Penghormatan
dan Kehormatan TNI
Sjafrie Sjamsoeddin ; Wisudawan Pati TNI AD 2011
|
KOMPAS,
05 Oktober 2012
”Prajurit TNI bukanlah prajurit yang mudah
dibelokkan haluannya karena tipu dan nafsu kebendaan. Ia, karena keinsafan
jiwanya atas panggilan Ibu Pertiwi, bersedia membaktikan raga dan jiwanya bagi
keluhuran bangsa dan negara.” ( Perintah Harian Panglima Besar Letnan Jenderal Sudirman, 5 Oktober 1949 )
Sebagai prajurit dan pejuang TNI, perintah
harian 5 Oktober 1949 itu sangat bermakna sebagai rambu dan navigasi dalam
mengabdi kepada bangsa dan negara.
Sejak seorang prajurit mengawali kehidupan
keprajuritan dengan mengucapkan Sumpah Prajurit dan Sapta Marga, ia berada
dalam suatu ikatan moral dan kewajiban profesional. Kualitas kepemimpinannya
ditempa oleh berbagai ujian dan cobaan.
Prajurit TNI dituntut untuk membuktikan
apakah ia seorang prajurit yang mampu dan sanggup memikul beban tanggung jawab
pengabdian, yang sarat kualitas dan integritas.
Seorang prajurit tentu ingat saat memulai
basis militer sebagai seorang calon prajurit. Saat itu, ia tidak punya hak
menerima penghormatan karena belum memiliki kepangkatan apa pun. Sebaliknya, ia
wajib menghormati atasan yang memiliki kepangkatan. Proses ini dijalani oleh
prajurit sejalan dengan masa pengabdiannya. Ibarat naik tangga, saatnya
penghormatan diterima ketika ia sampai pada puncak karier sebagai prajurit.
Tantangan, tuntutan, dan godaan justru hadir
pada saat seorang prajurit sedang menerima penghormatan. Pada masa itu bisa
terjadi seorang prajurit ”lupa” dan ”celaka” atas sikap dan perilaku diri,
seperti yang diingatkan oleh Pak Dirman.
Pengalaman menunjukkan, ”lupa” dan ”celaka”
dapat terjadi pada siapa saja yang diberi atribut kewenangan oleh negara. Hal
itu terjadi terutama ketika tidak ada check and balance atas setiap langkah
yang diambil, apakah sudah tepat secara aturan, peraturan, dan terutama moral.
Di sini pertempuran harus dimenangi prajurit
agar terhindar dari ”kerusakan moral” yang berakibat pada hilangnya rasa hormat
dari bawahan, kolega, bahkan masyarakat. Di sini pula ukuran ”kehormatan”
menjadi taruhan yang tidak terhapus sampai menjadi jasad.
Zaman Sulit
Harus diakui, kita hidup di zaman yang sulit
dengan godaan begitu tinggi. Konsumtivisme menjadi gaya hidup yang tidak bisa
dihindari. Semua orang seakan berlomba ke arah sana karena sarat dengan
kenikmatan.
Sebagai bagian dari masyarakat, prajurit TNI
tentu tidak bisa lepas dari godaan itu. Sedikit banyak kehidupan masyarakat
luas memengaruhi juga kehidupan prajurit dan keluarganya.
Pengalaman bangsa-bangsa lain, semua
berlangsung melalui proses panjang. Mereka telah melewati proses yang
menghasilkan sikap disiplin, etos kerja, dan menghormati waktu. Dari sanalah bangsa-bangsa
itu kemudian menghasilkan produk dan bahkan produk berkembang menjadi
produk-produk turunan yang semakin beragam.
Hasil dari kerja keras itu membuat
bangsa-bangsa tersebut ingin menikmatinya.
Konsumtivisme merupakan ekspresi
dari keinginan untuk menikmati hasil kerja keras yang panjang. Kita pun harus melewati proses panjang dan
melelahkan itu agar kemudian bisa menghargai kerja keras yang dilakukan.
Konsumtivisme jangan hanya sekadar gaya hidup agar tidak berkelebihan dan
bahkan melewati batas-batas kepantasan.
Bagaimanapun gaya hidup modern harus bertumpu
pada jati diri kita sebagai bangsa. Kita tidak ingin menjadi bagian masyarakat
global tanpa pernah tahu akar budaya dari bangsa ini.
Perintah Harian Panglima Besar Sudirman pada
1949 sudah menangkap pertanda zaman itu. Prajurit TNI diingatkan untuk tidak
mudah dibelokkan oleh tipu dan nafsu kebendaan. Dengan berpegang pada panggilan
untuk menjaga keluhuran bangsa dan negara, kehormatan prajurit TNI akan bisa
dijaga.
Godaan Kekuasaan
Satu hal lagi yang senantiasa harus dijaga
prajurit TNI adalah godaan kekuasaan. Setiap kali tanggung jawab jabatan datang
haruslah diingat bahwa itu bukanlah kesempatan untuk mendapatkan sesuatu,
melainkan justru kesempatan untuk memberi kepada negeri.
Godaan kekuasaan merupakan sesuatu yang
sangat manusiawi. Semua orang pada suatu masa pasti dihadapkan pada godaan itu.
Pada abad ke-19, Lord Acton bahkan sudah mengingatkan kita semua bahwa: ”Power tends to corrupt, and absolute power
corrupts absolutely”.
Kesadaran diri pribadi menjadi kunci bagi
setiap prajurit TNI untuk tidak ”lupa” dan ”celaka”. Pendidikan prajurit TNI
sudah mengingatkan semua anggota TNI untuk tidak goyah dalam menjalankan
prinsip kehormatan.
Oleh karena itu, marilah para prajurit dan
pejuang TNI senantiasa menabung kehormatan saat menerima penghormatan dengan
mawas diri dan waspada dengan harapan kehormatan menjadi bonus abadi saat
penghormatan berakhir pada masanya. Dirgahayu
ke-67 TNI. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar