Menanti
Konsistensi Presiden
Yudi Latif ; Pemikir Kenegaraan dan Keagamaan
|
KOMPAS,
09 Oktober 2012
Tak bisa dipandang sebelah mata kemampuan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam meloloskan diri dari berbagai kemelut
politik. Berbagai skandal dan tengkar alat-alat kekuasaan secara cerdik
diarahkan menuju ”keseimbangan” politik dengan bonus pengukuhannya sebagai
”pahlawan”.
Presiden SBY sepertinya memahami benar
batas-batas otentisitas dan stamina perjuangan lawan-lawan politiknya. Dalam
suatu masyarakat politik yang dikuasai para pemimpin partai dan politisi
bermasalah, yang tidak lagi menjangkarkan kepentingannya pada nilai luhur,
Presiden SBY mahir memainkan sticks and carrots, kapan harus menggertak dan
kapan harus menawarkan gula-gula.
Dalam suatu masyarakat birokrasi yang terdiri
atas berbagai sarang penyamun, Presiden SBY bisa memainkan cacat-cacat aparatur
negara untuk memaksakan loyalitas. Pada saat yang sama, ia pun dapat memainkan
konflik kepentingan antarlembaga negara untuk tujuan pengalihan isu atau
melarikan diri dari tanggung jawab.
Dalam suatu masyarakat sipil dengan tingkat
independensi yang lemah, Presiden SBY bisa dengan mudah memainkan distribusi
logistik. Penetrasi logistik pada pemilihan ketua-ketua ormas dapat merobohkan
dimensi kesukarelaan sebagai watak masyarakat sipil, yang dapat berujung pada
pudarnya kewibawaan pemimpin masyarakat. Penetrasi logistik juga bisa memecah
jaringan solidaritas masyarakat sipil yang melemahkan kekuatan oposisi terhadap
pemerintah.
Dalam suatu masyarakat media yang didikte
oleh rezim rating, Presiden SBY juga
dengan cekatan merekayasa pseudo-events,
yang dapat mengalihkan perhatian media secara cepat dari satu isu ke isu lain.
Karena realitas politik adalah realitas opini publik, pergeseran cepat fokus
liputan media membuat opini publik mudah bergeser. Skandal politik bisa
berhenti sekadar simulacra di layar
media, untuk cepat dilupakan sebagai kenyataan empiris.
Masalahnya, dengan segala kecerdikannya
mempertahankan kekuasaan, nilai apakah gerakan yang ingin ia perjuangkan dengan
kekuasaannya itu? Seorang pemimpin sejati tidak sekadar dilahirkan sejarah,
tetapi melahirkan sejarah. Kemajuan suatu masyarakat bisa tercapai manakala terdapat
pemimpin yang dengan segala keberanian, integritas, dan keterampilannya mampu
memanfaatkan peluang untuk dapat menerjemahkan visi menjadi kenyataan.
Dalam kaitan ini, John Kenneth Galbraith
punya kesimpulan. ”Semua pemimpin besar
memiliki karakteristik yang sama, yakni keberaniannya menghadapi kecemasan
utama yang dirasakan rakyat pada masanya. Inilah yang menjadi esensi utama
kepemimpinan”.
Apakah Presiden SBY ingin dicatat sejarah
sebagai pemimpin besar atau sekadar pemimpin tiban? Melihat rekam jejak obsesinya, tampaknya ia ingin meraih
yang pertama. Ia pun sudah mengerti apa yang menjadi keresahan utama rakyat
pada masanya, seperti ia tekankan dalam kampanye kepartaian (Partai Demokrat)
dan kepresidenannya: ”Korupsi”.
Adakah ia memiliki keberanian untuk
menghadapinya? Di sinilah pertaruhan nilai kepemimpinannya. Kepemimpinan adalah persoalan mengambil tanggung jawab,
bukan membuat alasan. Sejarah akan mencatat dalam tinta emas sekiranya ia
berani mengambil langkah-langkah fundamental dalam kerangka pemberantasan
korupsi, bahkan jika dengan langkah-langkah itu bisa berujung pada kejatuhan
kekuasaannya. Kebaikan hidup sering kali memerlukan pengorbanan sang
martir. Tradisi harakiri pemimpin Jepang menjadi sumber kehormatan dan
kebajikan politik.
Namun, sekiranya hal itu terlalu berlebihan,
setidaknya masih bisa menjadi pemimpin yang tidak dicatat sejarah sebagai
”Bapak Kekacauan”. Publik merasa heran, mengapa berulang terjadi konflik
antarlembaga negara dibiarkan dengan dalih tidak mau intervensi.
Mengapa
Presiden membiarkan suatu lembaga negara— di bawah kewenangannya—melakukan
penyerangan dan kriminalisasi terhadap lembaga negara lain? Mengapa Presiden
membiarkan para pembantunya berbeda pandangan dan pemihakan di ruang publik?
Mengapa Presiden membiarkan para pembantunya mengambil suatu kebijakan politik
strategis yang bertendensi pembobolan keuangan negara? Mengapa Presiden
membentuk berbagai jabatan dan satuan tugas dalam beban rutin anggaran yang
mencekik serta kesenggangan sosial yang menganga? Mengapa Presiden membiarkan
elemen-elemen kekerasan yang mengancam kebebasan dasar insani dan membiarkan
buruh-buruh migran bangsa ini mengalami penganiayaan dan pemerasan di luar dan
dalam negeri?
Masih ada waktu untuk membuktikan
ketidaktepatan nada sumbang persepsi publik tentang sikap sang presiden. Seusai memberikan pidato pada Senin (8/10) malam, yang
menjelaskan posisinya menyangkut hubungan kepolisian dan KPK, publik cenderung
memberikan apresiasi atas keberanian Presiden mengambil keputusan yang tegas
dan tepat.
Tinggal masalahnya, efektivitas
kepemimpinan tidaklah berhenti sebagai pidato atau asal disenangi, tetapi
ditentukan oleh tindakan dan hasil. Publik menanti realisasi kehebatan ucapan
Presiden itu dalam kehebatan aksi-aksi nyata penertiban aparatur negara dengan zero tolerance terhadap korupsi.
Inkonsistensi akan membawa ”ketidakpercayaan
permanen”. Sebagai purnawirawan, tentu Presiden SBY mengenal ucapan Colin
Powell. ”Kepemimpinan adalah penyelesaian
masalah. Saat serdadu berhenti membawa masalah kepada Anda, saat itulah Anda
berhenti memimpin mereka. Mereka tidak lagi memiliki kepercayaan kepada Anda
atau berkesimpulan bahwa Anda tak memiliki kepedulian lagi. Kedua kasus itu
menunjukkan kegagalan Anda sebagai pemimpin.”
Sebelum rakyat berhenti berharap, saatnya
Presiden membebaskan diri dari penjara narsisme. Kepemimpinan adalah kesempatan
untuk melayani dengan hati, bukan dengan meniupkan terompet pesona pemuasan
diri sendiri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar