Melucuti
(Kebebasan) Pers
Hadi Purnama ; Dosen Ilmu
Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia
Institut Manajemen
Telkom, Bandung
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Oktober 2012
KEBEBASAN
mengekspresikan pendapat yang sudah 13 tahun dinikmati rakyat Indonesia,
pelan tapi pasti, mulai diusik. Pemberitaan media massa yang dianggap
berlebihan oleh sejumlah kalangan dianggap mulai kebablasan. Itu sebabnya
wacana mengamendemen UU Pers kembali menguat. Munculnya wacana amendemen yang
telah menuai polemik itu tentu memiliki sejumlah alasan, meski di sisi lain
menyisakan kegelisahan di banyak kalangan.
Wacana amendemen UU No 40 tentang Pers kalah
pamor di tengah hiruk-pikuk isu revisi UU KPK yang menjadi trending topic di
ruang publik saat ini. Padahal, keberadaan UU Pers yang dirancang di awal era
reformasi itu merupakan salah satu produk monumental era pemerintahan
Presiden Habibie, mengingat UU Pers telah mengakhiri periode pemberangusan
pers yang berlangsung sekitar tiga dekade. Kelahiran produk legislatif
tersebut mengawali sebuah euforia politik baru yang ditandai dengan lahirnya
ratusan media cetak baru di Tanah Air.
Namun, setelah 13 tahun ‘mengawal’ proses
demokratisasi di negeri ini, UU Pers kembali digugat dengan sejumlah alasan.
Dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sejumlah pihak (pemerintah,
DPR, dan beberapa elemen masyarakat) menyuarakan lantang rencana
mengamendemen UU Pers karena menilai praktik pers saat ini telah kebablasan.
Lebih lanjut, UU Pers yang turut memicu euforia politik di Tanah Air telah
menyulut sumbu anarkisme di tengah masyarakat, yang turut memecah belah
keharmonisan berbangsa!
Langkah mengamendemen UU Pers sekarang
bukanlah upaya pertama. Sejak diundangkan pada 23 September 1999, UU yang
memberikan hak kepada insan dan institusi pers dalam menegakkan pilar keempat
bernegara ini mengalami pasang surut. Pro dan kontra terkait dengan
keberadaan undang-undang yang melindungi institusi dan insan pers di Tanah
Air mewarnai perjalanannya selama 13 tahun terakhir.
Riak pertama yang menggugat keberadaan UU Pers
tercatat di 2003. Rencana yang diinisiasi pemerintah bersama DPR itu langsung
mendapat reaksi keras dan penolakan dari banyak kalangan, mulai praktisi
media hingga berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan kebebasan
berpendapat.
Perlawanan dari kalangan pers dan elemen
masyarakat mencuat seiring dengan munculnya wacana memasukkan kembali aturan
tentang penyen soran, pemberedelan, dan penghentian siaran oleh pemerintah.
Selain itu, pemerintah ikut campur dalam tata cara pemberian hak jawab.
Riak kedua pada 2010 justru datang dari
internal pers sendiri. Kali ini Persatuan Wartawan Indonesia yang
menginisiasi amendemen UU Pers, dengan mengangkat isu menaikkan kesejahteraan
jurnalis sebagai justifi kasi. Asumsinya, bila kesejahteraan insan pers tidak
diperjuangkan, mereka akan bertindak tidak profesional sekaligus menyalahi
kewenangan untuk kepentingan pribadi. Hal itu akan secara langsung mencederai
praktik demokratisasi dan dalam jangka pendek punya andil merontokkan pilar
keempat yang sejatinya dibangun pers.
Kotak Pandora
Apakah pers kita--pascareformasi--sudah sangat
kebablasan sehingga perlu mengamendemen UU Pers sebagai payung hukumnya? Kebebasan
yang kebablasan seolah menjadi mantra bagi mereka yang `alergi' dengan
praktik jurnalisme saat ini.
Pers yang kebablasan juga dituding sebagai
biang keladi segala hal yang negatif--diibaratkan kotak pandora yang
mengeluarkan berbagai keburukan dan malapetaka. Mulai pemberitaan yang
bombastis dan sensasional, penonjolan aspek-aspek pornografi, pemerasan,
hingga pengobar semangat kebencian dan permusuhan yang mengakibatkan
terjadinya berbagai konflik baik horizontal maupun vertikal, itu semua
bermula dari UU Pers yang memberikan kebebasan yang kebablasan.
Padahal, tanpa menafikan ekses negatif yang
muncul, keberadaan UU No 40 tentang Pers telah mengantarkan bangsa Indonesia
ke arah kehidupan bernegara yang lebih baik. Setidaknya, saat ini pers dapat
menjadi mitra rakyat untuk mengontrol dan mengingatkan pemerintah, DPR, dan
berbagai pihak yang merongrong kelanjutan demokrasi. Tidak terbayangkan bila
pers yang bebas tidak hadir, kekuatan pro otoriter dan oligarki ekonomi yang
monopolistik akan kembali berkuasa di negeri ini!
Tengok sejenak sejarah kontemporer Indonesia
yang lebih dari separuh abad, ketika pers di bawah kendali penguasa. Menjadi
fakta historis bila UU Pers yang diberlakukan sejak 1999 telah mengubah arah
jarum sejarah praktik bermedia di Indonesia. Dari semula diatur UU No 11
Tahun 1966, kemudian diperkuat lagi dengan UU Nomor 21 Tahun 1982 yang
bercirikan sistem pers otoriter menjadi pers bebas yang memberi ruang lebih
besar bagi partisipasi publik.
Lebih dari setengah abad negara kita mengalami
pemberangusan terhadap pers yang berlangsung sejak zaman kolonial, disusul di
era Orde Lama dan berlanjut hingga rezim Orde Baru. Di era pemberangusan
pers, kehidupan bernegara dan berbangsa memang lebih `stabil'. Namun,
kebebasan berpendapat sangat dibatasi.
Pengalaman sejarah itu kemudian menjadi bukti
pembelajaran tak ternilai tentang pentingnya kebebasan menyatakan pendapat,
khususnya melalui media. Sejatinya, hakhak mendasar warga negara ini telah
dijamin penuh secara konstitusional oleh Pasal 28 UUD 1945.
Terlebih, sudah menjadi konvensi sosial bila
pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari
masyarakat yang demokratis, terutama bila dikaitkan dengan kondisi bangsa
kita yang tengah didera berbagai masalah yang sangat krusial, di antaranya
dekadensi moral dan merebaknya praktik korupsi.
Tak terbayangkan cara bangsa ini mengatasi
berbagai permasalahan tanpa pers yang bebas. Jadi, atas dasar dan urgensi apa
UU No 40 tentang Pers harus diamendemen? Adakah pihak-pihak tertentu yang
mengambil keuntungan di balik rencana itu? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar