KPK-Polri
Harus “Out of The Box”
Joko Wahyono ; Peneliti di Center for Indonesian
Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
SINAR
HARAPAN, 10 Oktober 2012
Silang sengkarut ketegangan hubungan
KPK-Polri yang belakangan banyak disorot oleh media massa kini telah menemukan
titik reda. Setelah beberapa hari dinilai absen, presiden hadir menangkap
aspirasi dan memenuhi ekspektasi publik secara cerdas dan proporsional.
Meski agak terlambat, kehadiran presiden
sebagai penengah dan problem solver bagi pertikaian antardua lembaga penegak
hukum tersebut patut kita apresiasi. Pemerintah benar-benar mendengar dan
menjalankan amanah rakyat dalam jihad melawan korupsi.
Hal ini sekaligus menepis dugaan sebagian
kalangan yang sebelumnya apriori terhadap pemerintah yang sulit menangkap
masukan terkait dinamika yang terjadi di masyarakat dan di kalangan aktivis
antikorupsi.
Kehadiran pemerintah di tengah perseteruan
KPK-Polri kali ini bukan dalam arti simbolik atau karikatif yang hanya
berpidato normatif semata. Bukan pula untuk memihak atau memenangkan salah satu
lembaga penegak hukum tersebut.
Melainkan memastikan agar KPK-Polri bekerja
secara profesional dan pemerintah berperan aktif memfasilitasi agar sistem dan
mekanisme pemberantasan korupsi berjalan sesuai harapan publik.
Seperti jamak diketahui, dua lembaga ini
adalah pilar penting yang kehadirannya tidak mungkin dinafikkan sebagai tumpuan
rakyat untuk memberantas korupsi.
Perseteruan KPK-Polri adalah kontra produktif
dan merugikan bagi upaya memburu rayap dan tikus di negara ini. Untuk itu,
pemerintah menetapkan beberapa poin solusi agar perseteruan tersebut berakhir.
Poin Penting
Pertama, penanganan kasus korupsi simulator
SIM diserahkan kepada KPK. Hal ini senada dengan tuntutan publik yang
mengkhawatirkan akan terjadi benturan kepentingan (conflict of interest) jika
kasus korupsi yang melibatkan personil Polri ditangani oleh Polri sendiri.
Dualisme penyidikan harus dihentikan. Ini
merepresentasikan kepatuhan pemerintah terhadap hukum dan mengakhiri perdebatan
penafsiran UU No 30/2002 tentang KPK.
Pasalnya, UU KPK bersifat lex specialis
sehingga jelas dalam hal penyidikan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau
kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan
tersebut dihentikan (Pasal 50 Ayat 4).
Kedua, penyidik KPK dari unsur Polri harus
dikembalikan. Penarikan penyidik oleh Polri merupakan pelemahan kinerja KPK.
Sumber daya (penyidik) defisit dan KPK mengalami darurat energi di tengah
perang melawan korupsi.
Ketiga, Polri harus menghentikan “akrobat
hukum” yang penuh kejanggalan dan menghentikan proses hukum terhadap personel
kepolisian. Penangkapan penyidik KPK Kompol Novel Baswedan yang diduga
melakukan kekerasan dalam kasus pencurian sarang burung walet mengundang tanda
tanya.
Apalagi, hal itu terjadi beberapa saat seusai
pemeriksaan tersangka Irjen Pol Djoko Susilo di KPK terkait kasus korupsi
simulator SIM.
Lebih lagi, kasus yang ditimpakan kepada
mantan Kasat Serse Polda Bengkulu itu terjadi pada 2004. Wajar jika muncul
kecurigaan Polri hanya mencari alasan untuk menghambat laju penyidikan kasus
simulator SIM tersebut. Inilah kriminalisasi penyidik KPK.
Untuk itu, keempat, pemerintah meminta agar
Polri melakukan investigasi terhadap inisiatif Polda Bengkulu yang hendak
menangkap Novel. Setiap penangkapan seseorang yang terlibat kasus hukum harus
sesuai dengan SOP.
Ada surat panggilan pertama, kedua, dan
seterusnya, baru dapat dilakukan penangkapan. Jika hasil investigasi dinyatakan
benar dan memiliki dasar yang kuat (bukan rekayasa), proses hukum baru dapat
dilakukan setelah ia selesai menjalankan tugas sebagai penyidik KPK.
Inilah beberapa poin penting dari pemerintah
untuk meredam ketegangan KPK-Polri demi mengembalikan kepercayaan publik
terhadap upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Lepaskan Ego Sektoral
Kini, KPK-Polri harus berpikir “out of the
box”. Sebagai institusi serumpun dalam penegakan hukum, mereka harus keluar
dari pola pikir yang selama ini dipakai, yakni ego sektoral.
Upaya pelepasan ego sektoral merupakan
keniscayaan, karena hanya akan membawa lembaga penegak hukum menjadi agresif,
ingin berkuasa, dan menjadi superior.
Perjuangan ke arah superioritas ini tercermin
dari adanya upaya untuk memperkuat kewenangan lembaga sendiri sembari mengikis
kewenangan lembaga lain.
Imbauan pemerintah harus menjadi pemantik
bagi KPK-Polri untuk menyingkirkan egocentric righteousness, yakni merasa lebih
baik atau “superior” karena yakin benar, dan egocentric simplification, yakni
mengabaikan kompleksitas masalah dengan lebih memilih pandangan yang
simplistik.
Apa yang selama ini menjadi ego sektoral
harus dikesampingkan dan diganti dengan hubungan saling percaya. Tentu saja
pola hubungan antarlembaga penegak hukum juga harus berubah dari hubungan yang
independen menjadi interdependen.
Saling membantu menjadi kata kunci, karena
keberhasilan setiap subsistem penegakan hukum juga akan menjadi keberhasilan
bagi subsistem lain.
Pada konsep yang lebih integratif, sifat
keteraturan harus menjadi salah satu katalisator dalam mempererat hubungan
antarlembaga. Yang diperlukan saat ini adalah bagaimana KPK-Polri bisa saling
bersinergi untuk segera menyelesaikan berbagai kasus yang ada dengan baik.
Beban untuk berbenah tidak hanya ditujukan untuk Polri saja.
Pemberantasan korupsi oleh KPK saat ini belum
maksimal. KPK masih tebang pilih dalam menangani kasus korupsi. Mandeknya
kasus-kasus besar, seperti kasus Century dan Hambalang, bisa menjadi contoh.
Oleh karena itu, peristiwa ini menjadi
momentum bagi KPK-Polri untuk memperbaiki diri. Jangan sampai besarnya dukungan
masyarakat membuat mereka lalai dan mengecewakan harapan publik. Jangan sampai
momentum ini dibelokkan untuk memenuhi syahwat politik para “politikus benalu”
demi kepentingan pribadi dan golongan mereka sendiri.
Untuk itu komunikasi harus dibangun secara
sehat demi terciptanya kerangka hubungan yang lebih baik di antara sesama
penegak hukum. Mereka harus bekerja secara jujur, profesional, dan
proporsional. Di sinilah sebenarnya profesionalisme KPK-Polri diuji. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar