Kamis, 11 Oktober 2012

Akhirnya Presiden Bersikap

Akhirnya Presiden Bersikap
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar  
SINDO, 11 Oktober 2012


Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agak terlambat bersikap menyelesaikan konflik penyidikan dugaan korupsi simulator surat izin mengemudi (SIM) di Korlantas Polri, apa yang diputuskan pada Senin (8/10/2012) merupakan solusi cerdas. 

Dikatakan terlambat karena nanti ada klimaks ketegangan Polri dan KPK pada Jumat (5/10/2012) saat sejumlah anggota Polri mendatangi Gedung KPK untuk menjemput paksa Komisaris Polisi Novel Baswedan, salah satu penyidik KPK, yang kemudian diapresiasi publik secara luas, barulah Presiden secara riil turun tangan. Dalam penjelasan Presiden memang mengaku tidak tinggal diam dan sudah dua kali mempertemukan Kapolri dengan Ketua KPK, tetapi publik tidak menghitungnya lantaran konflik tidak kunjung usai.

Apayang dilakukan Presiden merupakan langkah cerdas untuk membuat koruptor semakin gelisah. Selain mengikuti ketentuan Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30/2002 tentang KPK, juga menempatkan Polri sebagai institusi hukum yang harus tetap diperkuat sekaligus dibersihkan dari oknum anggota Polri yang merusak citra. Salah satu pesan Presiden yang patut diapresiasi adalah segala upaya penegakan hukum oleh KPK, Polri, dan Kejagung harus didasarkan atas niat baik. Tidak boleh ada niat tersembunyi dari oknum yang ingin menyelamatkan kroni mereka dari kasus hukum.

Tentu ini ditujukan pada upaya penegakan hukum terhadap Novel Baswedan yang amat janggal dengan mengungkap kasus delapan tahun lalu yang momennya tidak tepat. Semoga solusi yang diberikan Presiden tidak lagi dipelintir, tidak lagi menimbulkan penafsiran dan perdebatan dalam realisasinya. Semuanya sudah sangat jelas, tegas, dan tidak multitafsir bahwa kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korlantas Polri diserahkan penanganannya kepada KPK secara utuh.Artinya, kasus itu ditangani KPK sehingga berkas perkara tiga tersangka di kepolisian harus diserahkan bersama alat bukti dan barang bukti kepada KPK.

Posisi MoU

Setidaknya ada lima rekomendasi yang dikeluarkan Presiden SBY yang harus dilaksanakan terkait perseteruan dua penegak hukum itu. Salah satunya yang patut disoroti adalah Presiden SBY berharap agar Polri dan KPK dapat memperbarui MoU, kemudian dipatuhi dan dijalankan. Polri dan KPK harus terus meningkatkan sinergi dan koordinasi dalam pemberantasan korupsi sehingga perseteruan yang pernah terjadi sebelumnya tidak terulang lagi.

Menindaklanjuti poin soal pembaruan MoU antara Polri, KPK, dan Kejaksaan seyogianya dilakukan secara terukur dan komprehensif.Keberadaan MoU dalam ranah hukum hanya “kesepakatan awal” untuk lebih mengefektifkan pemberantasan korupsi. MoU tidak boleh menyepakati “pembagian wewenang” dalam penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan karena hal itu sudah diatur dalam UU-KPK dan KUHAP seperti MoU saat ini yang kemudian menimbulkan salah seteru.

Substansi MoU harus konkret pada teknis kerja sama yang bersifat perdata untuk mendukung pelaksanaan tugas masing-masing. Misalnya, kerja sama dalam penemuan alat bukti secara teknologi, tukar-menukar informasi, dan dukungan sarana-prasarana, atau bagaimana upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia seperti pelatihan intelijen korupsi yang saat ini hanya 16 di KPK, pelatihan penyelidik dan penyidik, termasuk pelatihan penuntutan. Kesepakatan dalam MoU tidak boleh bertentangan atau menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada.

Pasal 1320 KUHP (Perdata) menegaskan,setiap kesepakatan para pihak harus memiliki kuasa yang halal atau harus sesuai dengan UU.Konsekuensi atas pengabaian tersebut harus “batal demi hukum” atau dianggap tidak pernah ada. Memang ada ketentuan dalam KUHP (Perdata) bahwa setiap perjanjian merupakan UU bagi pihak yang menyepakatinya, tetapi kesepakatan yang diperjanjikan itu tidak menyalahi ketentuan UU yang lebih tinggi.

Salah satu kesepakatan dalam MoU 29 Maret 2012 yang perlu dikritisi bahwa untuk menghindari duplikasi penyelidikan, penentuan instansi yang wajib menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para pihak. Ini menyimpang dari Pasal 50 ayat (3) dan ayat (4) UUKPK karena yang menjadi ukuran terletak pada siapa yang lebih dahulu melakukan “penyelidikan”, bukan “penyidikan”.

Kesepakatan seperti ini tidak boleh diulang dalam MoU baru. Kenapa pembuat UUKPK memberi syarat “siapa yang lebih dahulu melakukan penyidikan” karena saat akan memulai penyidikan, penyidik memberitahukan kepada penuntut umum melalui Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (Pasal 109 ayat (1) KUHAP).Tujuannya, penuntut umum melakukan kontrol terhadap proses penyidikan. Rakyat berharap agar keputusan Presiden dibayar kontan oleh kedua institusi hukum.KPK tidak boleh terlena sebab ada kasus lain yang menunggu yaitu menuntaskan kasus Wisma Atlet, Hambalang, dan Bank Century.

Publik begitu antusias mendukung KPK saat ini. Tetapi, jika ketiga kasus itu tidak tuntas sesuai janji Pimpinan KPK, tidak menutup kemungkinan publik akan berbalik arah.Dalam tulisan di harian ini (Melucuti Kewenangan KPK, 27/9/2012) menyarankan agar KPK menggunakan perumpamaan “makan nasi tumpeng” dalam mengungkap kasus korupsi kakap.Jangan menggunakan perumpamaan “makan bubur” yang dimulai dari pelaku kecil-kecil, tetapi meluapkan pelaku kelas kakap.

Bagi Polri, rakyat berharap agar institusi baju cokelat itu diselamatkan dari ancaman parasit oknum-oknum perwira yang diduga melakukan korupsi. Termasuk pola pikir yang tidak strategis yang kemungkinan akan memperpuruk citra dan wibawa Polri. Korupsi harus diperangi bersama, save KPK, save Polri, save kejaksaan, save pengadilan, dan save Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar