Membangun
Mentalitas Antikorupsi
Ari Kristianawati ; Guru Sman 1 Sumberlawang, Sragen
|
SINAR
HARAPAN, 10 Oktober 2012
Prof Koentjaraningrat berpuluh-puluh tahun
yang lalu melalui studi antropososial berhasil memetakan karakter (mentalitas)
masyarakat. Mentalitas masyarakat terbelah menjadi dua bagian (kluster) antara
yang positif dalam membangun peradaban dengan yang merusak norma sosial.
Analisis Prof Koentjaraningrat terumuskan
dalam buku berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.
Dalam buku yang menjadi acuan wajib mahasiswa
yang menekuni studi kebudayaan dan antropologi tersebut disebutkan beberapa
elemen mentalitas yang menjadi "pendorong" praktik korupsi dan
penyalahgunaan kekuasaan.
Mentalitas itu adalah suka menerabas, cari
untung sendiri, jalan pintas, dan sebagainya. Mentalitas masyarakat yang
memiliki anasir negatif tidak sepenuhnya disebabkan oleh realitas sosial yang
aktual namun terkonstruksi oleh dinamika sejarah masyarakat.
Pramoedya Ananta Toer dalam riset budaya yang
dibukukan dengan judul Korupsi,
mengemukakan sebuah kenyataan bahwa mentalitas korupsi dibangun oleh sistem
kekuasaan yang feodalistik, otoritarian, dan kolonialistik. Korupsi telah
menjadi budaya pada era kerajaan periode kekuasaan agraris yang diperparah oleh
praktik kolonialisme yang koruptif yang disponsori oleh VOC.
Korupsi menjadi fakta sejarah yang tidak
terbantahkan dalam penampang sosial masyarakat yang timpang dan tidak adil.
Sejarah masyarakat yang tidak mengalami percepatan watak corak produksi, namun
mengalami pemotongan sejak fase feodalisme sosial dengan kolonialisme Belanda,
mendukung proses pelanggengan korupsi di seluruh struktur kekuasaan dan di
segala dinamika sosial masyarakat.
Korupsi dilegitimasi sebagai bentuk kepatuhan
sosial di lingkungan birokrasi kekuasaan yang sifatnya patrimonial. Korupsi
menjadi alat akumulasi kapital di era Orde Lama dan semakin subur di zaman Orde
Baru (Orba).
Wajah korupsi di era Orba jelas konglomerasi
yang dibangun melalui surplus subsidi anggaran negara fase oil boom pada era
70-an. Era Oil Boom terjadi saat produksi minyah mentah Indonesia melimpah ruah
dan surplusnya digunakan untuk membangun imperium bisnis istana dan kroninya
(George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, LKIS).
Korupsi di Indonesia seolah mengalami
pembenaran dan dibiarkan oleh legalitas moral
semu (the pseudo morality).
Masyarakat dibiasakan oleh sistem yang tidak
adil untuk membiarkan korupsi yang dilakukan pemangku kebijakan kekuasaan namun
masyarakat diprovokasi untuk mengekspresikan kemarahan sosialnya atas praktik
kriminalitas kelas teri.
Permisif
Profesor Syed Husein Alatas, sosiolog yang
memiliki skema analisis dan aktif meneliti kasus korupsi pernah membuat
"tesis" yang disebut sosiologi korupsi. Menurut Prof Alatas, korupsi
yang menggerogoti ketahanan ekonomi dan stabilitas anggaran pembangunan disebabkan
oleh motivasi subjektif birokratik.
Motivasi korupsi ada yang dilandasi oleh
keserakahan (corruption by greedy)
atau pula didasari oleh kebutuhan karena minimnya gaji aparatur negara (corruption by needed). Korupsi tersebut
menjadi perilaku kleptomania yang acap kali tidak tersentuh hukum dan regulasi
yang ada. Siasat politik menghindari sangkaan korupsi dan juga jerat sanksi
hukum dilakukan dengan berbagai modus operandi yang semakin cerdas dan licin.
Mentalitas yang membiarkan atau permisif terhadap
praktik korupsi juga tumbuh subur di tengah masyarakat. Masyarakat lebih
menghormati mereka yang secara strata sosial-ekonomi mapan meskipun didapatkan
dengan perilaku koruptif dibanding dengan mereka yang mengedepankan kehidupan
yang jujur dan konsisten dalam integritas pribadi.
Dunia pendidikan yang menjadi
"benteng" perlindungan dan pengembangan moral serta norma kejujuran,
keadilan, kebenaran justru juga menjadi "sarang" korupsi yang
dibiakkan oleh birokrasi pendidikan. Korupsi di dunia pendidikan berdampak
kronis bagi penggelembungan anggaran dan mahalnya biaya pendidikan. Itu karena
logika korupsi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dunia pendidikan yang idealnya untuk
membangun moralitas dan mentalitas antikorupsi, justru menjadi lahan subur
tumbuhnya sikap dan mentalitas koruptif dalam segala bentuk serta modus
operandi.
Membangun Mentalitas
Untuk menuntaskan praktik korupsi tidaklah
bisa dilakukan dengan agenda aksi yang sifatnya represif, preventif atau
kuratif. Namun harus dilakukan dengan membangun skema edukasi publik
antikorupsi.
Pendidikan menjadi matra penting
pemberantasan korupsi melalui fungsi sosiologisnya. Pendidikan meniscayakan
masyarakat untuk memahami apa yang terdefinisi sebagai korupsi, mengenal modus
operandi korupsi, dan bersikap untuk antikorupsi. Pendidikan menjadi alat
sosial untuk membentuk karakter masyarakat—individu dan kelompok—yang sehat dan
memiliki akuntabilitas sosial.
Pendidikan yang mumpuni membangun mentalitas
antikorupsi bagi siswa dan masyarakat meniscayakan beberapa hal di antaranya,
pertama, mengembangkan materi ajar antikorupsi dari dimensi nilai filsafat,
metodologi, dan masterplan pemberantasan korupsi. Materi ajar antikorupsi
haruslah bersifat aktual, material, dan bisa terbaca menjadi petunjuk sikap
nyata antikorupsi dalam bentuk tindakan sosial.
Kedua, mampu membentuk norma baru yang tegas
antikorupsi dan norma yang sangat mendukung apa yang disebut bahasan keadilan
serta keberpihakan publik.
Ketiga, mampu menjadi instrumen pendorong
gerakan sosial antikorupsi diberbagai lini kehidupan baik di dalam birokrasi
kekuasaan maupun di luar birokrasi kekuasaan. Pendidikan harus menjadi garda
depan dalam internalisasi nilai baru masyarakat yang tidak suka menerabas atau
memanfaatkan relasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar