Jumat, 12 Oktober 2012

Membangun Rekonsiliasi Kultural


Membangun Rekonsiliasi Kultural
Al-Zastrouw Ng ;  Pegiat Kebudayaan dan Seni Tradisi Nusantara
SUARA MERDEKA, 11 Oktober 2012


"Secara faktual, pendekatan sosial kultural lebih efektif dan fungsional daripada pendekatan historis atau yuridis formal"

REKONSILIASI (islah) merupakan keharusan yang tak bisa ditawar dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk dan sarat luka sejarah. Meski semua pihak menyadari arti penting rekonsiliasi, upaya ke arah itu bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan karena menyangkut hati, perasaan, dan kepercayaan.

Contoh yang menarik dicermati adalah proses rekonsiliasi antara eks anggota/ simpatisan PKI dan kiai/warga NU. Secara natural kultural proses ini sudah terjadi, bahkan makin intens ketika Gus Dur melakukan langkah konkret lewat cara yang mengedepankan kearifan dan kejujuran. Melalui pola itu semua pihak bisa menjalani rekonsiliasi secara terbuka, nyaman, sukarela, dan penuh keakraban.

Namun proses itu menjadi kacau dan terancam gagal ketika ada dorongan berlebihan dari luar sehingga ada pihak merasa diperlakukan tidak adil. Misalnya menggambarkan PKI sebagai korban kebiadaban yang lemah tak berdaya dan teraniaya. Di sisi lain, kiai digambarkan sebagai sosok biadab yang mengesahkan terjadinya pembunuhan keji oleh para santri (kader Ansor).

Agar tak terjebak dalam perdebatan sejarah yang berkepanjangan, ada baiknya kita mencermati aspek sosiologis dan kultural mengingat dari dua aspek ini ada berbagai hal yang bisa dikembangkan guna mendorong rekonsiliasi. Secara faktual, pendekatan sosial kultural lebih efektif dan fungsional daripada pendekatan historis atau yuridis formal.  

Habitus Pesantren

Habitus adalah istilah sosiologi untuk menggambarkan struktur mental atau kognitif yang digunakan aktor untuk menghadapi kehidupan sosial (Bourdieu, 1989). Secara sosiologis, habitus pesantren, yang merupakan basis sosial kiai dan umat nahdliyin, adalah antikekerasan, kemudian toleran dan fleksibel. Hal ini terjadi karena habitus pesantren terbentuk dari empat nilai dasar, yaitu tawassuth (moderat), tasammuh (toleran), i'tidal/adl (konsisten/adil), dan tawazzun (seimbang).

Dari habitus yang bertumpu pada empat nilai dasar itulah lahir subkultur pesantren/ NU (Abdurrhaman Wahid;1974). Dengan kultur seperti itu sangat sulit bagi warga NU untuk melakukan kekerasan. Seandainya terjadi berarti ada peristiwa luar biasa yang memaksanya keluar dari habitus itu dan secara sosiologis ini bukan sesuatu yang mudah dan terjadi secara tiba-tiba.

Jika perspektif ini dipakai untuk melihat sejarah tragedi 1965 bisa terlihat bahwa apa yang dilakukan warga NU terhadap PKI merupakan puncak dari tekanan sosial yang dahsyat sehingga menjebol habitus pesantren yang toleran dan antikekerasan. Dalam sejarah ada dua peristiwa besar yang memaksa NU keluar dari habitusnya sehingga harus bersikap tegas lewat kekerasan, yakni dalam resolusi jihad mempertahankan NKRI tahun 1945 dan menghadapi PKI tahun 1965.

Perlakuan PKI terhadap para kiai, mursyid tarekat dan umat Islam pada saat itu, khususnya tahun 1948 yang berlanjut hingga 1950-an dan awal 1960-an, sangat menyinggung harkat dan martabat umat Islam. Misalnya, menggolongkan kiai sebagai salah satu dari 7  setan desa yang harus diganyang.

Rekonsiliasi Kultural

Secara kultural, rekonsiliasi antara kiai/warga nahdliyin dan keluarga eks PKI telah terjadi jauh sebelum isu rekonsiliasi muncul yaitu pada awal 1970-an. Ketika Orde Baru melakukan ”pembersihan”, banyak keluarga PKI dilindungi dan diselamatkan oleh kiai dan warga NU. Ketika pemerintah Orba memberangus hak-hak sipil para eks PKI, beberapa kiai menampung mereka untuk bekerja seadanya atau menjadikan mereka sebagai mitra usaha sehingga bisa hidup layak dan pulih kepercayaan dirinya.

Contoh konkret yang bisa dirujuk adalah apa yang terjadi di Desa Trisulo Kecamatan Plosoklaten Kabupaten Kediri Jatim, yang 100% penduduknya PKI. Pascaperistiwa 1965, hampir tak ada orang berani datang ke desa ini. Selama 31 tahun sejak 1965 di desa tersebut tidak ada ormas. Karena kedekatan kultural dengan NU,  ketika ada kematian maka yang membacakan tahlil, mendoakan adalah orang-orang NU dari desa sekitarnya. 

Demikian juga saat pernikahan, melahirkan anak dan sebagainya. Dengan cara ini, secara perlahan trauma sejarah warga desa tersebut terobati hingga tahun 1997 organisasi yang kali pertama berdiri di desa tersebut adalah NU dan Ansor.

Contoh lain adalah apa yang dilakukan KH Abd Rochim Sidik yang pernah menjadi ketua NU dan MUI Blitar. Dia bersama beberapa kiai NU lain memelopori gerakan mengasuh anak-anak yatim dari keluarga PKI. Mereka disekolahkan, dimasukkan pesantren, serta dididik oleh kiai dan warga. Lewat cara itu, banyak anak eks PKI menjadi pegawai, pengusaha, politikus dan sebagainya.

Semua itu menunjukkan rekonsiliasi (islah) sudah terjadi dan berjalan baik. Proses itu berlangsung alami dan kultural tanpa ada tuntutan, tekanan, apalagi pendiskreditan. Pola rekonsiliasi kultural tersebut jauh lebih efektif dan lebih mudah dilakukan karena secara sosiologis ada kedekatan kultural antara masyarakat eks PKI dan warga NU. Selain itu, secara sosiologis masyarakat Indonesia akan lebih nyaman menggunakan cara-cara dan pendekatan kultural ketimbang yuridis formal, apalagi politis. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar