Kebebasan dan
Kekerasan
Idy Muzayyad ; Komisioner KPI Pusat
|
REPUBLIKA,
06 Oktober 2012
Belakangan ini, muncul kasus-kasus menyangkut isu sensitif agama,
yaitu ekspos produk media yang telah mengganggu perasaan dan harmoni kehidupan
beragama. Hal itu mau tidak mau memantik diskursus ulang tentang arti dan
implementasi dari `kebebasan'.
Kebebasan pers (freedom of
the press) dan kebebasan ekspresi (freedom
of expression) merupakan `mantra' ampuh yang terus digaungkan dalam era
demokrasi saat ini. Tidak ada yang salah dengan keduanya, bahkan kita perlu
menghargai dan memperjuangkannya.
Masalahnya, kita sering lupa bahwa kebebasan itu harus dimaknai
secara utuh. Lebih dari itu, kebebasan juga harus diimplementasikan dengan
penuh kearifan dan tanggung jawab. Tanpa itu, kebebasan dipastikan akan
bermasalah dan dapat dipastikan akan menimbulkan masalah.
Kebebasan dengan makna utuh mengasumsikan kebebasan dengan
batasan.
Kebebasan tanpa batas, untuk manusia yang diberi akal dan hati, akan memupuk nafsu hayawaniah (kehewanan) dan justru melunturkan prinsip insaniyah (kemanusiaan dan humanisme). Paling tidak, dalam praktiknya, kebebasan itu akan terbatas oleh kebebasan orang lain. Sehingga, pastilah kebebasan itu bukan bebas tanpa batas alias semau gue.
Kebebasan tanpa batas, untuk manusia yang diberi akal dan hati, akan memupuk nafsu hayawaniah (kehewanan) dan justru melunturkan prinsip insaniyah (kemanusiaan dan humanisme). Paling tidak, dalam praktiknya, kebebasan itu akan terbatas oleh kebebasan orang lain. Sehingga, pastilah kebebasan itu bukan bebas tanpa batas alias semau gue.
Hak mengeluarkan pendapat, melakukan sesuatu, memberitakan
informasi, sampai menayangkan peristiwa memang dimiliki oleh setiap individu.
Namun, individu tersebut harus sadar dengan nalarnya bahwa di luar dirinya, ada
juga individu lain yang harus dihargai kebebasannya. Dengan demikian, tidak
bisa semua hal diekspresikan dan dimediakan semau-maunya.
Kebebasan Media
Kehadiran media, dengan segala bentuknya yang sekarang ada, mulai
dari cetak, elektronik (penyiaran), sampai online, merupakan sebuah anugerah.
Bagi Indonesia, kebebasan pers dan media telah membawa berkah reformasi.
Catatannya, bagaimana kebebasan itu tetap dan akan selalu menjadi berkah dalam
konteks keindonesiaan kita?
Berkah kebebasan pers membuat banyak media bermunculan dan
menawarkan `apa saja' kepada khalayak. Media telah menempatkan diri sebagai
penyedia segala hal kepada publik, baik yang benar-benar dibutuhkan maupun
tidak.
Bahkan, media juga punya kekuatan untuk memengaruhi dan mengarahkan pembaca, pengakses, dan pemirsanya untuk berbuat apa dan menjadi apa.
Bahkan, media juga punya kekuatan untuk memengaruhi dan mengarahkan pembaca, pengakses, dan pemirsanya untuk berbuat apa dan menjadi apa.
Mengingat media impact
yang luar biasa ini maka seharusnya kebebasan pers dan media ditempatkan secara
proporsional. Terkait pemberitaan, sudah ada Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang
mau tidak mau akan membatasi dan menempatkan kebebasan (kemerdekaan) pers pada
koridor yang selayaknya.
Tinggal bagaimana evaluasi terhadap penerapan KEJ yang ditetapkan Dewan Pers
itu terus dijalankan.
Dalam ranah penyiaran, KPI sudah membuat Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk menjadikan pers dan media
tetap istiqamah (konsisten) memfungsikan dirinya sebagai sarana informasi yang
layak dan benar, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, serta perekat sosial.
Aturan itu sama sekali tidak ada maksud untuk mengekang kebebasan pers.
Salah besar bila ada sebagian kalangan yang masih punya anggapan
demikian. Di manapun dan untuk konteks apa pun, aturan berbasis pada etik dan
nilai tetap diperlukan. Dengan dasar itu pula, sensor mandiri menjadi sangat
penting untuk menimbang, apakah sajian media berimplikasi kebaikan dan keadaban
publik atau sebaliknya, keburukan dan kekacauan.
Kekerasan Simbolis
Kebebasan yang dijalankan tanpa batas akan memicu adanya reaksi,
bisa jadi sampai pada tindakan kekerasan. Tanpa bermaksud membenarkan aksi
kekerasan, apalagi kekerasan atas nama apa pun, seharusnya dihindari, kebebasan
yang dilakukan tanpa batasan etik dan rasa hormat terhadap prinsip dan nilai
kelompok lain sesungguhnya merupakan bentuk kekerasan itu sendiri.
Dalam kajian komunikasi terdapat istilah kekerasan simbolis (symbolic violence), yakni kekerasan
nonfisik be rupa mekanisme komunikasi yang mengandung relasi kekuasaan yang hegemoni
dan timpang. Di dalamnya terdapat pola komunikasi yang sewenang-wenang
antarpihak tertentu, terkait dengan stigmatisasi dan monopoli makna.
Pemberian stigma buruk, penghinaan, pemaksaan makna, label
tertentu, sampai penistaan agama-kalaupun di atasnamakan kebebasan-merupakan bentuk
dari kekerasan simbolis yang tidak bisa dibenarkan. Kekerasan jenis ini bahkan
dapat menimbulkan benturan peradaban. Dampak kekerasan simbolis ini bisa
berlangsung dalam jangka panjang dan permanen meskipun kadang tidak sertamerta
bisa dirasakan.
Dan, media sangat potensial menjadi sarana kekerasan simbolis ini
karena media memiliki kemampuan untuk mem produksi pesan dan mengarahkan
maknanya sekaligus. Banyak kajian yang membuktikan kekerasan simbolis telah
dilakukan oleh media, misalnya, dalam bentuk framing, atribusi yang
menyudutkan, dan konstruksi realitas yang mengandung motif.
Antara kebebasan dan kekerasan memiliki relasi sebab dan akibat
yang pelik. Kebebasan jangan menimbulkan kekerasan dan tidak boleh terjadi
kekerasan atas nama kebebasan. Pun tidak dibenarkan kebebasan yang dimaksudkan
memprovokasi tindakan kekerasan.
Walhasil, alangkah tidak adil bila kita mengampanyekan
antikekerasan, namun pada saat yang sama, kita melakukan atau setidaknya
membiarkan terjadinya kekerasan. Semoga
tidak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar