Membangun
Rekonsiliasi Kultural
Al-Zastrouw Ng ; Pegiat
Kebudayaan dan Seni Tradisi Nusantara
|
SUARA
MERDEKA, 11 Oktober 2012
"Secara faktual, pendekatan sosial
kultural lebih efektif dan fungsional daripada pendekatan historis atau yuridis
formal"
REKONSILIASI (islah) merupakan keharusan yang tak bisa ditawar dalam kehidupan
masyarakat Indonesia yang majemuk dan sarat luka sejarah. Meski semua pihak
menyadari arti penting rekonsiliasi, upaya ke arah itu bukanlah sesuatu yang
mudah dilakukan karena menyangkut hati, perasaan, dan kepercayaan.
Contoh yang menarik dicermati adalah proses
rekonsiliasi antara eks anggota/ simpatisan PKI dan kiai/warga NU. Secara
natural kultural proses ini sudah terjadi, bahkan makin intens ketika Gus Dur
melakukan langkah konkret lewat cara yang mengedepankan kearifan dan kejujuran.
Melalui pola itu semua pihak bisa menjalani rekonsiliasi secara terbuka, nyaman,
sukarela, dan penuh keakraban.
Namun proses itu menjadi kacau dan terancam
gagal ketika ada dorongan berlebihan dari luar sehingga ada pihak merasa
diperlakukan tidak adil. Misalnya menggambarkan PKI sebagai korban kebiadaban
yang lemah tak berdaya dan teraniaya. Di sisi lain, kiai digambarkan sebagai
sosok biadab yang mengesahkan terjadinya pembunuhan keji oleh para santri
(kader Ansor).
Agar tak terjebak dalam perdebatan sejarah
yang berkepanjangan, ada baiknya kita mencermati aspek sosiologis dan kultural
mengingat dari dua aspek ini ada berbagai hal yang bisa dikembangkan guna
mendorong rekonsiliasi. Secara faktual, pendekatan sosial kultural lebih
efektif dan fungsional daripada pendekatan historis atau yuridis
formal.
Habitus
Pesantren
Habitus adalah istilah sosiologi untuk
menggambarkan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk
menghadapi kehidupan sosial (Bourdieu, 1989). Secara sosiologis, habitus
pesantren, yang merupakan basis sosial kiai dan umat nahdliyin, adalah
antikekerasan, kemudian toleran dan fleksibel. Hal ini terjadi karena habitus
pesantren terbentuk dari empat nilai dasar, yaitu tawassuth (moderat), tasammuh
(toleran), i'tidal/adl (konsisten/adil), dan tawazzun (seimbang).
Dari habitus yang bertumpu pada empat nilai dasar
itulah lahir subkultur pesantren/ NU (Abdurrhaman Wahid;1974). Dengan kultur
seperti itu sangat sulit bagi warga NU untuk melakukan kekerasan. Seandainya
terjadi berarti ada peristiwa luar biasa yang memaksanya keluar dari habitus
itu dan secara sosiologis ini bukan sesuatu yang mudah dan terjadi secara
tiba-tiba.
Jika perspektif ini dipakai untuk melihat
sejarah tragedi 1965 bisa terlihat bahwa apa yang dilakukan warga NU terhadap
PKI merupakan puncak dari tekanan sosial yang dahsyat sehingga menjebol habitus
pesantren yang toleran dan antikekerasan. Dalam sejarah ada dua peristiwa besar
yang memaksa NU keluar dari habitusnya sehingga harus bersikap tegas lewat
kekerasan, yakni dalam resolusi jihad mempertahankan NKRI tahun 1945 dan
menghadapi PKI tahun 1965.
Perlakuan PKI terhadap para kiai, mursyid
tarekat dan umat Islam pada saat itu, khususnya tahun 1948 yang berlanjut
hingga 1950-an dan awal 1960-an, sangat menyinggung harkat dan martabat umat
Islam. Misalnya, menggolongkan kiai sebagai salah satu dari 7 setan desa
yang harus diganyang.
Rekonsiliasi
Kultural
Secara kultural, rekonsiliasi antara kiai/warga
nahdliyin dan keluarga eks PKI telah terjadi jauh sebelum isu rekonsiliasi
muncul yaitu pada awal 1970-an. Ketika Orde Baru melakukan ”pembersihan”,
banyak keluarga PKI dilindungi dan diselamatkan oleh kiai dan warga NU. Ketika
pemerintah Orba memberangus hak-hak sipil para eks PKI, beberapa kiai menampung
mereka untuk bekerja seadanya atau menjadikan mereka sebagai mitra usaha
sehingga bisa hidup layak dan pulih kepercayaan dirinya.
Contoh konkret yang bisa dirujuk adalah apa
yang terjadi di Desa Trisulo Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri Jatim, yang
100% penduduknya PKI. Pascaperistiwa 1965, hampir tak ada orang berani datang
ke desa ini. Selama 31 tahun sejak 1965 di desa tersebut tidak ada ormas.
Karena kedekatan kultural dengan NU, ketika ada kematian maka yang
membacakan tahlil, mendoakan adalah orang-orang NU dari desa sekitarnya.
Demikian juga saat pernikahan, melahirkan anak dan sebagainya. Dengan cara ini,
secara perlahan trauma sejarah warga desa tersebut terobati hingga tahun 1997
organisasi yang kali pertama berdiri di desa tersebut adalah NU dan Ansor.
Contoh lain adalah apa yang dilakukan KH Abd
Rochim Sidik yang pernah menjadi ketua NU dan MUI Blitar. Dia bersama beberapa
kiai NU lain memelopori gerakan mengasuh anak-anak yatim dari keluarga PKI.
Mereka disekolahkan, dimasukkan pesantren, serta dididik oleh kiai dan warga.
Lewat cara itu, banyak anak eks PKI menjadi pegawai, pengusaha, politikus dan
sebagainya.
Semua itu menunjukkan rekonsiliasi (islah)
sudah terjadi dan berjalan baik. Proses itu berlangsung alami dan kultural
tanpa ada tuntutan, tekanan, apalagi pendiskreditan. Pola rekonsiliasi kultural
tersebut jauh lebih efektif dan lebih mudah dilakukan karena secara sosiologis
ada kedekatan kultural antara masyarakat eks PKI dan warga NU. Selain itu,
secara sosiologis masyarakat Indonesia akan lebih nyaman menggunakan cara-cara
dan pendekatan kultural ketimbang yuridis formal, apalagi politis. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar