Jumat, 12 Oktober 2012

Menimbang Kasus Novel


Menimbang Kasus Novel
Sumaryoto ;  Anggota DPR Fraksi PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 11 Oktober 2012



ALUNAN doa itu menderas dari Masjid Al Jannah RT 5 RW 5 Kampung Sumur Umbul Kelurahan Melati Baru Kecamatan Semarang Timur Kota Semarang, Selasa (9/10). Di lahan masjid itu, sebelumnya berdiri rumah milik keluarga Baswedan. Di sanalah Novel Baswedan kecil dibesarkan hingga akhirnya masuk Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang.

Rupanya, doa yang dilantunkan puluhan tetangga keluarga Baswedan itu dikhususkan bagi Novel yang kini menjadi ketua tim penyidik kasus dugaan korupsi pada pengadaan simulator kemudi roda dua dan empat (lebih dikenal dengan kasus simulator SIM) yang diduga melibatkan Irjen Djoko Susilo, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri, sebagai tersangka.

Novel tidak sendirian. Sejak dituduh Polri melakukan penembakan terhadap tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu tahun 2004, hingga hendak dijemput secara paksa oleh sediktnya dua kompi polisi dari Polda Bengkulu dan Mabes Polri di Gedung KPK, Jumat (5/10) malam, dukungan baginya terus mengalir. Puncaknya, pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan penanganan secara hukum terhadap Novel tidak tepat, baik dari segi timing (waktu) maupun caranya.

Namun Polri bergeming. "Hukum harus berlanjut. Muaranya dua, kalau terbukti maka lanjut ke persidangan, kalau tidak ya dihentikan," kata Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen (Pol) Suhardi Alius di Jakarta, Selasa (9/10). Polri juga belum ada rencana memeriksa polisi yang malam itu menggeruduk KPK untuk menangkap Novel. "Belum ada," kata Karopenmas Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar di Jakarta, Selasa (9/10).

Tidak sebagaimana KPK, Polri berada di bawah Presiden. Maka isi pidato SBY pada Senin (8/10) malam itu mestinya dimaknai sebagai instruksi untuk Kapolri Jenderal Timur Pradopo. Artinya Polri harus kembali mempertimbangkan kasus Novel ini. Bagaimana bisa kasus yang terjadi 8 tahun lalu itu baru diungkap sekarang? Publik pun menuding Polri merekayasa. Polri dituduh hendak ”membungkam” Novel yang diduga mengetahui ke mana kasus simulator SIM bermuara: secara vertikal ke atasan Djoko, dan secara horizontal ke sejumlah kolega Djoko.

Novel konon sudah disidang dewan etik dan dinyatakan bersalah. Waktu itu jabatan Novel sebagai Kepala Satuan Reserse Polres Bengkulu tidak dicopot. Belakangan Kabareskrim Komjen Sutarman menyatakan sidang etik tak menghilangkan unsur pidana.

Bila benar Novel melakukan penembakan terhadap tersangka, sesuai prinsip equality before the law, kita sepakat ia harus diproses secara hukum. Tapi bila kasus Novel sengaja diangkat untuk melemahkan KPK, tentu publik akan membelanya, bahkan melakukan perlawanan. Lihat saja dukungan kepada Novel atau Ketua KPK Abraham Samad, baik melalui sosial media seperti Facebook dan Twitter, maupun SMS langsung ke SBY.

Keuntungan Politik

Pendek kata, Polri jangan berkeras kepala. Mabes Polri harus kembali menimbang kasus Novel ini. Bila terdapat dilema antara kepastian hukum dan keadilan maka keadilan harus didahulukan.

Tak seperti biasanya, pidato SBY malam itu terdengar lugas, tegas, dan bernas. SBY melontarkan lima solusi untuk ”melerai” perseteruan KPK dengan Polri yang lebih dikenal dengan istilah Cicak versus Buaya, kali ini jilid II. Pertama; penanganan hukum dugaan korupsi pada pengadaan simulator SIM yang melibatkan Djoko Susilo agar ditangani KPK. Kedua; keinginan Polri untuk melakukan proses hukum terhadap Novel tidak tepat, baik dari segi timing maupun caranya.

Ketiga; perseteruan yang menyangkut waktu penugasan penyidik Polri di KPK perlu kembali diatur dan akan dituangkan dalam peraturan pemerintah. Keempat; rencana revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK oleh DPR sepanjang untuk memperkuat dan tidak untuk memperlemah KPK, masih dimungkinkan. Tetapi SBY memandang kurang tepat dilakukan saat ini. Kelima; KPK dan Polri agar memperbarui MoU, serta mematuhi dan menjalankan secara sinergis.

Pidato SBY pada puncak pertikaian KPK-Polri ini seperti menjadi gong penutup. Pujian demi pujian pun mengalir. SBY menangguk keuntungan politik atas ketegangan hubungan antara KPK dan Polri.

Bayangkan seandainya SBY tidak berpihak kepada KPK. Bisa jadi KPK dianggap masyarakat sebagai pihak yang teraniaya, dan para pimpinan KPK seperti Abraham Samad, citranya makin moncer dan dukungan terhadapnya makin membesar, bahkan untuk agenda politik tahun 2014. Ingat, kebesaran SBY juga berawal dari penilaian publik pada tahun 2004 bahwa ia teraniaya. Bila Novel terus di-kuya-kuya, bisa jadi citranya pun membesar.

Kita berharap tak ada lagi ”Cicak versus Buaya” jilid III dan seterusnya. Energi KPK dan bangsa ini jangan sampai terkuras hanya untuk mengurus pertikaian antarlembaga penegak hukum. Korupsi telah menjadi common enemy bangsa ini sehingga harus dilawan bersama-sama, termasuk melalui sinergi KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar