Sabtu, 13 Oktober 2012

Masyarakat dalam Transisi


Masyarakat dalam Transisi
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 12 Oktober 2012

  
SECARA berkala, Dewan Pertimbangan dan Dewan Pakar Ormas Nasional Demokrat mengadakan diskusi terbatas tentang berbagai topik yang relevan dengan perkembangan keadaan. Belum lama ini pembahasan berkisar tentang masalah sosial-budaya: sebuah telaah luas sesuai dengan kebutuhan forum.
Untuk narasumber, mereka mengundang Prof Dr Bambang Pranowo, guru besar UIN yang telah menulis banyak buku, antara lain Multidimensi Ketahanan Nasional dan Orang Jawa Jadi Teroris.

Yang dipaparkan narasumber di forum itu, misalnya dari sisi negatifnya, hasil penelitian badan-badan internasional menunjukkan bahwa kondisi sosial-budaya kita memprihatinkan karena hampir separuh penduduk masih tergolong miskin dengan tingkat pendidikan di bawah SMA. Namun, tinjauan dari sisi positifnya patut kita syukuri karena konflik sosial berangsur mereda, ekonomi tumbuh mengesankan, komitmen untuk pemberantasan korupsi terus berjalan, dan demokrasi makin mantap. Di bidang pendidikan, prestasi remaja di forum-forum internasional menggembirakan dan budaya kreatif serta inovatif mereka meningkat.

Mengenai masalah keagamaan yang masih sering menimbulkan persoalan di masyarakat, faktanya kita ini bukan negara sekuler dan masyarakat bersifat religius. Itu menjelaskan mengapa kericuhan yang terjadi tidak pernah menjadi-jadi. Menjelang penutup diskusi, Bambang Pranowo sambil lalu menyebut sikap pergaulan di sebagian masyarakat kita yang prinsipnya ngalah, ngalih, (ngadoh), dan ngamuk. Dalam pergaulan antarsesama, orang memilih me-ngalah dengan merendahkan diri. Kalau tidak berhasil, ngalih atau menghindari. (Menurut penulis, sebagian memilih ngadoh yang artinya menjauh). Kalau semua gagal, baru terjadi amok atau amuk.

Gonjang-Ganjing Peradaban

Seperti ditegaskan dalam buku futurolog Alvin Toffler, The Third Wave, yang terbit lebih dari tiga dasawarsa lalu, masyarakat dunia mengalami gonjang-ganjing karena perubahan peradaban. Revolusi Industri, misalnya, yang mulai di Eropa Barat dan Amerika menjelang akhir abad ke-18 dan abad ke-19, dan diawali dengan penemuan mesin uap, menciptakan kehidupan baru berkat pemakaian sistem energi. Pemakaian teknologi merambah berbagai kelompok masyarakat; termasuk yang primitif, yang mengandalkan penghidupan dari berburu dan menangkap ikan dengan berpindah-pindah tempat, ataupun masyarakat petani yang hidup menetap.

Seiring dengan perubahan tersebut, struktur sosial pun berubah karena bangkitnya masyarakat industri. Ikatan keluarga tidak seerat dahulu.
Keluarga besar, yang dulunya diperlukan untuk menjaga kelangsungan penghidupan, tidak lagi dirasakan perlu karena masyarakat mengalihkan kebutuhan akan tenaga manusia ke tenaga mesin. Struktur kekeluargaan pun berubah. Demikian pula struktur kemasyarakatannya.

Belum selesai dengan perkembangan itu, datang gelombang ketiga, The Third Wave, yang membawa abad informasi. Kemajuan teknologi memungkinkan informasi dari berbagai penjuru beredar lalu-lalang ke segenap penjuru dunia. Berbagai konsep kehidupan dan penghidupan saling memengaruhi; baik dengan tenang maupun saling berbenturan. Itulah yang sedang kita alami.
Ibaratnya, kita di Indonesia sedang memasuki `kawah candradimuka'. Suasananya campur aduk. Heterogenitas masyarakat tidak begitu saja memuluskan keinginan untuk seragam. Diperlukan dialog lama dan berkesinambungan untuk mencapai pemerataan dan saling pengertian. Mudahmudahan nantinya akan tersaring yang terbaik.

Waspadai Perubahan

Apa pun yang sedang kita alami, perubahan pasti akan terjadi. Itulah yang seharusnya kita siasati. Jangan kita menghadapi kebangkitan masyarakat global dengan kenaifan kalau bukan kebodohan. Ketika masyarakat dunia sedang berpacu untuk memenangi persaingan di berbagai bidang dengan persiapan matang, kita masih saja asyik berkubang dalam perkaraperkara yang tidak relevan lagi. Misalnya, kita berpolitik dengan cara konservatif untuk menang demi kekuasaan. Platform tidak terlalu dimengerti pemilih. Misi dan visi terkesan tumpang tindih sehingga sebenarnya tidak beda apakah masyarakat memilih partai politik yang satu atau lainnya. Tokoh-tokoh populerlah yang terutama menjadi pertimbangan. Wallahualam bagaimana selanjutnya.

Bila berbicara tentang sosialbudaya, sementara kita asyik dengan pikiran-pikiran tentang bagaimana menghadapi percaturan ekonomi global, kita mengabaikan fakta bahwa masyarakat global cenderung tidak tersekat-sekat lagi. Itu seperti kata Dr Kenichi Ohmae, penulis 100 buku yang banyak di antaranya tentang bisnis dan analisis sosial-politik; termasuk di antaranya Borderless World (1990) dan The End of the Nation-State (1995). Pada dasarnya dia berpandangan positif tentang terbentuknya masyarakat global, khususnya di bidang bisnis dan ekonomi. Menurut dia, hilangnya sekatsekat itu akan meningkatkan konsumsi masyarakat akan barang-barang yang dipasarkan. Namun, dalam pada itu, dia juga menyatakan sedang terjadi globalisasi budaya. Perubahan itu sudah mulai kelihatan pada masyarakatmasyarakat yang membuka diri terhadap multimedia.

Kalau kita bicara soal bisnis dan ekonomi semata, dunia tanpa sekat-sekat memang bisa lebih menyejahterakan. Namun, mungkin ada yang dikorbankan, yakni kehidupan sosial-budaya yang berarti jati diri bangsa. Bagaimana kita mempersiapkan diri agar globalisasi bisnis-ekonomi tidak menggerus kehidupan sosial budaya kita? Bila diabaikan, cepat atau lambat gejala seperti itu bisa merusak nasionalisme Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar