Selasa, 09 Oktober 2012

Musuh Terbesar Polri Kita


Musuh Terbesar Polri Kita
Reza Indragiri Amriel ;  Dosen Psikologi Forensik,
Anggota World Society of Victimology
JAWA POS, 09 Oktober 2012


TULISAN ini saya susun dua hari setelah meletupnya nama Irjen Djoko Susilo (DS) dkk dalam kasus korupsi simulator SIM. Sebagian prediksi ternyata sesuai dengan kenyataan, seiring perkembangan kasus tersebut. Sebagian lagi masih sebatas spekulasi. Lalu, bagaimana menyikapinya ke depan?

Panas setahun dihapus hujan sehari. Pepatah itu benar adanya, seiring tersiarnya warta Mahkamah Agung (MA) yang berkolaborasi dengan KPK dalam penangkapan dua hakim yang diduga menerima suap di Semarang belum lama ini. KPK bahkan menggandeng MA guna mengusut lebih jauh pihak-pihak yang terlibat dalam kasus suap tersebut. Kendati prestasi duet MA dan KPK tidak langsung sepenuhnya memperbaiki citra MA dan reputasi para hakim di mata khalayak luas, kini publik tidak lagi bisa mentah-mentah meragukan integritas MA.

MA, bersama KPK, berhasil memberikan penawar bagi keletihan psikis yang dialami publik setiap menyimak berita tentang korupsi. Wujud penawar itu adalah rangkaian aksi fenomenal yang sederhana untuk dicerna kognisi khalayak. Pertama, tangkap hakim-hakim kotor tanpa berpolemik. Kedua, berhentikan sementara hakim-hakim tersebut. Ketiga, serahkan mereka ke KPK selaku institusi yang kini relatif paling dipercaya masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Berbeda dari MA, Polri justru berisiko mengalami tragedi. Penyebabnya adalah kegagalan korps Tribrata (TB) dalam membendung perluasan imbas (dugaan) korupsi simulator SIM.

Dari sisi hukum, konsisten dengan asas praduga tak bersalah, para tersangka korupsi simulator SIM, terutama DS, belum divonis hakim. Tapi, manuver seperti mengulur-ulur waktu dengan meminta fatwa MA, penggantian personel penyidik KPK yang berasal dari Polri, dan ''Operasi 5 Oktober'' (bertepatan dengan HUT TNI) menyediakan bahan yang cukup bagi publik untuk menilai Polri telah melakukan ketidakpantasan perilaku.

Kesan kuat resistansi Polri terhadap manuver KPK bahkan justru mengonstruksi persepsi publik dari ''(dugaan) korupsi DS dan bawahan dekatnya'' ke ''(dugaan) korupsi Polri''. Korupsi individual, karena penanganannya diperumit lewat rivalitas antarlembaga penegak hukum, tak pelak menjadi bola salju bernama korupsi institusional.

Yang tak kalah penting untuk diwaspadai adalah efek susulan pertarungan KPK versus Polri ini terhadap morale personel, baik aparat KPK maupun personel Polri. Bagi personel KPK yang berasal dari Polri, pengungkapan kasus simulator SIM sangat mungkin problematis. Pada satu sisi, mereka ingin mengemban tugas pemberantasan korupsi dengan sepenuh hati. Namun, pada sisi lain, ada perasaan diawasi dari kejauhan oleh para senior di Polri, sehingga menimbulkan kekhawatiran akan karir mereka sekembali ke Polri kelak. Kasus Kompol Novel Baswedan yang hendak ditangkap, karena kesalahannya pada masa lalu digali, menjadi manifestasi blak-blakan kondisi itu.

Begitu pula, aparat Polri yang terlebih berada di jajaran bawah yang sehari-hari kontak langsung dengan masyarakat sangat mungkin diterpa gelombang sinisme publik. Perlakuan negatif masyarakat bisa memicu frustrasi personel. Pada gilirannya, frustrasi berpeluang bermuara pada perilaku regresif maupun agresif. Regresif berciri apatisme personel. Yakni, etos kerja yang menyusut, keandalan kognitif yang menumpul, dan vitalitas fisik yang menurun. Sementara itu, perilaku agresif mewujud dalam pola pelayanan kepolisian yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan dan kesantunan. Atau, seandainya segalanya tetap ''normal'' di kantor, stres aparat dapat pecah di rumah.

Apatisme personel polisi akan menjadi pretext yang mendorong vigilantisme publik. Yakni, masyarakat mengambil prakarsa untuk menyelesaikan problem-problem mereka sendiri dengan cara-cara menabrak hukum. Demikian pula, ketika masyarakat menyaksikan polisi kian mengedepankan cara-cara kekerasan, reaksi balik mereka adalah kekerasan terhadap polisi pula.

Siklus seperti itu, yang dilatarbelakangi kasus simulator SIM, tidak hanya mengakibatkan kerugian finansial. Kerusakan psikososial yang ditimbulkan kasus simulator SIM tersebut sebenarnya dapat ''diangkakan''. Caranya, antara lain, anjloknya produktivitas personel polisi dibanding jumlah rupiah anggaran yang telah dialokasikan untuk Polri.

Selanjutnya, kekerasan terhadap polisi diangkakan berdasar jumlah uang yang dipakai untuk memperbaiki fasilitas fisik Polri korban vandalisme, selain biaya pengobatan personel yang sakit, cedera, atau bahkan kehilangan nyawa. Tergerusnya kepercayaan terhadap polisi dinilai berdasar angka kerugian yang dialami masyarakat setelah menjadi korban kejahatan, namun tidak mereka laporkan kepada polisi.

Dengan gambaran efek korupsi yang dahsyat seperti itu, tindak lanjut berikutnya kembali ke Polri: mau menjadi ''bintang setitik rusak Polri sebelanga'' atau ''hujan sehari'' yang merebut kepercayaan publik? Bersikukuh pada reaksi defensif atau meniru gaya MA yang menyongsong pemberantasan korupsi?

Jelas, bagi Polri, menghukum personelnya -sekalipun pangkatnya sangat tinggi- yang bersalah adalah pilihan tepat ketimbang menerima hukuman masyarakat. Polri harus mengalahkan musuh terbesarnya, yakni diri sendiri.

Dengan kondisi tersebut, demi kebaikan Polri, patut dipertimbangkan dua hal. Pertama, kewenangan Polri dalam menangani kasus-kasus korupsi dibekukan, setidaknya untuk sementara. Pemberantasan korupsi internal mensyaratkan perombakan total dan pemutusan mata rantai predatory policing, dan Polri belum siap melakukan tugas besar tersebut.

Kedua, pantas ditimbang-timbang memberikan kesempatan kepada kalangan nonkarir Polri untuk menduduki jabatan Kapolri. Itu dimaksudkan untuk menyediakan agen yang bisa dipercaya oleh lapis kepangkatan bawah dan menengah bahwa kesungguhan mereka untuk memutus mata rantai korupsi internal benar-benar dijaga oleh TB-1 (Kapolri). TB-1 yang percaya diri karena tidak pernah terkontaminasi subkultur korupsi korps polisi.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar