasan atas sistem neokolonialisme dengan bentuk atau gaya baru yang diistilahkan sebagai neoliberalisasi. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi harus mengikuti sistem neolib dalam praktik yang seolah-olah lebih modern, sekalipun hakikatnya tetap memeras, mengeksploitasi, dan membuat kemiskinan secara sosioekonomi. Saat yang sama, rakyat Indonesia punya musuh besar selain dari pe ngaruh sistem neokapitalisme, tapi juga perilaku korup para pemimpin/elite politik para penyelenggara negara.
Suasana spirit pemuda di era 1926 yang kemudian mencapai tahapan kepada Sumpah Pemuda 1928 serta terwujudnya negara bangsa Indonesia 17 Agustus 1945 tentunya berbeda dengan tantangan pemuda di era milenium sekarang. Namun, tampaknya pemuda perlu berdamai dengan sejarah dan melakukan revitalisasi Sumpah Pemuda 1928. Berdamai dengan sejarah berarti fertimachen mit der geschichte, kata sejarawan Prof Tauļ¬ k Abdullah, yaitu menyelesaikan sejarah, dan kalau perlu, dengan menulis sejarah baru. Bagi penulis, momentum Sumpah Pemuda 28 Oktober bisa dijadikan momentum bagi kebangkitan pemuda Indonesia untuk menunaikan panggilan Ibu Pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar