Ekosistem dan
Keserakahan Manusia
Supriyadi ; Pengamat
Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 12 Oktober 2012
Dalam filsafat naturalisme
yang dikembangkan oleh JJ Rousseau, pada dasarnya manusia itu dalam kondisi
alamiahnya adalah sama dan tidak terjadi perkelahian. Pada kondisi tersebut,
justru manusia itu saling bekerja sama dalam rangka menunjukkan eksistensinya
di dunia menghadapi buasnya alam. Setiap manusia harus menjaga diri dalam
menghadapi tantangan alam. Kenyataan ini membuat solidaritas terbangun
sehingga manusia sadar untuk membentuk organisasi sosial guna memungkinkan
manusia bisa mengimbangi alam.
Sementara itu, dalam
kacamata agama (Islam), seluruh alam ini diciptakan untuk diolah manusia guna
diambil manfaatnya secara teratur, berpola, dan memungkinkan adanya
kemaslahatan bagi manusia dan alam. Dengan demikian, alam merupakan
persediaan kehidupan bagi manusia. Akan tetapi, agama juga benar-benar mengecam
pengolahan alam yang secara berlebihan (tidak teratur) sehingga mengakibatkan
banyak kerusakan (bencana alam).
Berbagai teori di atas pada
dasarnya adalah uraian bahwa hubungan manusia dengan alam hendaknya dijalin
atas dasar keseimbangan. Meskipun alam itu buas dan cukup kejam terhadap
manusia - jika terjadi suatu bencana - tetapi alam justru menyediakan
berbagai fasilitasnya untuk kelangsungan hidup manusia. Dualisme wajah alam
merupakan jawaban bagi manusia untuk bertindak terhadap alam.
Dalam hal ini, ada dua
pihak, yakni manusia dan alam. Pihak manusia ini hanya mencakup semua manusia
di dunia, tanpa mengenal ras, agama, suku, maupun keanekaragaman kulturnya.
Di pihak lain, alam mencakup seluruh ekosistem dunia selain manusia, baik itu
spesies hewan, tumbuhan, air, udara, tanah, dan lain sebagainya. Dengan
menggunakan berbagai teori di atas, manusia memang harus menghadapi kebuasan
alam yang di balik kebuasan itu adalah persediaan atau fasilitas bagi
kelangsungan hidup (eksistensi) manusia.
Dengan begitu, terjadi
simbiosis saling menguntungkan. Di antara keduanya, terjadi hubungan ekologi
yang seharusnya bisa saling menguatkan dan saling menguntungkan. Pihak
manusia yang aktif dan pihak alam yang pasif, sebenarnya bisa diarahkan pada
pelestarian alam. Jika kondisi alam terlestarikan (terawat, terpelihara,
terlindungi), maka eksistensi spesies manusia juga dapat terlangsungkan
secara harmonis.
Yang menjadi persoalan,
manusia itu beraneka ragam. Mereka dianugerahi otak, nafsu, dan perasaan.
Karena hal itu, di sisi lain manusia juga ada manusia yang serakah. Manusia
yang serakah inilah yang pada gilirannya menjadi pihak trouble maker.
Eksploitasi alam dilakukan secara besar-besaran demi kepentingan semata.
Mereka berbuat demikian tanpa mempertimbangkan eksistensi alam yang juga akan
berefek pada eksistensi manusia generasi berikutnya hingga generasi akhir
masa.
Benar apa yang dikatakan
oleh Mahatma Gandi bahwa sebenarnya alam memang sudah sangat cukup
menyediakan segala kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, kecuali bagi
mereka yang serakah. Manusia yang serakah tidak akan pernah merasa
terpuaskan, tidak akan pernah merasa cukup sehingga selalu haus dalam
menginginkan segala sesuatu yang lebih dari sekadar alam yang ada. Akhirnya,
eksploitasi besar-besaran terhadap alam dilakukan sedemikian rupa, yang
berakibat pada kerusakan dan bencana alam.
Keserakahan manusia justru
semakin terlihat jelas ketika efeknya menjadi bencana, seperti banjir,
kebakaran hutan, dan tanah longsor. Tidak jarang pula dari bencana alam yang
terjadi dari waktu ke waktu juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit.
Tidak hanya itu, spesies hewan juga semakin terdesak habitatnya. Flora dan
fauna sudah banyak yang punah sehingga kemiskinan alam pun menjadi persoalan
baru yang muncul.
Bisa pula disaksikan, sudah
berapa gunung di sekitar pantura yang lenyap dijadikan pabrik semen. Pabrik
semen dengan dalih misi pembangunan peradaban, justru memakan korban yang
sebenarnya sangat mengancam. Di sekitarnya, kekeringan menjadi problem sosial
tersendiri ketika musim kemarau, air yang jernih menjadi tercemar karena
limbah pabrik, serta pepohonan tidak dapat tumbuh secara hijau.
Fakta-fakta tersebut
seharunya menjadi bahan refleksi bagi umat manusia. Memang benar bahwa
manusia telah berhasil menghadapi serta mengimbangi buasnya alam, dan alam
pun dijadikan fasilitas yang dapat menjadi sandaran kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, kebuasan alam tersebut juga harus diwaspadai karena bencana alam
yang ditimbulkan dari ulah keserakahan manusia, sewaktu-waktu menjadi ancaman
serius. Selain mengancam eksistensi alam, yang lebih serius adalah mengancam
eksistensi umat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, perlu
adanya kesadaran yang direalisasikan dengan aplikasi dan implementasi gerakan
hijau. Gerakan hijau tidak serta merta hanya memelihara alam secara sepihak,
tetapi pada dasarnya juga menjadi faktor penentu eksistensi umat manusia.
Bumi dengan persediaan alamnya adalah fasilitas bagi manusia untuk berpijak,
hidup, dan menjadi khalifah (dalam perspektif Islam), oleh karenanya tidak
seharusnya memperlakukan bumi dan alam dengan sewenang-wenang dengan menuruti
nafsu keserakahan.
Manusia adalah khalifah, yang pada hakikatnya
menjadi pemimpin dalam mengoperasikan dan mengambil manfaat dari alam dengan
memerhatikan faktor eksistensi alam dan manusia generasi berikutnya.
Keseimbangan antara alam dan manusialah yang pada dasarnya mampu menciptakan
keberlangsungan kehidupan manusia dan alam secara harmonis. Namun demikian,
manusia adalah aktif dan alam adalah pasif. Untuk itu, di pihak manusialah
tangan kekhalifahan digantungkan. Yang terpenting, faktor keseimbangan
ekosistem senantiasa dijaga agar terjadi hubungan ekologis yang harmonis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar