Minggu, 14 Oktober 2012

Melucuti (Kebebasan) Pers


Melucuti (Kebebasan) Pers
Hadi Purnama ;  Dosen Ilmu Komunikasi di Sekolah Komunikasi Multimedia
Institut Manajemen Telkom, Bandung
MEDIA INDONESIA, 13 Oktober 2012


KEBEBASAN mengekspresikan pendapat yang sudah 13 tahun dinikmati rakyat Indonesia, pelan tapi pasti, mulai diusik. Pemberitaan media massa yang dianggap berlebihan oleh sejumlah kalangan dianggap mulai kebablasan. Itu sebabnya wacana mengamendemen UU Pers kembali menguat. Munculnya wacana amendemen yang telah menuai polemik itu tentu memiliki sejumlah alasan, meski di sisi lain menyisakan kegelisahan di banyak kalangan.

Wacana amendemen UU No 40 tentang Pers kalah pamor di tengah hiruk-pikuk isu revisi UU KPK yang menjadi trending topic di ruang publik saat ini. Padahal, keberadaan UU Pers yang dirancang di awal era reformasi itu merupakan salah satu produk monumental era pemerintahan Presiden Habibie, mengingat UU Pers telah mengakhiri periode pemberangusan pers yang berlangsung sekitar tiga dekade. Kelahiran produk legislatif tersebut mengawali sebuah euforia politik baru yang ditandai dengan lahirnya ratusan media cetak baru di Tanah Air.

Namun, setelah 13 tahun ‘mengawal’ proses demokratisasi di negeri ini, UU Pers kembali digugat dengan sejumlah alasan. Dengan mengatasnamakan kepentingan masyarakat, sejumlah pihak (pemerintah, DPR, dan beberapa elemen masyarakat) menyuarakan lantang rencana mengamendemen UU Pers karena menilai praktik pers saat ini telah kebablasan. Lebih lanjut, UU Pers yang turut memicu euforia politik di Tanah Air telah menyulut sumbu anarkisme di tengah masyarakat, yang turut memecah belah keharmonisan berbangsa!

Langkah mengamendemen UU Pers sekarang bukanlah upaya pertama. Sejak diundangkan pada 23 September 1999, UU yang memberikan hak kepada insan dan institusi pers dalam menegakkan pilar keempat bernegara ini mengalami pasang surut. Pro dan kontra terkait dengan keberadaan undang-undang yang melindungi institusi dan insan pers di Tanah Air mewarnai perjalanannya selama 13 tahun terakhir.

Riak pertama yang menggugat keberadaan UU Pers tercatat di 2003. Rencana yang diinisiasi pemerintah bersama DPR itu langsung mendapat reaksi keras dan penolakan dari banyak kalangan, mulai praktisi media hingga berbagai elemen masyarakat yang memperjuangkan kebebasan berpendapat.

Perlawanan dari kalangan pers dan elemen masyarakat mencuat seiring dengan munculnya wacana memasukkan kembali aturan tentang penyen soran, pemberedelan, dan penghentian siaran oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah ikut campur dalam tata cara pemberian hak jawab.

Riak kedua pada 2010 justru datang dari internal pers sendiri. Kali ini Persatuan Wartawan Indonesia yang menginisiasi amendemen UU Pers, dengan mengangkat isu menaikkan kesejahteraan jurnalis sebagai justifi kasi. Asumsinya, bila kesejahteraan insan pers tidak diperjuangkan, mereka akan bertindak tidak profesional sekaligus menyalahi kewenangan untuk kepentingan pribadi. Hal itu akan secara langsung mencederai praktik demokratisasi dan dalam jangka pendek punya andil merontokkan pilar keempat yang sejatinya dibangun pers.

Kotak Pandora

Apakah pers kita--pascareformasi--sudah sangat kebablasan sehingga perlu mengamendemen UU Pers sebagai payung hukumnya? Kebebasan yang kebablasan seolah menjadi mantra bagi mereka yang `alergi' dengan praktik jurnalisme saat ini.

Pers yang kebablasan juga dituding sebagai biang keladi segala hal yang negatif--diibaratkan kotak pandora yang mengeluarkan berbagai keburukan dan malapetaka. Mulai pemberitaan yang bombastis dan sensasional, penonjolan aspek-aspek pornografi, pemerasan, hingga pengobar semangat kebencian dan permusuhan yang mengakibatkan terjadinya berbagai konflik baik horizontal maupun vertikal, itu semua bermula dari UU Pers yang memberikan kebebasan yang kebablasan.

Padahal, tanpa menafikan ekses negatif yang muncul, keberadaan UU No 40 tentang Pers telah mengantarkan bangsa Indonesia ke arah kehidupan bernegara yang lebih baik. Setidaknya, saat ini pers dapat menjadi mitra rakyat untuk mengontrol dan mengingatkan pemerintah, DPR, dan berbagai pihak yang merongrong kelanjutan demokrasi. Tidak terbayangkan bila pers yang bebas tidak hadir, kekuatan pro otoriter dan oligarki ekonomi yang monopolistik akan kembali berkuasa di negeri ini!

Tengok sejenak sejarah kontemporer Indonesia yang lebih dari separuh abad, ketika pers di bawah kendali penguasa. Menjadi fakta historis bila UU Pers yang diberlakukan sejak 1999 telah mengubah arah jarum sejarah praktik bermedia di Indonesia. Dari semula diatur UU No 11 Tahun 1966, kemudian diperkuat lagi dengan UU Nomor 21 Tahun 1982 yang bercirikan sistem pers otoriter menjadi pers bebas yang memberi ruang lebih besar bagi partisipasi publik.

Lebih dari setengah abad negara kita mengalami pemberangusan terhadap pers yang berlangsung sejak zaman kolonial, disusul di era Orde Lama dan berlanjut hingga rezim Orde Baru. Di era pemberangusan pers, kehidupan bernegara dan berbangsa memang lebih `stabil'. Namun, kebebasan berpendapat sangat dibatasi.

Pengalaman sejarah itu kemudian menjadi bukti pembelajaran tak ternilai tentang pentingnya kebebasan menyatakan pendapat, khususnya melalui media. Sejatinya, hakhak mendasar warga negara ini telah dijamin penuh secara konstitusional oleh Pasal 28 UUD 1945.

Terlebih, sudah menjadi konvensi sosial bila pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat yang demokratis, terutama bila dikaitkan dengan kondisi bangsa kita yang tengah didera berbagai masalah yang sangat krusial, di antaranya dekadensi moral dan merebaknya praktik korupsi.

Tak terbayangkan cara bangsa ini mengatasi berbagai permasalahan tanpa pers yang bebas. Jadi, atas dasar dan urgensi apa UU No 40 tentang Pers harus diamendemen? Adakah pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan di balik rencana itu?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar