Memerdekakan
Pers Berstandar Internasional
Sabam Leo Batubara ; Anggota
Tim Perancang dan Pembahas
UU No 40/1999
tentang Pers
|
SINDO,
01 Oktober 2012
Sejalan
dengan berembusnya angin demokratisasi di Myanmar, seminggu setelah dilantik
menjadi menteri penerangan, A Aung Kyi mengatakan mendukung rancangan UU Pers
Myanmar berstandar internasional (Myanmar Times, 3/9/2012).
Merespons
pernyataan itu, lima puluhan pimpinan komunitas pers Myanmar— atas fasilitasi Southeast Asian Press Alliance (SEAPA)
Bangkok— menggelar Myanmar
Journalists Townhall Meeting for Press Freedom selama dua hari di Gedung
Royal Rose Bahan Township Yangon. Tepat pada tanggal 23 September 2012, yakni
hari ulang tahun ke-13 kemerdekaan pers Indonesia— hari diundangkannya UU No
40/1999 tentang Pers—, sebagai resource
person saya berbagi pengalaman dengan peserta pertemuan itu bagaimana saya
dan kawan-kawan lain di awal pergerakan reformasi merancang, membahas, dan
melakukan berbagai strategi untuk memerdekakan pers nasional.
Terinspirasi oleh diskusi dua hari itu yang juga dihadiri peserta dari Thailand, Filipina, dan Kanada, di Myanmar saya merenung apakah kemerdekaan pers Indonesia telah memenuhi standar internasional? Temuan saya, nasib kemerdekaan pers nasional sama seperti nasib kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan telah membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing, tapi 67 tahun ini negeri belum merdeka dari pembodohan dan penjajahan oleh bangsa sendiri. UU Pers didesain untuk memerdekakan pers nasional, tapi berbagai ketentuan, perundang-undangan, kebijakan, gagasan, tindakan, dan putusan masih menghambat dan mengancam kemerdekaan pers.
Gambaran Keadaan
Perkembangan kemerdekaan pers nasional selama 13 tahun ini menunjukkan gambaran (1) berkembang sesuai dengan standar internasional, (2) belum berstandar internasional, dan (3) berkembang tanpa kepastian hukum. Realitas pertama, perkembangan kemerdekaan pers telah sesuai dengan standar internasional. Pertama, penerbitan pers tidak lagi memerlukan izin dan telah bebas dari sensor dan bredel.
Jumlah media cetak meledak dari 289 (1997) menjadi 1.366 (2011). Tiras surat kabar harian naik dari sekitar 5 juta menjadi 9,3 juta eksemplar. Sebelumnya 90% media cetak terkonsentrasi di Jawa, kini menyebar ke segala penjuru Nusantara. Kedua, UU Pers meniadakan kewenangan pemerintah untuk mengintervensi penyelenggaraan pers.Tidak ada lagi peraturan pemerintah dan peraturan menteri tentang pers.
Regulasi penyelenggaraan pers oleh komunitas pers (self regulating). Dewan Pers menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian perkara pers. Beberapa tahun lalu The International Federation of Journalists (IFJ) menyatakan Dewan Pers Indonesia dan Afrika Selatan sebagai dewan pers terbaik dunia. Ketiga, pers yang mengontrol pemerintah, bukan lagi sebaliknya.
Di era rezim Orde Lama dan Orde Baru, bagi pers yang berani mengontrol rezim penguasa, penerbitannya dapat dibredel dan atau wartawannya dipidanapenjarakan. Realitas kedua, kemerdekaan pers belum berstandar internasional. Di negara-negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, posisi kemerdekaan pers kuat karena juga didukung oleh negara. Sementara penyelenggara negara kita masih berkultur belum mendukung konsep kemerdekaan pers yang kuat.
Pertama, MPR masih menolak perjuangan masyarakat pers agar amendemen konstitusi mengakomodasi kemerdekaan pers menjadi hak konstitusional warga negara dan tidak lagi sekadar berstatus legislative right. Artinya, nasib kemerdekaan pers masih tergantung pada kemurahan hati pemerintah dan DPR. Jika kedua lembaga itu misalnya merevisi UU Pers agar izin penerbitan pers dan kewenangan pemerintah untuk mengontrol pers kembali diberlakukan, ketentuan seperti itu tidak dapat dinilai sebagai inkonstitusional.
Kedua, penyelenggara negara belum mengapresiasi pers sebagai kekuatan keempat demokrasi. Di AS, Afrika Selatan, Korea Selatan, misalnya temuan-temuan hasil jurnalisme investigasi oleh quality media tentang praktik-praktik bad governance, menjadi masukan bagi penyelenggara negara untuk melakukan pembenahan. Di negeri ini media berkualitas berbusa-busa mengungkap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh legislator, birokrat, penegak hukum. Semestinya, temuan-temuan itu didengar sebagai suara hati publik.
Namun justru muncul suara untuk merevisi UU Pers agar pers tidak kebablasan. Ketiga, Pasal 8 UU Pers mengamanatkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Selama 13 tahun ini kasus kekerasan terhadap wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistik masih berlanjut. Tercatat 5 wartawan tewas, hanya 1 yang diproses dengan memidanapenjarakan pelakunya. Penegak hukum sepertinya belum concern melaksanakan amanat UU Pers itu.
Keempat, di akhir pemerintahan Orde Baru jumlah wartawan ditaksir sekitar 8.000, sekarang diperkirakan 40.000 orang. Sebagian besar sama sekali tidak memenuhi standar kompetensi keprofesionalan. Kondisi seperti ini kontributif merusak citra kemerdekaan pers. Tokoh pers nasional Rosihan Anwar dalam artikel berjudul “80 Persen Wartawan Melakukan Pemerasan” yang dimuat di satu surat kabar nasional (9/2/2002) mengisyaratkan wajah buruk pers seperti itu sulit diperbaiki jika pers nasional masih mempekerjakan wartawan yang tidak memenuhi standar keprofesionalan.
Kendati ledakan media massa semestinya memerlukan SDM yang berkualitas, pemerintah dan DPR sepertinya belum menunjukkan tanggung jawabnya agar negara mengakselerasi pendirian schools of journalism sebagai penanggung jawab pasokan wartawan yang memenuhi standar. Realitas ketiga, kemerdekaan pers tanpa kepastian hukum. UU Pers melindungi kemerdekaan pers, sementara puluhan UU lain mengancam.
Pertama, Pasal 8 UU Pers mengamanatkan dalam pelaksanaan tugas jurnalistik,wartawan mendapat perlindungan hukum.Dalam 13 tahun ini puluhan wartawan didakwa dan atau divonis sebagai pelaku kriminal atau dituntut denda triliunan rupiah berdasarkan KUHP dan KUHAP. Semestinya, sejalan dengan Pasal 8 UU Pers itu, terhadap wartawan dan pers juga berlaku Pasal 310 ayat (3) dan Pasal 50 KUHP, bahwa terhadap wartawan dan pers yang melaksanakan ketentuan UU Pers tidak dapat dipidana.
Ironisnya, pemerintah dan DPR masih berlanjut menerbitkan berbagai UU yang dapat mengkriminalkan pers dan dapat membangkrutkan pers dengan jumlah yang tidak proporsional. Kedua, berdasarkan UU Pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi serta berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Ketentuan itu diperkuat oleh diterbitkannya UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan lembaga publik untuk memublikasikan informasi publik.
Fakta menunjukkan, tercatat beberapa lembaga publik tidak mematuhi kedua UU itu. Realitas terkini, Freedom House dalam laporan “Countries at the Crossroads 2012” yang dirilis di Washington DC (17/9/2012) mengemukakan skor Indonesia kembali memburuk. Posisi buruk itu antara lain disumbang oleh merosotnya tindak antikorupsi, transparansi dan kebebasan sipil, serta terjadi penurunan kebebasan pers dengan meningkatnya insiden serangan terhadap para wartawan.
Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers Reporters Without Border Paris melaporkan indeks kemerdekaan pers 174 negara posisi 2011–2012 (25/1/2012). Peringkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi ke-146 dibanding ke-117 pada 2010. ●
Terinspirasi oleh diskusi dua hari itu yang juga dihadiri peserta dari Thailand, Filipina, dan Kanada, di Myanmar saya merenung apakah kemerdekaan pers Indonesia telah memenuhi standar internasional? Temuan saya, nasib kemerdekaan pers nasional sama seperti nasib kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan telah membebaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing, tapi 67 tahun ini negeri belum merdeka dari pembodohan dan penjajahan oleh bangsa sendiri. UU Pers didesain untuk memerdekakan pers nasional, tapi berbagai ketentuan, perundang-undangan, kebijakan, gagasan, tindakan, dan putusan masih menghambat dan mengancam kemerdekaan pers.
Gambaran Keadaan
Perkembangan kemerdekaan pers nasional selama 13 tahun ini menunjukkan gambaran (1) berkembang sesuai dengan standar internasional, (2) belum berstandar internasional, dan (3) berkembang tanpa kepastian hukum. Realitas pertama, perkembangan kemerdekaan pers telah sesuai dengan standar internasional. Pertama, penerbitan pers tidak lagi memerlukan izin dan telah bebas dari sensor dan bredel.
Jumlah media cetak meledak dari 289 (1997) menjadi 1.366 (2011). Tiras surat kabar harian naik dari sekitar 5 juta menjadi 9,3 juta eksemplar. Sebelumnya 90% media cetak terkonsentrasi di Jawa, kini menyebar ke segala penjuru Nusantara. Kedua, UU Pers meniadakan kewenangan pemerintah untuk mengintervensi penyelenggaraan pers.Tidak ada lagi peraturan pemerintah dan peraturan menteri tentang pers.
Regulasi penyelenggaraan pers oleh komunitas pers (self regulating). Dewan Pers menetapkan dan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik serta memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian perkara pers. Beberapa tahun lalu The International Federation of Journalists (IFJ) menyatakan Dewan Pers Indonesia dan Afrika Selatan sebagai dewan pers terbaik dunia. Ketiga, pers yang mengontrol pemerintah, bukan lagi sebaliknya.
Di era rezim Orde Lama dan Orde Baru, bagi pers yang berani mengontrol rezim penguasa, penerbitannya dapat dibredel dan atau wartawannya dipidanapenjarakan. Realitas kedua, kemerdekaan pers belum berstandar internasional. Di negara-negara demokrasi yang berkedaulatan rakyat, posisi kemerdekaan pers kuat karena juga didukung oleh negara. Sementara penyelenggara negara kita masih berkultur belum mendukung konsep kemerdekaan pers yang kuat.
Pertama, MPR masih menolak perjuangan masyarakat pers agar amendemen konstitusi mengakomodasi kemerdekaan pers menjadi hak konstitusional warga negara dan tidak lagi sekadar berstatus legislative right. Artinya, nasib kemerdekaan pers masih tergantung pada kemurahan hati pemerintah dan DPR. Jika kedua lembaga itu misalnya merevisi UU Pers agar izin penerbitan pers dan kewenangan pemerintah untuk mengontrol pers kembali diberlakukan, ketentuan seperti itu tidak dapat dinilai sebagai inkonstitusional.
Kedua, penyelenggara negara belum mengapresiasi pers sebagai kekuatan keempat demokrasi. Di AS, Afrika Selatan, Korea Selatan, misalnya temuan-temuan hasil jurnalisme investigasi oleh quality media tentang praktik-praktik bad governance, menjadi masukan bagi penyelenggara negara untuk melakukan pembenahan. Di negeri ini media berkualitas berbusa-busa mengungkap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh legislator, birokrat, penegak hukum. Semestinya, temuan-temuan itu didengar sebagai suara hati publik.
Namun justru muncul suara untuk merevisi UU Pers agar pers tidak kebablasan. Ketiga, Pasal 8 UU Pers mengamanatkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Selama 13 tahun ini kasus kekerasan terhadap wartawan yang melaksanakan tugas jurnalistik masih berlanjut. Tercatat 5 wartawan tewas, hanya 1 yang diproses dengan memidanapenjarakan pelakunya. Penegak hukum sepertinya belum concern melaksanakan amanat UU Pers itu.
Keempat, di akhir pemerintahan Orde Baru jumlah wartawan ditaksir sekitar 8.000, sekarang diperkirakan 40.000 orang. Sebagian besar sama sekali tidak memenuhi standar kompetensi keprofesionalan. Kondisi seperti ini kontributif merusak citra kemerdekaan pers. Tokoh pers nasional Rosihan Anwar dalam artikel berjudul “80 Persen Wartawan Melakukan Pemerasan” yang dimuat di satu surat kabar nasional (9/2/2002) mengisyaratkan wajah buruk pers seperti itu sulit diperbaiki jika pers nasional masih mempekerjakan wartawan yang tidak memenuhi standar keprofesionalan.
Kendati ledakan media massa semestinya memerlukan SDM yang berkualitas, pemerintah dan DPR sepertinya belum menunjukkan tanggung jawabnya agar negara mengakselerasi pendirian schools of journalism sebagai penanggung jawab pasokan wartawan yang memenuhi standar. Realitas ketiga, kemerdekaan pers tanpa kepastian hukum. UU Pers melindungi kemerdekaan pers, sementara puluhan UU lain mengancam.
Pertama, Pasal 8 UU Pers mengamanatkan dalam pelaksanaan tugas jurnalistik,wartawan mendapat perlindungan hukum.Dalam 13 tahun ini puluhan wartawan didakwa dan atau divonis sebagai pelaku kriminal atau dituntut denda triliunan rupiah berdasarkan KUHP dan KUHAP. Semestinya, sejalan dengan Pasal 8 UU Pers itu, terhadap wartawan dan pers juga berlaku Pasal 310 ayat (3) dan Pasal 50 KUHP, bahwa terhadap wartawan dan pers yang melaksanakan ketentuan UU Pers tidak dapat dipidana.
Ironisnya, pemerintah dan DPR masih berlanjut menerbitkan berbagai UU yang dapat mengkriminalkan pers dan dapat membangkrutkan pers dengan jumlah yang tidak proporsional. Kedua, berdasarkan UU Pers, pers nasional berhak mencari, memperoleh, dan menyebarkan informasi serta berperan untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Ketentuan itu diperkuat oleh diterbitkannya UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan lembaga publik untuk memublikasikan informasi publik.
Fakta menunjukkan, tercatat beberapa lembaga publik tidak mematuhi kedua UU itu. Realitas terkini, Freedom House dalam laporan “Countries at the Crossroads 2012” yang dirilis di Washington DC (17/9/2012) mengemukakan skor Indonesia kembali memburuk. Posisi buruk itu antara lain disumbang oleh merosotnya tindak antikorupsi, transparansi dan kebebasan sipil, serta terjadi penurunan kebebasan pers dengan meningkatnya insiden serangan terhadap para wartawan.
Sebelumnya, lembaga independen pemantau kemerdekaan pers Reporters Without Border Paris melaporkan indeks kemerdekaan pers 174 negara posisi 2011–2012 (25/1/2012). Peringkat kemerdekaan pers Indonesia menurun 29 poin menjadi ke-146 dibanding ke-117 pada 2010. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar