Jumat, 05 Oktober 2012

Moneter Versus Fiskal


Moneter Versus Fiskal
J Soedradjad Djiwandono ;  Profesor Nanyang Technological University;
Mantan Gubernur Bank Indonesia
KOMPAS, 05 Oktober 2012


Belakangan ini otoritas moneter tiga perekonomian terbesar dunia: Federal Reserve Banks (Fedres), Europen Central Bank (ECB), dan Bank of Japan (BoJ), berturut-turut membuat langkah untuk menyelamatkan perekonomian masing-masing dengan melaksanakan kembali kebijakan moneter tak konvensional, dikenal sebagai quantitative easing (QE).

Mario Draghi, Presiden ECB, membuat program penyelamatan euro (mata uang tunggal 17 negara zona euro) dengan membeli obligasi negara yang mengalami krisis utang di pasar sekunder dengan persyaratan dilonggarkan, dengan tak mensyaratkan peringkat tertentu dari perusahaan pemeringkat dunia dan senioritas pinjaman. Program ini disebut transaksi moneter langsung (outright monetary transaction).

Sasarannya, menolong negara yang mengalami krisis pinjaman pemerintah, seperti Italia dan Spanyol, dengan mendorong turunnya imbal hasil (biaya meminjam dana, tecermin dari hasil yang diperoleh dari pemilikan obligasi). Dalam versi berbeda, tetapi serupa sasarannya, ini sudah dua kali dilakukan sebelumnya oleh Draghi sejak menggantikan Jean Claude Trichet sebagai Presiden ECB pada 2011.

Pertengahan September ini, Ketua Fedres Bernanke bersama Gubernur Fedres yang lain menyepakati program pembelian sekuritas yang terkait pinjaman hipotek perumahan 40 miliar dollar AS per bulan selama tingkat pengangguran masih dipandang buruk. Langkah ini menyusul kebijakan dua kali sebelumnya (yang terakhir disebut operation twist), yakni menurunkan suku bunga jangka panjang dengan membeli sekuritas jangka panjang dan menjual yang berjangka pendek.

Terakhir BoJ juga memutuskan melanjutkan membeli aset finansial dan memberikan pinjaman ke perbankan senilai sekitar 127 miliar dollar AS. Sasarannya serupa, menyediakan tambahan likuiditas perbankan untuk mendorong penyaluran kredit agar terjadi pertumbuhan ekonomi dan mengurangi pengangguran.

Tak Dapat Menggantikan Fiskal

Semua tadi adalah kebijakan moneter, paling sedikit dipandang dari aspek kelembagaan pembuat keputusan dan eksekusinya. Namun, dilihat dari cara dan mekanisme atau instrumen yang digunakan maupun sasaran yang dituju langkah ini bukan murni kebijakan moneter.

Fedres membeli sekuritas yang dimiliki perbankan dengan maksud agar bank menggunakan tambahan dana ini untuk memberikan pinjaman kepada perusahaan dan rumah tangga guna mendorong permintaan dan pertumbuhan ekonomi sehingga kesempatan kerja meningkat dan pengangguran turun. Fedres memang memiliki mandat melakukan kebijakan untuk kestabilan moneter dan kesempatan kerja yang penuh. 

Namun, tak semua bank sentral punya fungsi luas seperti ini. Sebelum 1999, Bank Indonesia punya fungsi luas seperti Fedres. Waktu itu BI tak independen, berada di bawah koordinasi Dewan Moneter yang diketuai Menkeu.

Kebanyakan bank sentral di Asia setelah krisis Asia 1997/1998 jadi bank sentral independen, tetapi dengan fungsi dan mandat lebih sempit, yaitu menjaga kestabilan mata uang dan sistem keuangan.

Seberapa efektif kebijakan moneter yang tak konvensional ini? Fedres, melalui
QE1, QE2, dan kini QE3, telah menyelamatkan sistem keuangan dari kebangkrutan dan kestabilan keuangan bisa terjaga. Setiap kali dilakukan, pasar modal menyambut positif. Namun, dampak positif ini hanya sementara, sebelum muncul kekhawatiran menyangkut masalah lebih mendasar: kapan permintaan masyarakat meningkat, kapan pertumbuhan ekonomi terjadi, dan pengangguran menurun?

Kebijakan moneter tak dapat berjalan sendiri untuk menghasilkan dampak positif pada sektor riil, dan kebijakan moneter tak bisa menyubstitusi kebijakan fiskal. Pascakrisis keuangan dunia perbankan dan industri keuangan masih lemah. Perusahaan dan rumah tangga demikian juga sehingga tambahan likuiditas hanya dimanfaatkan untuk memperbaiki posisi keuangan bank-bank, perusahaan dan rumah tangga. Langkah ini dikenal sebagai deleveraging, mengurangi posisi utang yang sangat tinggi. Karena itu, tambahan likuiditas melalui QE belum meningkatkan kredit perbankan dan dampak positif ke sektor riil tak terjadi.

Jika tak efektif, mengapa dilakukan? Tampaknya Bernanke, yang profesor Universitas Princeton dan pakar depresi ekonomi 1930-an ini, tak mau dipersalahkan seperti dialami pendahulunya saat terjadi krisis pasar modal Wall Street (The Great Crash) karena dianggap kurang tanggap, bahkan dituding sebagai penyebab depresi. Tudingan ini, antara lain, diungkapkan ”Bapak Monetaris”, Milton Friedman, dan Anna Schwartz (Monetary History of the United States, 1867-1960).

Dampak Jangka Panjang

Pemerhati ekonomi moneter dan kebanksentralan juga mengkhawatirkan dampak penambahan likuiditas atau pengenduran moneter yang berjalan lama. Semua krisis keuangan selalu didahului peningkatan likuiditas di luar yang diperlukan. Yang terjadi di Jepang 1980-an, AS 1990-an dan Asia akhir 1990-an adalah peningkatan likuiditas berkepanjangan, yang diikuti penggelembungan yang kemudian pecah dalam properti, dotcom, atau sekuritas. Mereka yang belajar moneter selalu ingat diktum bahwa dalam jangka panjang tambahan jumlah uang hanya akan memengaruhi tingkat harga jika terlalu banyak jadi dorongan inflasi.

Dalam empat tahun setelah krisis Fedres memompa likuiditas 2 triliun dollar AS lebih, diikuti Bank of England, ECB (1 triliun dollar AS lebih), dan kini BoJ juga. Dunia belum melihat tekanan inflasi yang tinggi kecuali di satu-dua negara. Tampaknya likuiditas ini masih menumpuk di lembaga keuangan-perbankan sehingga belum menumbuhkan tekanan inflasi. Namun, pada akhirnya itu akan terjadi juga.

Bahkan, sebelum tekanan inflasi terjadi sekarang pun ada hal merisaukan. Dalam dunia moneter dikenal ungkapan money is fungible, uang akan mengalir ke tempat yang memberikan keuntungan tinggi. Meskipun ECB mengatakan akan melakukan sterilisasi untuk menekan dampak peningkatan likuiditas pada uang beredar–atau melalui mekanisme seperti di zona euro dan di Indonesia di mana perbankan menanamkan dana lebihnya bukan untuk memberikan pinjaman, tetapi diinvestasikan dengan membeli SBI—tak ada jaminan bahwa sterilisasi ini berhasil.

Kecenderungan dana mengalir ke tempat lebih menguntungkan susah dihalangi. Yang harus diwaspadai, sebagaimana terjadi selama ini, dana ini mengalir ke negara yang ekonominya bertumbuh di Asia, termasuk Indonesia. Ini tentu menambah kesibukan otoritas moneter, termasuk BI. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar