Sabtu, 13 Oktober 2012

Membangun Sistem Kepartaian


Membangun Sistem Kepartaian
Suyatno ;  Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM,
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka
MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2012



MENYIMAK proses verifikasi partai politik oleh KPU memunculkan hal menarik perhatian kita akan kondisi partai politik di negara ini. Sejak pendaftaran verifikasi administrasi dibuka, KPU menerima berkas 33 dari 34 parpol yang ada di Tanah Air. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan semua parpol, baik yang lolos maupun tidak lolos verifi kasi pada Pemilu 2009 serta partai baru, harus tetap mengikuti tahapan verifikasi di KPU untuk menjadi peserta Pemilu 2014. Hasilnya, KPU mengumumkan sebanyak 33 partai politik calon peserta Pemilu 2014 tidak lolos verifikasi administrasi.

Selanjutnya, KPU akan mengumumkan nama-nama parpol yang berhasil melewati tahapan verifikasi administrasi pada 23 hingga 25 Oktober. Meski pengumuman KPU itu baru pada seleksi tahap pertama, hasil verifikasi sangat mungkin hanya meloloskan sebagian dari jumlah partai yang begitu banyak.
Hal itu tidak jarang memunculkan ketidakpuasan, kekecewaan, bahkan protes dari para pendiri parpol yang gagal masuk pemilu. Akan tetapi, berapa pun jumlah yang lolos, itu sebenarnya akan berpengaruh terhadap rumitnya pelaksanaan pemungutan suara.

Pertanyaannya kemudian, berapa sebenarnya jumlah partai yang ideal bagi tersalurnya kepentingan rakyat? Bangun kepartaian seperti apa yang akan mampu menjamin demokrasi di Indonesia?

Makna Sistem Kepartaian

Bila berbicara tentang sistem kepartaian, kita seringkali hanya memusatkan perhatian pada jumlah partai yang ada dalam sebuah negara. Akan tetapi, itu sebenarnya bukan berarti kita hanya membahas jumlah, melainkan juga sehat-tidaknya persaingan partai politik di suatu negara. Bila mengacu ke jumlah, kita akan menemui satu, dua, atau sistem banyak partai yang kita kenal. Namun, hal itu tidak cukup untuk menjadi satu-satunya ukuran ideal bahwa melihat sistem kepartaian ialah dengan melihat jumlah partai yang ada di suatu negara.

Bisa jadi jumlah parpol banyak, tetapi tidak bisa berkompetisi dengan baik sehingga hanya dua atau bahkan satu partai yang memegang peranan dalam pemerintahan suatu negara. Itu berarti sistem yang demikian tidak bisa lantas disebut sistem banyak partai, seperti yang pernah dialami negeri ini pada masa pemerintahan Orde Baru. Meskipun terdapat lebih dari satu partai politik, partai-partai kecil tidak bisa memberikan pengaruh dalam proses pembuatan kebijakan. Partai nonpemerintah hanya dianggap sebagai pelengkap persyaratan prinsip demokrasi yang dianut. Ia hanya partai pinggiran, yaitu partai yang selalu berada di wilayah pinggiran. Dalam ikut menentukan jalannya pemerintahan negara, hanya satu partai yang memegang peranan secara dominan.

Idealnya, pada sebuah bangun kepartaian dari sisi kuantitas, tersedia partai yang memiliki komitmen dan konsistensi kerakyatan. Artinya, berapa pun jumlah partai, itu tidak menjadi masalah bila semuanya memang kebutuhan dari rakyat. Meski sedikit, itu akan menjadi persoalan bila tak satu pun merupakan wahana bagi aspirasi ma syarakat. Dari sisi kualitas, setiap partai memiliki kesempatan dan keinginan serta kemampuan untuk berkompetisi melaksanakan fungsi secara optimal dalam sebuah mekanisme yang kondusif. Keberadaan partai tidak semata-mata ditentukan rezim yang tengah berkuasa atau sebuah mekanisme administratif yang diciptakan secara tidak adil dan demokratis oleh penguasa secara sepihak.

Faktor Penentu

Ada beberapa hal yang mendorong terbentuknya sebuah sistem kepartaian yang memang dapat mewakili kondisi masyarakat dan efektif bagi bangsa ini. Pertama, menjadikan kepentingan dan partisipasi rakyat sebagai pijakan dasar bagi tumbuh dan berkembangnya partai politik.

Untuk itu dibutuhkan peluang yang lebih luas dalam melihat dukungan secara nyata dari rakyat secara luas dan tidak terbatas verifikasi baik administratif maupun faktual yang dilakukan KPU. Bila perlu, dilakukan jajak pendapat dari masyarakat terhadap partai tertentu dan di seluruh wilayah Indonesia secara berjangka. itu bukan hanya menjelang pemilu dilaksana kan sehingga partai yang memang belum siap mendaftarkan diri saat ini tidak akan berspekulasi, sebab memang dibutuhkan keseriusan dan waktu yang panjang agar partai tersebut diakui masyarakat luas.

Kedua, menciptakan kesempatan yang merata kepada semua partai yang ada untuk menyalurkan kepentingan rakyat. Di situ akan terlihat partai yang benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat dan partai yang hanya akan mengejar kekuasaan. Kondisi tersebut sekaligus tersebut sekaligus akan memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan bertahan-tidaknya sebuah partai men jadi peserta pemilu.

Keberadaannya ditentukan dukungan yang diperoleh dalam sebuah pesta demokrasi sep perti pemilu, tidak semata-mata ditentukan sebuah lembaga yang anggotanya terbatas--meskipun saya tidak menyangkal masuknya partai dalam pemilu harus memenuhi persyaratan awal semacam electoral threshold dan syarat administratif lainnya.

Ketiga, partai harus terusmenerus menjalin hubungan dengan rakyat dan pemilihnya. Hubungan dialogis itu mengandung makna bahwa keberadaan partai benarbenar dibutuhkan rakyat sebagai media artikulasi kepentingan mereka. Bagaimana partai akan mengetahui keinginan dan keperluan masyarakat yang sesungguhnya bila tidak ada hubungan yang erat dan intensif, tidak hanya ketika menjelang pemilu dan dukungan ketika akan mendirikan partai?

Kebiasaan menyampaikan janji-janji manis hanya di saat-saat kampanye, tetapi sesudahnya dilupakan secara sepihak oleh parpol, harus segera ditinggalkan termasuk dalam menentukan pemimpin publik. Bila gaya lama itu tetap dipertahankan, tidak mustahil di kalangan rakyat akan muncul ketidakpercayaan kepada parpol tertentu bahkan mungkin secara keseluruhan.

Keempat, para pengelola partai sudah saatnya berpikir untuk membentuk partai modern dan profesional. Partai modern ialah partai yang mampu menerima pluralitas dan sedapat mungkin bersifat inklusif. Artinya, sebuah partai modern sedapat mungkin mengambil orang yang belum masuk untuk bergabung. Partai juga harus nondiskriminatif, semua anggota yang ada dalam sebuah partai dianggap memiliki hak dan kesempatan yang sama. Ia bersifat nonsektarian karena partai merupakan wahana bagi rakyat untuk mengafiliasikan kehidupan bernegara.

Kelima, kesemua hal tadi idealnya harus dapat terwadahi dalam sebuah produk peraturan yang terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan sekelompok orang yang sempit dan sesaat. Para pembuat kebijakan harus benar-benar berorientasi pada penerjemahan partisipasi dan kepentingan rakyat dalam peraturan baik tentang partai politik maupun pemilihan umum.

Dengan demikian, partaipartai yang memang menjalankan fungsi menyalurkan aspirasi dan partisipasi rakyat akan bertahan, sedangkan partai yang hanya ingin meraih dan menempatkan orang-orang tertentu dalam lingkaran kekuasaan sebagai tujuan utama tidak akan bertahan lama. Selain itu, sebuah sistem kepartaian yang ideal bagi negeri ini akan terbentuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar