Jumat, 12 Oktober 2012

Membangun Mentalitas Antikorupsi


Membangun Mentalitas Antikorupsi
Ari Kristianawati ;  Guru Sman 1 Sumberlawang, Sragen
SINAR HARAPAN, 10 Oktober 2012



Prof Koentjaraningrat berpuluh-puluh tahun yang lalu melalui studi antropososial berhasil memetakan karakter (mentalitas) masyarakat. Mentalitas masyarakat terbelah menjadi dua bagian (kluster) antara yang positif dalam membangun peradaban dengan yang merusak norma sosial.

Analisis Prof Koentjaraningrat terumuskan dalam buku berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan.

Dalam buku yang menjadi acuan wajib mahasiswa yang menekuni studi kebudayaan dan antropologi tersebut disebutkan beberapa elemen mentalitas yang menjadi "pendorong" praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.

Mentalitas itu adalah suka menerabas, cari untung sendiri, jalan pintas, dan sebagainya. Mentalitas masyarakat yang memiliki anasir negatif tidak sepenuhnya disebabkan oleh realitas sosial yang aktual namun terkonstruksi oleh dinamika sejarah masyarakat.

Pramoedya Ananta Toer dalam riset budaya yang dibukukan dengan judul Korupsi, mengemukakan sebuah kenyataan bahwa mentalitas korupsi dibangun oleh sistem kekuasaan yang feodalistik, otoritarian, dan kolonialistik. Korupsi telah menjadi budaya pada era kerajaan periode kekuasaan agraris yang diperparah oleh praktik kolonialisme yang koruptif yang disponsori oleh VOC.

Korupsi menjadi fakta sejarah yang tidak terbantahkan dalam penampang sosial masyarakat yang timpang dan tidak adil. Sejarah masyarakat yang tidak mengalami percepatan watak corak produksi, namun mengalami pemotongan sejak fase feodalisme sosial dengan kolonialisme Belanda, mendukung proses pelanggengan korupsi di seluruh struktur kekuasaan dan di segala dinamika sosial masyarakat.

Korupsi dilegitimasi sebagai bentuk kepatuhan sosial di lingkungan birokrasi kekuasaan yang sifatnya patrimonial. Korupsi menjadi alat akumulasi kapital di era Orde Lama dan semakin subur di zaman Orde Baru (Orba).

Wajah korupsi di era Orba jelas konglomerasi yang dibangun melalui surplus subsidi anggaran negara fase oil boom pada era 70-an. Era Oil Boom terjadi saat produksi minyah mentah Indonesia melimpah ruah dan surplusnya digunakan untuk membangun imperium bisnis istana dan kroninya (George Junus Aditjondro, Korupsi Kepresidenan, LKIS).

Korupsi di Indonesia seolah mengalami pembenaran dan dibiarkan oleh legalitas moral 
semu (the pseudo morality).

Masyarakat dibiasakan oleh sistem yang tidak adil untuk membiarkan korupsi yang dilakukan pemangku kebijakan kekuasaan namun masyarakat diprovokasi untuk mengekspresikan kemarahan sosialnya atas praktik kriminalitas kelas teri.

Permisif

Profesor Syed Husein Alatas, sosiolog yang memiliki skema analisis dan aktif meneliti kasus korupsi pernah membuat "tesis" yang disebut sosiologi korupsi. Menurut Prof Alatas, korupsi yang menggerogoti ketahanan ekonomi dan stabilitas anggaran pembangunan disebabkan oleh motivasi subjektif birokratik.

Motivasi korupsi ada yang dilandasi oleh keserakahan (corruption by greedy) atau pula didasari oleh kebutuhan karena minimnya gaji aparatur negara (corruption by needed). Korupsi tersebut menjadi perilaku kleptomania yang acap kali tidak tersentuh hukum dan regulasi yang ada. Siasat politik menghindari sangkaan korupsi dan juga jerat sanksi hukum dilakukan dengan berbagai modus operandi yang semakin cerdas dan licin.

Mentalitas yang membiarkan atau permisif terhadap praktik korupsi juga tumbuh subur di tengah masyarakat. Masyarakat lebih menghormati mereka yang secara strata sosial-ekonomi mapan meskipun didapatkan dengan perilaku koruptif dibanding dengan mereka yang mengedepankan kehidupan yang jujur dan konsisten dalam integritas pribadi.

Dunia pendidikan yang menjadi "benteng" perlindungan dan pengembangan moral serta norma kejujuran, keadilan, kebenaran justru juga menjadi "sarang" korupsi yang dibiakkan oleh birokrasi pendidikan. Korupsi di dunia pendidikan berdampak kronis bagi penggelembungan anggaran dan mahalnya biaya pendidikan. Itu karena logika korupsi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Dunia pendidikan yang idealnya untuk membangun moralitas dan mentalitas antikorupsi, justru menjadi lahan subur tumbuhnya sikap dan mentalitas koruptif dalam segala bentuk serta modus operandi.

Membangun Mentalitas

Untuk menuntaskan praktik korupsi tidaklah bisa dilakukan dengan agenda aksi yang sifatnya represif, preventif atau kuratif. Namun harus dilakukan dengan membangun skema edukasi publik antikorupsi.

Pendidikan menjadi matra penting pemberantasan korupsi melalui fungsi sosiologisnya. Pendidikan meniscayakan masyarakat untuk memahami apa yang terdefinisi sebagai korupsi, mengenal modus operandi korupsi, dan bersikap untuk antikorupsi. Pendidikan menjadi alat sosial untuk membentuk karakter masyarakat—individu dan kelompok—yang sehat dan memiliki akuntabilitas sosial.

Pendidikan yang mumpuni membangun mentalitas antikorupsi bagi siswa dan masyarakat meniscayakan beberapa hal di antaranya, pertama, mengembangkan materi ajar antikorupsi dari dimensi nilai filsafat, metodologi, dan masterplan pemberantasan korupsi. Materi ajar antikorupsi haruslah bersifat aktual, material, dan bisa terbaca menjadi petunjuk sikap nyata antikorupsi dalam bentuk tindakan sosial.

Kedua, mampu membentuk norma baru yang tegas antikorupsi dan norma yang sangat mendukung apa yang disebut bahasan keadilan serta keberpihakan publik.

Ketiga, mampu menjadi instrumen pendorong gerakan sosial antikorupsi diberbagai lini kehidupan baik di dalam birokrasi kekuasaan maupun di luar birokrasi kekuasaan. Pendidikan harus menjadi garda depan dalam internalisasi nilai baru masyarakat yang tidak suka menerabas atau memanfaatkan relasi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar