Membangun
Sistem Kepartaian
Suyatno ; Alumnus Pascasarjana
Ilmu Politik UGM,
Dosen Ilmu
Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Oktober 2012
MENYIMAK proses verifikasi partai politik oleh
KPU memunculkan hal menarik perhatian kita akan kondisi partai politik di
negara ini. Sejak pendaftaran verifikasi administrasi dibuka, KPU menerima
berkas 33 dari 34 parpol yang ada di Tanah Air. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi
(MK) memutuskan semua parpol, baik yang lolos maupun tidak lolos verifi kasi
pada Pemilu 2009 serta partai baru, harus tetap mengikuti tahapan verifikasi
di KPU untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Hasilnya, KPU mengumumkan sebanyak
33 partai politik calon peserta Pemilu 2014 tidak lolos verifikasi
administrasi.
Selanjutnya, KPU akan mengumumkan nama-nama
parpol yang berhasil melewati tahapan verifikasi administrasi pada 23 hingga
25 Oktober. Meski pengumuman KPU itu baru pada seleksi tahap pertama, hasil
verifikasi sangat mungkin hanya meloloskan sebagian dari jumlah partai yang
begitu banyak.
Hal itu tidak jarang memunculkan ketidakpuasan, kekecewaan, bahkan protes dari para pendiri parpol yang gagal masuk pemilu. Akan tetapi, berapa pun jumlah yang lolos, itu sebenarnya akan berpengaruh terhadap rumitnya pelaksanaan pemungutan suara.
Pertanyaannya kemudian, berapa sebenarnya
jumlah partai yang ideal bagi tersalurnya kepentingan rakyat? Bangun
kepartaian seperti apa yang akan mampu menjamin demokrasi di Indonesia?
Makna Sistem
Kepartaian
Bila berbicara tentang sistem kepartaian, kita
seringkali hanya memusatkan perhatian pada jumlah partai yang ada dalam
sebuah negara. Akan tetapi, itu sebenarnya bukan berarti kita hanya membahas
jumlah, melainkan juga sehat-tidaknya persaingan partai politik di suatu
negara. Bila mengacu ke jumlah, kita akan menemui satu, dua, atau sistem
banyak partai yang kita kenal. Namun, hal itu tidak cukup untuk menjadi
satu-satunya ukuran ideal bahwa melihat sistem kepartaian ialah dengan
melihat jumlah partai yang ada di suatu negara.
Bisa jadi jumlah parpol banyak, tetapi tidak
bisa berkompetisi dengan baik sehingga hanya dua atau bahkan satu partai yang
memegang peranan dalam pemerintahan suatu negara. Itu berarti sistem yang demikian
tidak bisa lantas disebut sistem banyak partai, seperti yang pernah dialami
negeri ini pada masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun terdapat lebih dari
satu partai politik, partai-partai kecil tidak bisa memberikan pengaruh dalam
proses pembuatan kebijakan. Partai nonpemerintah hanya dianggap sebagai
pelengkap persyaratan prinsip demokrasi yang dianut. Ia hanya partai
pinggiran, yaitu partai yang selalu berada di wilayah pinggiran. Dalam ikut
menentukan jalannya pemerintahan negara, hanya satu partai yang memegang
peranan secara dominan.
Idealnya, pada sebuah bangun kepartaian dari
sisi kuantitas, tersedia partai yang memiliki komitmen dan konsistensi
kerakyatan. Artinya, berapa pun jumlah partai, itu tidak menjadi masalah bila
semuanya memang kebutuhan dari rakyat. Meski sedikit, itu akan menjadi
persoalan bila tak satu pun merupakan wahana bagi aspirasi ma syarakat. Dari
sisi kualitas, setiap partai memiliki kesempatan dan keinginan serta
kemampuan untuk berkompetisi melaksanakan fungsi secara optimal dalam sebuah
mekanisme yang kondusif. Keberadaan partai tidak semata-mata ditentukan rezim
yang tengah berkuasa atau sebuah mekanisme administratif yang diciptakan
secara tidak adil dan demokratis oleh penguasa secara sepihak.
Faktor Penentu
Ada beberapa hal yang mendorong terbentuknya
sebuah sistem kepartaian yang memang dapat mewakili kondisi masyarakat dan
efektif bagi bangsa ini. Pertama, menjadikan kepentingan dan partisipasi
rakyat sebagai pijakan dasar bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik.
Untuk itu dibutuhkan peluang yang lebih luas
dalam melihat dukungan secara nyata dari rakyat secara luas dan tidak
terbatas verifikasi baik administratif maupun faktual yang dilakukan KPU.
Bila perlu, dilakukan jajak pendapat dari masyarakat terhadap partai tertentu
dan di seluruh wilayah Indonesia secara berjangka. itu bukan hanya menjelang
pemilu dilaksana kan sehingga partai yang memang belum siap mendaftarkan diri
saat ini tidak akan berspekulasi, sebab memang dibutuhkan keseriusan dan
waktu yang panjang agar partai tersebut diakui masyarakat luas.
Kedua, menciptakan kesempatan yang merata
kepada semua partai yang ada untuk menyalurkan kepentingan rakyat. Di situ
akan terlihat partai yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat dan
partai yang hanya akan mengejar kekuasaan. Kondisi tersebut sekaligus
tersebut sekaligus akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan
bertahan-tidaknya sebuah partai men jadi peserta pemilu.
Keberadaannya ditentukan dukungan yang
diperoleh dalam sebuah pesta demokrasi sep perti pemilu, tidak semata-mata
ditentukan sebuah lembaga yang anggotanya terbatas--meskipun saya tidak
menyangkal masuknya partai dalam pemilu harus memenuhi persyaratan awal
semacam electoral threshold dan
syarat administratif lainnya.
Ketiga, partai harus terusmenerus menjalin
hubungan dengan rakyat dan pemilihnya. Hubungan dialogis itu mengandung makna
bahwa keberadaan partai benarbenar dibutuhkan rakyat sebagai media artikulasi
kepentingan mereka. Bagaimana partai akan mengetahui keinginan dan keperluan
masyarakat yang sesungguhnya bila tidak ada hubungan yang erat dan intensif,
tidak hanya ketika menjelang pemilu dan dukungan ketika akan mendirikan
partai?
Kebiasaan menyampaikan janji-janji manis hanya
di saat-saat kampanye, tetapi sesudahnya dilupakan secara sepihak oleh
parpol, harus segera ditinggalkan termasuk dalam menentukan pemimpin publik.
Bila gaya lama itu tetap dipertahankan, tidak mustahil di kalangan rakyat
akan muncul ketidakpercayaan kepada parpol tertentu bahkan mungkin secara
keseluruhan.
Keempat, para pengelola partai sudah saatnya
berpikir untuk membentuk partai modern dan profesional. Partai modern ialah
partai yang mampu menerima pluralitas dan sedapat mungkin bersifat inklusif.
Artinya, sebuah partai modern sedapat mungkin mengambil orang yang belum
masuk untuk bergabung. Partai juga harus nondiskriminatif, semua anggota yang
ada dalam sebuah partai dianggap memiliki hak dan kesempatan yang sama. Ia
bersifat nonsektarian karena partai merupakan wahana bagi rakyat untuk mengafiliasikan
kehidupan bernegara.
Kelima, kesemua hal tadi idealnya harus dapat
terwadahi dalam sebuah produk peraturan yang terbuka dan tidak berpihak
kepada kepentingan sekelompok orang yang sempit dan sesaat. Para pembuat
kebijakan harus benar-benar berorientasi pada penerjemahan partisipasi dan
kepentingan rakyat dalam peraturan baik tentang partai politik maupun
pemilihan umum.
Dengan demikian, partaipartai yang memang
menjalankan fungsi menyalurkan aspirasi dan partisipasi rakyat akan bertahan,
sedangkan partai yang hanya ingin meraih dan menempatkan orang-orang tertentu
dalam lingkaran kekuasaan sebagai tujuan utama tidak akan bertahan lama.
Selain itu, sebuah sistem kepartaian yang ideal bagi negeri ini akan
terbentuk. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar