Minggu, 14 Oktober 2012

Korupsi dan Sarang Penyamun


Korupsi dan Sarang Penyamun
Umbu TW Pariangu ;  Dosen Fisipol Undana, Kupang
MEDIA INDONESIA, 13 Oktober 2012



AKHIRNYA detik-detik yang ditunggu-tunggu rakyat itu datang juga. Dalam pidato 45 menit di Istana Negara, Senin (8/10) malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan sikapnya bahwa penanganan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator alat uji surat izin mengemudi (SIM) harus ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Itu langkah besar dan berani yang ditempuh Presiden di tengah makin derasnya ancaman pelemahan KPK.

Sebelumnya, Abraham Samad sempat mengancam dirinya akan mundur dari jabatan Ketua KPK jika kewenangan lembaga yang dipimpinnya terus dipereteli. Ancaman Abraham tentu saja mewakili ratusan juta rakyat yang sudah lama gusar dan mengimpikan terbitnya keadilan dari pedang hukum atas berbagai praktik maksiat korupsi. Apalagi baru-baru ini lembaga riset nirlaba Freedom House lewat laporannya berjudul Countries at the Crossroads 2012 yang dirilis di Washington DC, AS, (17/9) menilai lemahnya penegakan hukum dan maraknya korupsi antara lain merupakan penyebab melorotnya rapor demokrasi kita.

Korupsi memang sudah menjadi praktik banalitas mengerikan di negeri ini. Gunnar Myrdal (2005:267), ekonom kenamaan Swedia, menyebutnya sebagai folklor korupsi (the folklore of corruption) ketika pemberitaan korupsi yang gencar membuat korupsi akhirnya dianggap lumrah dan muskil diberantas. Itulah yang terpotret, dengan transformasi korupsi kejahatan konvensional `laci meja' ke level konspirasi melibatkan struktur politik, birokrasi, legislatif, dan dunia usaha secara sistemis dan langgeng, tak terbendung.

Apalagi pemerintah kian kehilangan daya wangsit, moralitas, dan kepekaan sosial. Institusi hukum hanya meraba-raba dalam keremangan politik dengan korupsi dan ketidakadilan terus dilembagakan. Penegakan hukum pun tersandung oleh tebang pilih. Meringkus koruptor `kelas teri', dan membiarkan koruptor kelas `mastodon' melenggang bebas, jadi mainan klasik.

Anwar Ibrahim dalam pidatonya pernah bergurau jika di China batang leher koruptor dipotong, sedangkan di Arab Saudi tangannya dipotong, di Indonesia yang dipotong dari koruptor cuma tahanannya. Ironisnya jumlah ringkusan koruptor teri malah dijadikan prestasi nasional. Padahal, itu cermin kegagalan politik negara memerangi korupsi dan menyejahterakan rakyat.

Korupsi Politik

Politik dan kekuasaan, yang oleh Hannah Arendt disebut sebagai instrumen melayani, kian menjadi alat pengendali perampokan aset dan uang negara dengan mereproduksi praktik top-hat crimes (kejahatan tingkat atas) yang terlembaga seperti dalam gurita kasus Century, Wisma Atlet, proyek Hambalang, dan ko rupsi dana infrastruktur yang menyabotase kebijakan publik untuk memperkaya diri/ kelompok.

Politisi kapital yang terlahir dari genetika partai pragmatis akan memperkuat basis karakter politi(k)si hibrida yang menghamba pada materialisme di semua elemen negara. Aktivis LSM yang harusnya setia mengawal civil society justru bermain politik praktis, birokrat sebagai agen pelayanan malah menjadi broker, pers yang mestinya menjadi pilar keempat demokrasi justru berlaku komersial pragmatis, dan sebagainya.

Jabatan-jabatan politik di legislatif dan birokrasi yang diisi kader-kader partai dijadikan lahan perburuan rente dan perluasan kekuasaan agar kaveling-kaveling ekonomi te rus terpelihara.

Menurut Robert Michels (1962) dalam `hukum besi kekuasaan'-nya, di titik itulah kekuasaan ditata sedemikian mapannya sehingga sulit digeser atau diganti karena terjadi pelembagaan demokrasi prosedural semu demi terlindunginya praktik-praktik politik tercela.

Misalnya, selain tidak maksimalnya komitmen dan keberanian, nafsu besar KPK untuk mengusut dan memenjarakan pelaku korupsi politik sering dihadang mekanisme defensif aktor politik dan negara seperti ketidakjelasan grand design nasib dan masa depan KPK terkait dengan status lembaga mereka. Tak sedikit anggota DPR yang mengatakan KPK hanyalah lembaga ad hoc yang sewaktuwaktu bisa dibubarkan. 

Dalam mekanisme ofensif lebih riil oleh kekuatan politik, khu susnya legislatif, juga terlihat manakala ada rekan mereka yang diperiksa atau dinaikkan status pemeriksaannya oleh KPK dengan serta-merta muncul ide-ide membubarkan KPK, atau upaya revisi UU KPK dengan menghilangkan fungsi penyadapan dan penuntutan hingga wacana pembentukan lembaga pengawas.

Padahal jika KPK terus dibiarkan dalam domain kewenangan abu-abu dan disfungsional seperti ini, independensi KPK dalam memberantas praktik korupsi, terutama di level pejabat, akan sulit terwujud. Kalau itu benar terjadi, ditakutkan dalam kultur sistem politik ke depan akan muncul radikalisme politik berjubah demokrasi, seperti perang saudara pascakematian Julius Caesar--yang pernah terjadi di zaman Romawi 43 SM (yang dilakukan Octavianus, Antonius dan Lepidus), dengan sirkulasi kekuasaan bermetamorfosis menjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan dan pembunuhan politik demi mengorupsi uang negara (Alatas, 1987).

Benih-benih ke arah itu pun mulai tampak seperti mengentalnya budaya oligarki, maraknya dinasti politik, hingga konfl ik laten partai yang menihilkan prinsip demokrasi hingga kapitalisasi jabatan dan bagi-bagi kue di pemerintahan.

Kompetisi politik antarpartai yang kian liberal seperti iklan politik yang kebablasan, penggunaan lembaga survei--yang mengabdi pada kapital-untuk mengatrol citra partai, pengelolaan dana kampanye yang tidak transparan, dibiarkan tanpa ada kehendak konstitusional di DPR untuk me ngaturnya.

Begitu pun biaya pemilihan pejabat publik dan parpol yang makin mahal. Sudah berulangulang ditekankan: rangkap jabatan menteri sekaligus pemimpin parpol sangat rentan membangun kepentingan yang berseberangan dengan tujuan pemerintahan. Loyalitas ganda dalam sejarah politik selalu ber ujung pada kecelakaan demokrasi dan kerugian tragis rakyat.

Itu sebabnya dikatakan, politikus tanpa loyalitas kepada negara ialah politikus busuk (a politician with no loyalty to the nation is a crook!) (Shively, Power and Choice, 1993: 46), yang mengisap darah rakyat.

Melawan Arus

Diperlukan kepekaan dan intervensi politik negara untuk menjamin trayek pemberantasan korupsi berjalan baik demi terhindarnya negara dari folklorisme korupsi. Berbagai instruksi presiden yang lahir karena sikap reaktif akan sia-sia jika tak diteruskan menjadi aksi nyata: memberikan insentif politik yang luas bagi KPK untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi politik dengan integritas kepemimpinan memadai, termasuk menjamin independensi lembaga KPK dari segi politik dan hukum, di samping menciptakan reformasi birokrasi yang diinisiasi dari istana.

Rakyat mungkin tak harus melihat presidennya seperti Jose Mujica (77), presiden Uruguay yang disebut el presidente mas pobre atau `presiden termiskin', karena menyumbangkan 90% gajinya untuk kepentingan rakyat. Rakyat cukup menyaksikan anggaran birokrasi digunakan dengan efisien dan akuntabel untuk memberikan pelayanan publik kepada rakyat serta menjauhkan aktivitas pemerintahan keseharian dari kemewahan sebagai cermin moral pengendalian diri pemerintah (Adam Smith, 1754).

Presiden memang harus berani menegakkan kepentingan rakyat dan hukum sekalipun kepentingan diri dan sekelilingnya dikorbankan. C Wright Mills dalam The Power Elite (1956:4) menegaskan kekuasaan ialah kemampuan untuk melaksanakan kemauan kendati pihak lain menentang.

Maka, Presiden termasuk politikus ialah sosok yang mesti nya mampu melawan arus kebanyakan demi menegakkan kebenaran, bukan politikus yang mudah larut dalam arus pragmatis. Politikus harus menjadi leader, yang mengarahkan negara kepada pencapaian konstitusi, bukan dealer yang penuh transaksional dan menyerahkan negara ini dalam sarang penyamun koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar