Masyarakat
dalam Transisi
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan
Redaksi Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 12 Oktober 2012
SECARA berkala, Dewan Pertimbangan dan Dewan
Pakar Ormas Nasional Demokrat mengadakan diskusi terbatas tentang berbagai
topik yang relevan dengan perkembangan keadaan. Belum lama ini pembahasan
berkisar tentang masalah sosial-budaya: sebuah telaah luas sesuai dengan
kebutuhan forum.
Untuk narasumber, mereka mengundang Prof Dr Bambang Pranowo, guru besar UIN yang telah menulis banyak buku, antara lain Multidimensi Ketahanan Nasional dan Orang Jawa Jadi Teroris.
Yang dipaparkan narasumber di forum itu,
misalnya dari sisi negatifnya, hasil penelitian badan-badan internasional
menunjukkan bahwa kondisi sosial-budaya kita memprihatinkan karena hampir
separuh penduduk masih tergolong miskin dengan tingkat pendidikan di bawah
SMA. Namun, tinjauan dari sisi positifnya patut kita syukuri karena konflik
sosial berangsur mereda, ekonomi tumbuh mengesankan, komitmen untuk
pemberantasan korupsi terus berjalan, dan demokrasi makin mantap. Di bidang
pendidikan, prestasi remaja di forum-forum internasional menggembirakan dan
budaya kreatif serta inovatif mereka meningkat.
Mengenai masalah keagamaan yang masih sering
menimbulkan persoalan di masyarakat, faktanya kita ini bukan negara sekuler
dan masyarakat bersifat religius. Itu menjelaskan mengapa kericuhan yang
terjadi tidak pernah menjadi-jadi. Menjelang penutup diskusi, Bambang Pranowo
sambil lalu menyebut sikap pergaulan di sebagian masyarakat kita yang
prinsipnya ngalah, ngalih, (ngadoh), dan ngamuk. Dalam pergaulan antarsesama,
orang memilih me-ngalah dengan merendahkan diri. Kalau tidak berhasil, ngalih
atau menghindari. (Menurut penulis, sebagian memilih ngadoh yang artinya
menjauh). Kalau semua gagal, baru terjadi amok atau amuk.
Gonjang-Ganjing
Peradaban
Seperti ditegaskan dalam buku futurolog Alvin
Toffler, The Third Wave, yang
terbit lebih dari tiga dasawarsa lalu, masyarakat dunia mengalami
gonjang-ganjing karena perubahan peradaban. Revolusi Industri, misalnya, yang
mulai di Eropa Barat dan Amerika menjelang akhir abad ke-18 dan abad ke-19,
dan diawali dengan penemuan mesin uap, menciptakan kehidupan baru berkat
pemakaian sistem energi. Pemakaian teknologi merambah berbagai kelompok
masyarakat; termasuk yang primitif, yang mengandalkan penghidupan dari
berburu dan menangkap ikan dengan berpindah-pindah tempat, ataupun masyarakat
petani yang hidup menetap.
Seiring dengan perubahan tersebut, struktur
sosial pun berubah karena bangkitnya masyarakat industri. Ikatan keluarga
tidak seerat dahulu.
Keluarga besar, yang dulunya diperlukan untuk menjaga kelangsungan penghidupan, tidak lagi dirasakan perlu karena masyarakat mengalihkan kebutuhan akan tenaga manusia ke tenaga mesin. Struktur kekeluargaan pun berubah. Demikian pula struktur kemasyarakatannya.
Belum selesai dengan perkembangan itu, datang
gelombang ketiga, The Third Wave, yang membawa abad informasi. Kemajuan
teknologi memungkinkan informasi dari berbagai penjuru beredar lalu-lalang ke
segenap penjuru dunia. Berbagai konsep kehidupan dan penghidupan saling
memengaruhi; baik dengan tenang maupun saling berbenturan. Itulah yang sedang
kita alami.
Ibaratnya, kita di Indonesia sedang memasuki `kawah candradimuka'. Suasananya campur aduk. Heterogenitas masyarakat tidak begitu saja memuluskan keinginan untuk seragam. Diperlukan dialog lama dan berkesinambungan untuk mencapai pemerataan dan saling pengertian. Mudahmudahan nantinya akan tersaring yang terbaik.
Waspadai Perubahan
Apa pun yang sedang kita alami, perubahan
pasti akan terjadi. Itulah yang seharusnya kita siasati. Jangan kita
menghadapi kebangkitan masyarakat global dengan kenaifan kalau bukan
kebodohan. Ketika masyarakat dunia sedang berpacu untuk memenangi persaingan
di berbagai bidang dengan persiapan matang, kita masih saja asyik berkubang
dalam perkaraperkara yang tidak relevan lagi. Misalnya, kita berpolitik
dengan cara konservatif untuk menang demi kekuasaan. Platform tidak terlalu dimengerti pemilih. Misi dan visi terkesan
tumpang tindih sehingga sebenarnya tidak beda apakah masyarakat memilih
partai politik yang satu atau lainnya. Tokoh-tokoh populerlah yang terutama
menjadi pertimbangan. Wallahualam bagaimana selanjutnya.
Bila berbicara tentang sosialbudaya, sementara
kita asyik dengan pikiran-pikiran tentang bagaimana menghadapi percaturan
ekonomi global, kita mengabaikan fakta bahwa masyarakat global cenderung
tidak tersekat-sekat lagi. Itu seperti kata Dr Kenichi Ohmae, penulis 100
buku yang banyak di antaranya tentang bisnis dan analisis sosial-politik;
termasuk di antaranya Borderless World
(1990) dan The End of the
Nation-State (1995). Pada dasarnya dia berpandangan positif tentang
terbentuknya masyarakat global, khususnya di bidang bisnis dan ekonomi. Menurut
dia, hilangnya sekatsekat itu akan meningkatkan konsumsi masyarakat akan
barang-barang yang dipasarkan. Namun, dalam pada itu, dia juga menyatakan
sedang terjadi globalisasi budaya. Perubahan itu sudah mulai kelihatan pada
masyarakatmasyarakat yang membuka diri terhadap multimedia.
Kalau kita bicara soal bisnis dan ekonomi
semata, dunia tanpa sekat-sekat memang bisa lebih menyejahterakan. Namun,
mungkin ada yang dikorbankan, yakni kehidupan sosial-budaya yang berarti jati
diri bangsa. Bagaimana kita mempersiapkan diri agar globalisasi
bisnis-ekonomi tidak menggerus kehidupan sosial budaya kita? Bila diabaikan,
cepat atau lambat gejala seperti itu bisa merusak nasionalisme Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar