Menimbang
Kasus Novel
Sumaryoto ; Anggota
DPR Fraksi PDI Perjuangan
|
SUARA
MERDEKA, 11 Oktober 2012
ALUNAN doa itu menderas dari Masjid Al Jannah
RT 5 RW 5 Kampung Sumur Umbul Kelurahan Melati Baru Kecamatan Semarang Timur
Kota Semarang, Selasa (9/10). Di lahan masjid itu, sebelumnya berdiri rumah
milik keluarga Baswedan. Di sanalah Novel Baswedan kecil dibesarkan hingga
akhirnya masuk Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang.
Rupanya, doa yang dilantunkan puluhan
tetangga keluarga Baswedan itu dikhususkan bagi Novel yang kini menjadi ketua
tim penyidik kasus dugaan korupsi pada pengadaan simulator kemudi roda dua dan empat
(lebih dikenal dengan kasus simulator SIM) yang diduga melibatkan Irjen Djoko
Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, sebagai tersangka.
Novel tidak sendirian. Sejak dituduh Polri
melakukan penembakan terhadap tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu
tahun 2004, hingga hendak dijemput secara paksa oleh sediktnya dua kompi polisi
dari Polda Bengkulu dan Mabes Polri di Gedung KPK, Jumat (5/10) malam, dukungan
baginya terus mengalir. Puncaknya, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menyatakan penanganan secara hukum terhadap Novel tidak tepat, baik dari segi timing (waktu) maupun caranya.
Namun Polri bergeming. "Hukum harus
berlanjut. Muaranya dua, kalau terbukti maka lanjut ke persidangan, kalau tidak
ya dihentikan," kata Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen (Pol) Suhardi Alius
di Jakarta, Selasa (9/10). Polri juga belum ada rencana memeriksa polisi yang
malam itu menggeruduk KPK untuk menangkap Novel. "Belum ada," kata
Karopenmas Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar di Jakarta, Selasa (9/10).
Tidak sebagaimana KPK, Polri berada di bawah
Presiden. Maka isi pidato SBY pada Senin (8/10) malam itu mestinya dimaknai
sebagai instruksi untuk Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Artinya Polri harus
kembali mempertimbangkan kasus Novel ini. Bagaimana bisa kasus yang terjadi 8
tahun lalu itu baru diungkap sekarang? Publik pun menuding Polri merekayasa.
Polri dituduh hendak ”membungkam” Novel yang diduga mengetahui ke mana kasus
simulator SIM bermuara: secara vertikal ke atasan Djoko, dan secara horizontal
ke sejumlah kolega Djoko.
Novel konon sudah disidang dewan etik dan
dinyatakan bersalah. Waktu itu jabatan Novel sebagai Kepala Satuan Reserse
Polres Bengkulu tidak dicopot. Belakangan Kabareskrim Komjen Sutarman
menyatakan sidang etik tak menghilangkan unsur pidana.
Bila benar Novel melakukan penembakan
terhadap tersangka, sesuai prinsip equality
before the law, kita sepakat ia harus diproses secara hukum. Tapi bila
kasus Novel sengaja diangkat untuk melemahkan KPK, tentu publik akan
membelanya, bahkan melakukan perlawanan. Lihat saja dukungan kepada Novel atau
Ketua KPK Abraham Samad, baik melalui sosial media seperti Facebook dan Twitter,
maupun SMS langsung ke SBY.
Keuntungan
Politik
Pendek kata, Polri jangan berkeras kepala.
Mabes Polri harus kembali menimbang kasus Novel ini. Bila terdapat dilema
antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan harus didahulukan.
Tak seperti biasanya, pidato SBY malam itu
terdengar lugas, tegas, dan bernas. SBY melontarkan lima solusi untuk ”melerai”
perseteruan KPK dengan Polri yang lebih dikenal dengan istilah Cicak versus
Buaya, kali ini jilid II. Pertama; penanganan hukum dugaan korupsi pada
pengadaan simulator SIM yang melibatkan Djoko Susilo agar ditangani KPK. Kedua;
keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Novel tidak tepat, baik
dari segi timing maupun caranya.
Ketiga; perseteruan yang menyangkut waktu
penugasan penyidik Polri di KPK perlu kembali diatur dan akan dituangkan dalam
peraturan pemerintah. Keempat; rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang
KPK oleh DPR sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK, masih
dimungkinkan. Tetapi SBY memandang kurang tepat dilakukan saat ini. Kelima; KPK
dan Polri agar memperbarui MoU, serta mematuhi dan menjalankan secara sinergis.
Pidato SBY pada puncak pertikaian KPK-Polri
ini seperti menjadi gong penutup. Pujian demi pujian pun mengalir. SBY
menangguk keuntungan politik atas ketegangan hubungan antara KPK dan Polri.
Bayangkan seandainya SBY tidak berpihak
kepada KPK. Bisa jadi KPK dianggap masyarakat sebagai pihak yang teraniaya, dan
para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, citranya makin moncer dan dukungan
terhadapnya makin membesar, bahkan untuk agenda politik tahun 2014. Ingat,
kebesaran SBY juga berawal dari penilaian publik pada tahun 2004 bahwa ia
teraniaya. Bila Novel terus di-kuya-kuya,
bisa jadi citranya pun membesar.
Kita berharap tak ada lagi
”Cicak versus Buaya” jilid III dan seterusnya. Energi KPK dan bangsa ini jangan
sampai terkuras hanya untuk mengurus pertikaian antarlembaga penegak hukum.
Korupsi telah menjadi common enemy
bangsa ini sehingga harus dilawan bersama-sama, termasuk melalui sinergi KPK,
Polri, dan Kejaksaan Agung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar