Sabtu, 13 Oktober 2012

Ekosistem dan Keserakahan Manusia


Ekosistem dan Keserakahan Manusia
Supriyadi ;  Pengamat Sosial pada Yayasan Ali Maksum, Yogyakarta
SUARA KARYA, 12 Oktober 2012


Dalam filsafat naturalisme yang dikembangkan oleh JJ Rousseau, pada dasarnya manusia itu dalam kondisi alamiahnya adalah sama dan tidak terjadi perkelahian. Pada kondisi tersebut, justru manusia itu saling bekerja sama dalam rangka menunjukkan eksistensinya di dunia menghadapi buasnya alam. Setiap manusia harus menjaga diri dalam menghadapi tantangan alam. Kenyataan ini membuat solidaritas terbangun sehingga manusia sadar untuk membentuk organisasi sosial guna memungkinkan manusia bisa mengimbangi alam.
Sementara itu, dalam kacamata agama (Islam), seluruh alam ini diciptakan untuk diolah manusia guna diambil manfaatnya secara teratur, berpola, dan memungkinkan adanya kemaslahatan bagi manusia dan alam. Dengan demikian, alam merupakan persediaan kehidupan bagi manusia. Akan tetapi, agama juga benar-benar mengecam pengolahan alam yang secara berlebihan (tidak teratur) sehingga mengakibatkan banyak kerusakan (bencana alam).
Berbagai teori di atas pada dasarnya adalah uraian bahwa hubungan manusia dengan alam hendaknya dijalin atas dasar keseimbangan. Meskipun alam itu buas dan cukup kejam terhadap manusia - jika terjadi suatu bencana - tetapi alam justru menyediakan berbagai fasilitasnya untuk kelangsungan hidup manusia. Dualisme wajah alam merupakan jawaban bagi manusia untuk bertindak terhadap alam.
Dalam hal ini, ada dua pihak, yakni manusia dan alam. Pihak manusia ini hanya mencakup semua manusia di dunia, tanpa mengenal ras, agama, suku, maupun keanekaragaman kulturnya. Di pihak lain, alam mencakup seluruh ekosistem dunia selain manusia, baik itu spesies hewan, tumbuhan, air, udara, tanah, dan lain sebagainya. Dengan menggunakan berbagai teori di atas, manusia memang harus menghadapi kebuasan alam yang di balik kebuasan itu adalah persediaan atau fasilitas bagi kelangsungan hidup (eksistensi) manusia.
Dengan begitu, terjadi simbiosis saling menguntungkan. Di antara keduanya, terjadi hubungan ekologi yang seharusnya bisa saling menguatkan dan saling menguntungkan. Pihak manusia yang aktif dan pihak alam yang pasif, sebenarnya bisa diarahkan pada pelestarian alam. Jika kondisi alam terlestarikan (terawat, terpelihara, terlindungi), maka eksistensi spesies manusia juga dapat terlangsungkan secara harmonis.
Yang menjadi persoalan, manusia itu beraneka ragam. Mereka dianugerahi otak, nafsu, dan perasaan. Karena hal itu, di sisi lain manusia juga ada manusia yang serakah. Manusia yang serakah inilah yang pada gilirannya menjadi pihak trouble maker. Eksploitasi alam dilakukan secara besar-besaran demi kepentingan semata. Mereka berbuat demikian tanpa mempertimbangkan eksistensi alam yang juga akan berefek pada eksistensi manusia generasi berikutnya hingga generasi akhir masa.
Benar apa yang dikatakan oleh Mahatma Gandi bahwa sebenarnya alam memang sudah sangat cukup menyediakan segala kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan manusia, kecuali bagi mereka yang serakah. Manusia yang serakah tidak akan pernah merasa terpuaskan, tidak akan pernah merasa cukup sehingga selalu haus dalam menginginkan segala sesuatu yang lebih dari sekadar alam yang ada. Akhirnya, eksploitasi besar-besaran terhadap alam dilakukan sedemikian rupa, yang berakibat pada kerusakan dan bencana alam.
Keserakahan manusia justru semakin terlihat jelas ketika efeknya menjadi bencana, seperti banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor. Tidak jarang pula dari bencana alam yang terjadi dari waktu ke waktu juga memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Tidak hanya itu, spesies hewan juga semakin terdesak habitatnya. Flora dan fauna sudah banyak yang punah sehingga kemiskinan alam pun menjadi persoalan baru yang muncul.
Bisa pula disaksikan, sudah berapa gunung di sekitar pantura yang lenyap dijadikan pabrik semen. Pabrik semen dengan dalih misi pembangunan peradaban, justru memakan korban yang sebenarnya sangat mengancam. Di sekitarnya, kekeringan menjadi problem sosial tersendiri ketika musim kemarau, air yang jernih menjadi tercemar karena limbah pabrik, serta pepohonan tidak dapat tumbuh secara hijau.
Fakta-fakta tersebut seharunya menjadi bahan refleksi bagi umat manusia. Memang benar bahwa manusia telah berhasil menghadapi serta mengimbangi buasnya alam, dan alam pun dijadikan fasilitas yang dapat menjadi sandaran kehidupan umat manusia. Akan tetapi, kebuasan alam tersebut juga harus diwaspadai karena bencana alam yang ditimbulkan dari ulah keserakahan manusia, sewaktu-waktu menjadi ancaman serius. Selain mengancam eksistensi alam, yang lebih serius adalah mengancam eksistensi umat manusia itu sendiri.
Dengan demikian, perlu adanya kesadaran yang direalisasikan dengan aplikasi dan implementasi gerakan hijau. Gerakan hijau tidak serta merta hanya memelihara alam secara sepihak, tetapi pada dasarnya juga menjadi faktor penentu eksistensi umat manusia. Bumi dengan persediaan alamnya adalah fasilitas bagi manusia untuk berpijak, hidup, dan menjadi khalifah (dalam perspektif Islam), oleh karenanya tidak seharusnya memperlakukan bumi dan alam dengan sewenang-wenang dengan menuruti nafsu keserakahan.
Manusia adalah khalifah, yang pada hakikatnya menjadi pemimpin dalam mengoperasikan dan mengambil manfaat dari alam dengan memerhatikan faktor eksistensi alam dan manusia generasi berikutnya. Keseimbangan antara alam dan manusialah yang pada dasarnya mampu menciptakan keberlangsungan kehidupan manusia dan alam secara harmonis. Namun demikian, manusia adalah aktif dan alam adalah pasif. Untuk itu, di pihak manusialah tangan kekhalifahan digantungkan. Yang terpenting, faktor keseimbangan ekosistem senantiasa dijaga agar terjadi hubungan ekologis yang harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar