Rabu, 24 Oktober 2012

Hukum yang Mencerahkan


Hukum yang Mencerahkan
Muhammad Yusuf ; Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
KORAN TEMPO, 24 Oktober 2012



Apresiasi yang tinggi patut disampaikan kepada Prof Dr Romli Atmasasmita, SH., LL.M. Di usianya yang sudah kepala tujuh, beliau masih saja tajam dalam menganalisis fenomena perkembangan ilmu hukum yang terjadi di Tanah Air dan bahkan mampu melahirkan pemikiran-pemikiran baru yang patut diuji dan dielaborasi lebih lanjut. Melalui buku berjudul Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi terhadap Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, guru besar Universitas Padjadjaran ini memberi pencerahan sekaligus pemikiran konstruktif dalam perkembangan ilmu hukum.
Romli dalam bukunya yang setebal 127 halaman itu mengemukakan diskursus baru dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia yang mengkompilasi antara Teori Hukum Pembangunan, yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja pada 1970-an, dan Teori Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, yang dilahirkan pada 1990-an. Argumen akademis Teori Hukum Integratif dipengaruhi pula oleh situasi hukum masa kini yang masih diisi oleh ketidakadilan, ketimpangan, dan keadaan jauh dari kesejahteraan.
Romli memandang hukum sebagai sistem nilai (system of values), selain hukum merupakan sistem norma (system of norms) sebagaimana dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja dan hukum sebagai sistem perilaku (system of behavior) sebagaimana dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo. Ketiga hakikat hukum itulah yang disebut oleh Romli sebagai tripartite character of the Indonesian legal theory of social and bureaucratic engineering. Rekayasa birokrasi dan rekayasa masyarakat ini dilandaskan pada sistem norma, sistem perilaku, dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Pandangan ini disebut sebagai Teori Hukum Integratif, di mana inti pemikiran Teori Hukum Integratif adalah perpaduan pemikiran Teori Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif dalam konteks Indonesia yang terinspirasi oleh konsep hukum menurut H.L.A. Hart.
Dari teori hukum integratif ini kita dapat mencegah atau mempersempit jurang perbedaan hukum sebagai sistem norma yang mengutamakan "norms and logics" (Austin dan Kelsen). Hukum akan kehilangan arti dan makna dalam kehidupan masyarakat jika tidak berhasil diwujudkan dalam sistem perilaku masyarakat dan birokrasi yang sama-sama taat hukum. Sebaliknya, hukum yang hanya dipandang sebagai sistem norma dan sistem perilaku saja, dan digunakan sebagai "mesin birokrasi", akan kehilangan rohnya jika mengabaikan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai puncak nilai kesusilaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara."
Mochtar
Dari sekian banyak tulisan Mochtar mengenai Teori Hukum Pembangunan, ada beberapa hal yang patut dikemukakan di sini, antara lain: Hukum adalah salah satu dari kaidah sosial (di samping kaidah moral, agama, susila, kesopanan, adat kebiasaan, dan lain-lain), yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (living law); Hukum tidak hanya kompleks kaidah dan asas yang mengatur, tetapi juga meliputi lembaga-lembaga dan proses yang diperlukan untuk mewujudkan berlakunya hukum itu dalam kenyataan.
Hukum bercirikan pemaksaan oleh negara melalui alat-alat perlengkapannya. Sebab, tanpa kekuasaan, hukum hanyalah kaidah anjuran; Kekuasaan diperlukan demi kehidupan masyarakat yang tertib (teratur); Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, dan kekuasaan harus ada batas-batasnya (kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman). Kekuasaan dapat memunculkan wibawa dan bertahan lama jika ia mendapat dukungan dari pihak yang dikuasai; Untuk itu, penguasa harus memiliki semangat mengabdi kepada kepentingan umum (sense of public service), dan yang dikuasai memiliki kewajiban tunduk kepada penguasa (the duty of civil obidience); Keduanya harus dididik agar memiliki kesadaran kepentingan umum (public spirit).
Tujuan pokok dan pertama dari segala hukum adalah ketertiban, yang merupakan syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Untuk tercapai ketertiban, diperlukan kepastian dalam pergaulan antarmanusia dalam masyarakat. Tujuan kedua setelah ketertiban adalah keadilan, yang isi keadilan ini berbeda-beda menurut masyarakat dan zamannya.
Teori Hukum Progresif
Gagasan hukum progresif muncul karena keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia. Kepercayaan terhadap hukum makin menurun, yang disebabkan oleh kinerja buruk hukum itu sendiri. Sejak 1970-an, istilah "mafia pengadilan" sudah memperkaya kosakata bahasa Indonesia. Pada masa Orde Baru, hukum sudah makin bergeser menjadi alat politik untuk mempertahankan kekuasaan waktu itu. Meminjam Podgorecke & Olgiati, hukum bukan lagi "law as a tool of social engineering" secara positif, melainkan sudah mengarah pada "dark engineering".
Sampai saat ini, sejak tumbangnya Orde Baru pada 1998, bangsa Indonesia belum berhasil mengangkat hukum sampai ke taraf mendekati keadaan ideal, khususnya berhubungan dengan pemberantasan korupsi. Komersialisasi dan commodification hukum tahun demi tahun makin marak.
Inti dari kemunduran tersebut adalah kejujuran, empati, dan dedikasi dalam menjalankan hukum menjadi suatu yang makin langka dan mahal. Hampir di semua tempat, kerendahan budi merajalela dan rakyat serta bangsa makin tidak bahagia. Dari kondisi terhadap hal dan kejadian tersebut, diajukanlah suatu gagasan untuk memilih cara yang lebih progresif. Hal tersebut dirumuskan ke dalam gagasan dan tipe hukum yang progresif atau hukum progresif. Melalui gagasan ini hendak dicari cara untuk mengatasi keterpurukan hukum di Indonesia secara lebih bermakna. Bermakna yang dimaksud, dalam arti pengubahan secara lebih cepat, melakukan pembebasan, terobosan, dan lain-lain.
Tetapi teori hukum progresif tidaklah gampang untuk diterapkan di lapangan. Hal ini mengingat sistem hukum kita menganut asas legalitas/legalisme dan positivisme, di mana penyidik dan penuntut umum tidak mempunyai kewenangan dan dasar untuk melakukan terobosan hukum melalui interpretasi mereka. Kalaupun hal itu dimungkinkan, pertanyaan dasarnya adalah apakah asumsi yang dijadikan dasar Teori Progresif, bahwa manusia itu baik, memiliki sifat-sifat kasih sayang, dan kepedulian terhadap sesama, ada pada diri para penegak hukum kita? Mari bersama-sama kita perbaiki diri, bangun negeri ini untuk Indonesia yang lebih baik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar