Harga Tembakau
Turun, Tanggung Jawab Siapa?
M Sobary ; Sejarawan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
|
SINDO,
01 Oktober 2012
Pada
suatu pagi, Muawiyah tidur lelap. Jika dibiarkan, dia akan melewatkan waktu
subuh. Seseorang membangunkannya dan dia pun salat subuh.Tapi betapa
terkejutnya, yang membangunkannya tadi setan.
Apa
perlunya membangunkan aku? Biasanya kau mencegah orang salat? Setan menjawab,“
Kalau kudiamkan, kau kehilangan kesempatan untuk salat subuh, maka kau akan
beristigfar sepanjang hari, sedang tiap satu istigfarmu bernilai satu subuh
sendiri. Aku dengki melihat itu,” jawab setan. Di suatu media terkemuka di
Jakarta muncul artikel, ditulis oleh orang terkemuka di bidang kesehatan, yang
dengan panjang lebar disertai klaim-klaim kelengkapan data berbicara tentang
turunnya harga tembakau yang membuat petani tembakau sekarang menderita.
Ditulis pula bahwa turunnya harga tersebut disebabkan besarnya impor tembakau asing dan bahwa pabrik keretek pun tak peduli terhadap peristiwa tersebut. Di sana juga disebutkan, para pembela petani tembakau diam saja dan dipertanyakan, siapa sebenarnya yang mereka bela? Terutama pertanyaan terakhir ini yang tekanannya terasa lebih berat, dengan satu klaim dan satu tuduhan tersembunyi, simbolis, dan tak terlihat atau tak terasakan oleh mereka yang tak mengerti di mana posisi si penulis dalam diskursus tentang tembakau yang ruwet akhirakhir ini.
Penulis seorang tokoh antitembakau, antikeretek, yang dengan datar menyamakan uang asing yang disumbangkan kepada para tokoh antirokok oleh suatu organisasi yang memakai nama Bloomberg di suatu negeri yang jauh dari sini. Baginya, uang ini sama dengan dana pembangunan yang diterima negara, sama dengan uang yang diterima LSM untuk kegiatan mereka,dan sama dengan uang asing yang mana pun.
Aneh, seorang sesenior dan secerdas beliau—cerdas politik, cerdas ekonomi—dan waspada akan begitu banyak hal yang tersembunyi, tapi mengapa begitu sederhana memahami makna duit asing yang ditaburkan ke mana-mana dan diterima di kalangan pejabat, aktivis, ilmuwan, tokoh rohani, dan kaum profesional? Duit asing ini jauh bedanya dan tak mungkin sama dengan dana pembangunan. Duit ini juga beda dan tak mungkin mendekati kesamaan dengan uang yang diterima LSM.
Kita tahu, pada mulanya duit asing ini diterima dengan nikmat tapi diam-diam. Tak ada yang mengakuinya.Bahkan seorang wartawan besar menulis di media besar, telah menghardik siapa saja yang menyadari adanya uang sensitif itu. Dia bilang: adanya uang asing itu absurd. Tapi, di dalam suatu acara televisi, uang yang ditutup-tutupi itu terbuka. Sepandai-pandai orang membungkus, barang busuk berbau juga.
Dengan rasa malu yang tak terbayangkan, mereka berusaha membuat de-finisi dan menyamakan uang asing yang khusus untuk membunuh tembakau dan keretek itu dengan uang asing yang lain-lain, termasuk disamakan dengan loan dari suatu negara untuk negara lain macam negara kita ini. Dana pembangunan dan dana untuk LSM itu diterima melalui kesepakatan dan mekanisme yang disebut “G to G” dan di negeri donor, parlemennya tahu berapa jumlah dan untuk program apa.
Programnya buat kebaikan bagi kedua negara dan rakyat kedua negara tersebut. Hal itu tiba-tiba disamakan dengan uang asing, dari pengusaha asing, yang bermaksud merebut bisnis keretek kita, dengan cara-cara menghancurkan keretek kita lebih dulu. Dan mereka mau saja menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing tersebut. Tokoh yang sama kemudian mengingatkan kita perlunya membela petani tembakau? Tokoh ini pula yang beberapa bulan lampau menulis dalam tanya jawab di media online agar kemarahan petani ditujukan pada kebijakan pemerintah yang mengimpor tembakau dan bukan hanya terhadap RPP yang sedang dalam proses penyelesaian.
Dia mengabaikan kemampuan kita memahami persoalan tembakau. Kita tahu impor itu ada.Perjuangan kita bertahap. Kita hadapi dulu semua peraturan resmi pemerintah yang mengancam dan perlahanlahan menengok perkara impor, terutama oleh industri rokok milik asing yang tak pernah memakai tembakau hasil tanaman rakyat kita. Ketika dalam artikel tersebut dia berteriak,“Pembela tembakau diam saja, siapa sebenarnya yang dibela,”apakah berarti tokoh ini sedang menaruh empati kepada petani tembakau yang terjepit kebijakan?
Dia membela home industry keretek, tiga ratusan jumlahnya, yang mati karena dicekik pemerintah? Jawabannya, sudah jelas tidak. Tak ada yang percaya bahwa dia sebaik itu kepada petani tembakau dan pabrik kecilkecil yang mati karena kebijakan vandalistis yang didiktekan oleh kepentingan asing kepada pejabat kita. Dia sedang mengalihkan perhatian kita pada hal-hal lain. Solidaritas kita—para petani tembakau dan semua pihak yang ada hubungannya dengan pertanian dan pabrik,dengan semua pihak yang bekerja sama dengan mereka—hendak digoyahkan.
Tahun ini petani tembakau mengeluh berat karena harga tembakau turun dan pabrik sudah menutup buku pembelian. Apakah begitu yang sebenarnya terjadi? Pabrik,yang tahun lalu rela menjadi pemberi jaminan bagi petani yang meminjam uang di bank setempat untuk keperluan pertanian, tak mungkin menutup pintu dari keluhan.Pabrik siap menjadi pemberi jaminan. Maka kalau jumlah 18 miliar rupiah yang hendak dipinjam petani dan bank tak mau memberi pinjaman itu, maka pabriklah yang bersedia memberi mereka pinjaman.
Uang pabrik yang disiapkan justru lebih besar, 20 miliar rupiah, dan tak perlu pakai agunan. Dalam proses pinjam-meminjam ini, Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah (APTI) ada di ujung tombak lobi ke pabrikan.Dan petani bahagia. Ini terjadi di Temanggung. Lagipula, beberapa tahun terakhir relasi mereka sudah berubah. Petani yang punya pinjaman, tapi hasil panen mereka buruk, boleh membayar tahun depan lagi setelah hasil panen bagus.
Ini sudah menjadi kebijakan pabrik untuk memperlihatkan partnership di antara mereka, yang makin hari terjalin kokoh. Pabrik yang lain bersedia memberikan beasiswa buat anak-anak petani dari tingkat SMP hingga tingkat perguruan tinggi. Diutamakan anak petani yang cerdas.Baru kemudian diutamakan lagi anak petani yang memang sangat membutuhkan beasiswa itu. Petani Temanggung juga sedang melakukan lobi dengan pemda setempat agar pemda turut membantu mereka keluar dari persoalan ruwet ini.
Lobi-lobi ditempuh. Lewat asosiasi petani tembakau atau lewat petani langsung, tindakan-tindakan penting sedang dan sudah dilakukan. Tak ada yang berpangku tangan. Relasi petani dan pabrikan yang sudah mapan dan terasa saling menguntungkan seperti itu tak bisa dirusak. Kita tak patut berteriak melalui suatu artikel di media yang justru merusak jalinan pengertian yang sudah terbentuk. Cara yang sudah ditempuh, dialog, lobi, dialog, lebih bijak.
Petani mungkin tak sepandai dokter. Apalagi dibandingkan dokter senior di kota besar, yang juga aktivis yang gigih hendak siap, tiap saat, menyingkirkan tembakau dan keretek dari kehidupan masyarakat. Bukankah beliau yang bersumpah hendak memuseumkan keretek kita agar keretek hanya dikenang dalam kebekuan? Petani memang tak sepandai dokter itu Tapi petani memiliki wisdom yang mungkin dokter itu tak memahaminya.
Dan apa arti teriakannya bahwa para pembela petani tembakau diam saja dan siapa yang sebenarnya dibela? Mereka— para pembela petani tembakau itu pun—tak sepandai dokter ini. Tapi,seperti para petani tembakau, mereka pun punya wisdom perjuangan sendiri dan tak perlu dilaporkan kepada orang-orang niatnya menghancurkan tembakau.
Sebaliknya, di sana ada nada memecah-belah kesatuan antara para pembela tembakau pada satu pihak dan pembela keretek dan industri di pihak lain. Sifat mengadu domba itu terasa di dalam tulisannya. Jadi, benar sudah, bahwa sejauh ini tak ada yang menaruh peduli pada tulisan itu. Ketika dia berteriak agar kita marah pada kebijakan impor beberapa bulan lalu, pun tak ada yang menanggapinya. ●
Ditulis pula bahwa turunnya harga tersebut disebabkan besarnya impor tembakau asing dan bahwa pabrik keretek pun tak peduli terhadap peristiwa tersebut. Di sana juga disebutkan, para pembela petani tembakau diam saja dan dipertanyakan, siapa sebenarnya yang mereka bela? Terutama pertanyaan terakhir ini yang tekanannya terasa lebih berat, dengan satu klaim dan satu tuduhan tersembunyi, simbolis, dan tak terlihat atau tak terasakan oleh mereka yang tak mengerti di mana posisi si penulis dalam diskursus tentang tembakau yang ruwet akhirakhir ini.
Penulis seorang tokoh antitembakau, antikeretek, yang dengan datar menyamakan uang asing yang disumbangkan kepada para tokoh antirokok oleh suatu organisasi yang memakai nama Bloomberg di suatu negeri yang jauh dari sini. Baginya, uang ini sama dengan dana pembangunan yang diterima negara, sama dengan uang yang diterima LSM untuk kegiatan mereka,dan sama dengan uang asing yang mana pun.
Aneh, seorang sesenior dan secerdas beliau—cerdas politik, cerdas ekonomi—dan waspada akan begitu banyak hal yang tersembunyi, tapi mengapa begitu sederhana memahami makna duit asing yang ditaburkan ke mana-mana dan diterima di kalangan pejabat, aktivis, ilmuwan, tokoh rohani, dan kaum profesional? Duit asing ini jauh bedanya dan tak mungkin sama dengan dana pembangunan. Duit ini juga beda dan tak mungkin mendekati kesamaan dengan uang yang diterima LSM.
Kita tahu, pada mulanya duit asing ini diterima dengan nikmat tapi diam-diam. Tak ada yang mengakuinya.Bahkan seorang wartawan besar menulis di media besar, telah menghardik siapa saja yang menyadari adanya uang sensitif itu. Dia bilang: adanya uang asing itu absurd. Tapi, di dalam suatu acara televisi, uang yang ditutup-tutupi itu terbuka. Sepandai-pandai orang membungkus, barang busuk berbau juga.
Dengan rasa malu yang tak terbayangkan, mereka berusaha membuat de-finisi dan menyamakan uang asing yang khusus untuk membunuh tembakau dan keretek itu dengan uang asing yang lain-lain, termasuk disamakan dengan loan dari suatu negara untuk negara lain macam negara kita ini. Dana pembangunan dan dana untuk LSM itu diterima melalui kesepakatan dan mekanisme yang disebut “G to G” dan di negeri donor, parlemennya tahu berapa jumlah dan untuk program apa.
Programnya buat kebaikan bagi kedua negara dan rakyat kedua negara tersebut. Hal itu tiba-tiba disamakan dengan uang asing, dari pengusaha asing, yang bermaksud merebut bisnis keretek kita, dengan cara-cara menghancurkan keretek kita lebih dulu. Dan mereka mau saja menjadi kepanjangan tangan kepentingan asing tersebut. Tokoh yang sama kemudian mengingatkan kita perlunya membela petani tembakau? Tokoh ini pula yang beberapa bulan lampau menulis dalam tanya jawab di media online agar kemarahan petani ditujukan pada kebijakan pemerintah yang mengimpor tembakau dan bukan hanya terhadap RPP yang sedang dalam proses penyelesaian.
Dia mengabaikan kemampuan kita memahami persoalan tembakau. Kita tahu impor itu ada.Perjuangan kita bertahap. Kita hadapi dulu semua peraturan resmi pemerintah yang mengancam dan perlahanlahan menengok perkara impor, terutama oleh industri rokok milik asing yang tak pernah memakai tembakau hasil tanaman rakyat kita. Ketika dalam artikel tersebut dia berteriak,“Pembela tembakau diam saja, siapa sebenarnya yang dibela,”apakah berarti tokoh ini sedang menaruh empati kepada petani tembakau yang terjepit kebijakan?
Dia membela home industry keretek, tiga ratusan jumlahnya, yang mati karena dicekik pemerintah? Jawabannya, sudah jelas tidak. Tak ada yang percaya bahwa dia sebaik itu kepada petani tembakau dan pabrik kecilkecil yang mati karena kebijakan vandalistis yang didiktekan oleh kepentingan asing kepada pejabat kita. Dia sedang mengalihkan perhatian kita pada hal-hal lain. Solidaritas kita—para petani tembakau dan semua pihak yang ada hubungannya dengan pertanian dan pabrik,dengan semua pihak yang bekerja sama dengan mereka—hendak digoyahkan.
Tahun ini petani tembakau mengeluh berat karena harga tembakau turun dan pabrik sudah menutup buku pembelian. Apakah begitu yang sebenarnya terjadi? Pabrik,yang tahun lalu rela menjadi pemberi jaminan bagi petani yang meminjam uang di bank setempat untuk keperluan pertanian, tak mungkin menutup pintu dari keluhan.Pabrik siap menjadi pemberi jaminan. Maka kalau jumlah 18 miliar rupiah yang hendak dipinjam petani dan bank tak mau memberi pinjaman itu, maka pabriklah yang bersedia memberi mereka pinjaman.
Uang pabrik yang disiapkan justru lebih besar, 20 miliar rupiah, dan tak perlu pakai agunan. Dalam proses pinjam-meminjam ini, Asosiasi Petani Tembakau Jawa Tengah (APTI) ada di ujung tombak lobi ke pabrikan.Dan petani bahagia. Ini terjadi di Temanggung. Lagipula, beberapa tahun terakhir relasi mereka sudah berubah. Petani yang punya pinjaman, tapi hasil panen mereka buruk, boleh membayar tahun depan lagi setelah hasil panen bagus.
Ini sudah menjadi kebijakan pabrik untuk memperlihatkan partnership di antara mereka, yang makin hari terjalin kokoh. Pabrik yang lain bersedia memberikan beasiswa buat anak-anak petani dari tingkat SMP hingga tingkat perguruan tinggi. Diutamakan anak petani yang cerdas.Baru kemudian diutamakan lagi anak petani yang memang sangat membutuhkan beasiswa itu. Petani Temanggung juga sedang melakukan lobi dengan pemda setempat agar pemda turut membantu mereka keluar dari persoalan ruwet ini.
Lobi-lobi ditempuh. Lewat asosiasi petani tembakau atau lewat petani langsung, tindakan-tindakan penting sedang dan sudah dilakukan. Tak ada yang berpangku tangan. Relasi petani dan pabrikan yang sudah mapan dan terasa saling menguntungkan seperti itu tak bisa dirusak. Kita tak patut berteriak melalui suatu artikel di media yang justru merusak jalinan pengertian yang sudah terbentuk. Cara yang sudah ditempuh, dialog, lobi, dialog, lebih bijak.
Petani mungkin tak sepandai dokter. Apalagi dibandingkan dokter senior di kota besar, yang juga aktivis yang gigih hendak siap, tiap saat, menyingkirkan tembakau dan keretek dari kehidupan masyarakat. Bukankah beliau yang bersumpah hendak memuseumkan keretek kita agar keretek hanya dikenang dalam kebekuan? Petani memang tak sepandai dokter itu Tapi petani memiliki wisdom yang mungkin dokter itu tak memahaminya.
Dan apa arti teriakannya bahwa para pembela petani tembakau diam saja dan siapa yang sebenarnya dibela? Mereka— para pembela petani tembakau itu pun—tak sepandai dokter ini. Tapi,seperti para petani tembakau, mereka pun punya wisdom perjuangan sendiri dan tak perlu dilaporkan kepada orang-orang niatnya menghancurkan tembakau.
Sebaliknya, di sana ada nada memecah-belah kesatuan antara para pembela tembakau pada satu pihak dan pembela keretek dan industri di pihak lain. Sifat mengadu domba itu terasa di dalam tulisannya. Jadi, benar sudah, bahwa sejauh ini tak ada yang menaruh peduli pada tulisan itu. Ketika dia berteriak agar kita marah pada kebijakan impor beberapa bulan lalu, pun tak ada yang menanggapinya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar