Korupsi dan
Sarang Penyamun
Umbu TW Pariangu ; Dosen Fisipol
Undana, Kupang
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Oktober 2012
AKHIRNYA detik-detik
yang ditunggu-tunggu rakyat itu datang juga. Dalam pidato 45 menit di Istana
Negara, Senin (8/10) malam, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan
sikapnya bahwa penanganan kasus dugaan korupsi dalam pengadaan simulator alat
uji surat izin mengemudi (SIM) harus ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Itu langkah besar dan berani yang ditempuh Presiden di tengah makin
derasnya ancaman pelemahan KPK.
Sebelumnya, Abraham Samad sempat mengancam
dirinya akan mundur dari jabatan Ketua KPK jika kewenangan lembaga yang
dipimpinnya terus dipereteli. Ancaman Abraham tentu saja mewakili ratusan
juta rakyat yang sudah lama gusar dan mengimpikan terbitnya keadilan dari
pedang hukum atas berbagai praktik maksiat korupsi. Apalagi baru-baru ini
lembaga riset nirlaba Freedom House
lewat laporannya berjudul Countries at
the Crossroads 2012 yang dirilis di Washington DC, AS, (17/9) menilai
lemahnya penegakan hukum dan maraknya korupsi antara lain merupakan penyebab
melorotnya rapor demokrasi kita.
Korupsi memang sudah menjadi praktik banalitas
mengerikan di negeri ini. Gunnar Myrdal (2005:267), ekonom kenamaan Swedia,
menyebutnya sebagai folklor korupsi (the
folklore of corruption) ketika pemberitaan korupsi yang gencar membuat
korupsi akhirnya dianggap lumrah dan muskil diberantas. Itulah yang
terpotret, dengan transformasi korupsi kejahatan konvensional `laci meja' ke
level konspirasi melibatkan struktur politik, birokrasi, legislatif, dan
dunia usaha secara sistemis dan langgeng, tak terbendung.
Apalagi pemerintah kian kehilangan daya
wangsit, moralitas, dan kepekaan sosial. Institusi hukum hanya meraba-raba dalam
keremangan politik dengan korupsi dan ketidakadilan terus dilembagakan.
Penegakan hukum pun tersandung oleh tebang pilih. Meringkus koruptor `kelas
teri', dan membiarkan koruptor kelas `mastodon' melenggang bebas, jadi mainan
klasik.
Anwar Ibrahim dalam pidatonya pernah bergurau
jika di China batang leher koruptor dipotong, sedangkan di Arab Saudi
tangannya dipotong, di Indonesia yang dipotong dari koruptor cuma tahanannya.
Ironisnya jumlah ringkusan koruptor teri malah dijadikan prestasi nasional.
Padahal, itu cermin kegagalan politik negara memerangi korupsi dan
menyejahterakan rakyat.
Korupsi Politik
Politik dan kekuasaan, yang oleh Hannah Arendt
disebut sebagai instrumen melayani, kian menjadi alat pengendali perampokan
aset dan uang negara dengan mereproduksi praktik top-hat crimes (kejahatan
tingkat atas) yang terlembaga seperti dalam gurita kasus Century, Wisma
Atlet, proyek Hambalang, dan ko rupsi dana infrastruktur yang menyabotase
kebijakan publik untuk memperkaya diri/ kelompok.
Politisi kapital yang terlahir dari genetika
partai pragmatis akan memperkuat basis karakter politi(k)si hibrida yang
menghamba pada materialisme di semua elemen negara. Aktivis LSM yang harusnya
setia mengawal civil society justru bermain politik praktis, birokrat sebagai
agen pelayanan malah menjadi broker, pers yang mestinya menjadi pilar keempat
demokrasi justru berlaku komersial pragmatis, dan sebagainya.
Jabatan-jabatan politik di legislatif dan
birokrasi yang diisi kader-kader partai dijadikan lahan perburuan rente dan
perluasan kekuasaan agar kaveling-kaveling ekonomi te rus terpelihara.
Menurut Robert Michels (1962) dalam `hukum
besi kekuasaan'-nya, di titik itulah kekuasaan ditata sedemikian mapannya
sehingga sulit digeser atau diganti karena terjadi pelembagaan demokrasi
prosedural semu demi terlindunginya praktik-praktik politik tercela.
Misalnya, selain tidak maksimalnya komitmen
dan keberanian, nafsu besar KPK untuk mengusut dan memenjarakan pelaku
korupsi politik sering dihadang mekanisme defensif aktor politik dan negara
seperti ketidakjelasan grand design
nasib dan masa depan KPK terkait dengan status lembaga mereka. Tak sedikit
anggota DPR yang mengatakan KPK hanyalah lembaga ad hoc yang sewaktuwaktu
bisa dibubarkan.
Dalam mekanisme ofensif lebih riil oleh kekuatan politik,
khu susnya legislatif, juga terlihat manakala ada rekan mereka yang diperiksa
atau dinaikkan status pemeriksaannya oleh KPK dengan serta-merta muncul
ide-ide membubarkan KPK, atau upaya revisi UU KPK dengan menghilangkan fungsi
penyadapan dan penuntutan hingga wacana pembentukan lembaga pengawas.
Padahal jika KPK terus dibiarkan dalam domain
kewenangan abu-abu dan disfungsional seperti ini, independensi KPK dalam
memberantas praktik korupsi, terutama di level pejabat, akan sulit terwujud. Kalau
itu benar terjadi, ditakutkan dalam kultur sistem politik ke depan akan
muncul radikalisme politik berjubah demokrasi, seperti perang saudara
pascakematian Julius Caesar--yang pernah terjadi di zaman Romawi 43 SM (yang
dilakukan Octavianus, Antonius dan Lepidus), dengan sirkulasi kekuasaan
bermetamorfosis menjadi perebutan kekuasaan melalui kekerasan dan pembunuhan
politik demi mengorupsi uang negara (Alatas, 1987).
Benih-benih ke arah itu pun mulai tampak
seperti mengentalnya budaya oligarki, maraknya dinasti politik, hingga konfl
ik laten partai yang menihilkan prinsip demokrasi hingga kapitalisasi jabatan
dan bagi-bagi kue di pemerintahan.
Kompetisi politik antarpartai yang kian
liberal seperti iklan politik yang kebablasan, penggunaan lembaga survei--yang
mengabdi pada kapital-untuk mengatrol citra partai, pengelolaan dana kampanye
yang tidak transparan, dibiarkan tanpa ada kehendak konstitusional di DPR
untuk me ngaturnya.
Begitu pun biaya pemilihan pejabat publik dan
parpol yang makin mahal. Sudah berulangulang ditekankan: rangkap jabatan
menteri sekaligus pemimpin parpol sangat rentan membangun kepentingan yang
berseberangan dengan tujuan pemerintahan. Loyalitas ganda dalam sejarah
politik selalu ber ujung pada kecelakaan demokrasi dan kerugian tragis
rakyat.
Itu sebabnya dikatakan, politikus tanpa loyalitas
kepada negara ialah politikus busuk (a
politician with no loyalty to the nation is a crook!) (Shively, Power and Choice, 1993: 46),
yang mengisap darah rakyat.
Melawan Arus
Diperlukan kepekaan dan intervensi politik
negara untuk menjamin trayek pemberantasan korupsi berjalan baik demi
terhindarnya negara dari folklorisme korupsi. Berbagai instruksi presiden
yang lahir karena sikap reaktif akan sia-sia jika tak diteruskan menjadi aksi
nyata: memberikan insentif politik yang luas bagi KPK untuk menuntaskan
kasus-kasus korupsi politik dengan integritas kepemimpinan memadai, termasuk
menjamin independensi lembaga KPK dari segi politik dan hukum, di samping
menciptakan reformasi birokrasi yang diinisiasi dari istana.
Rakyat mungkin tak harus melihat presidennya
seperti Jose Mujica (77), presiden Uruguay yang disebut el presidente mas pobre atau `presiden termiskin', karena
menyumbangkan 90% gajinya untuk kepentingan rakyat. Rakyat cukup menyaksikan
anggaran birokrasi digunakan dengan efisien dan akuntabel untuk memberikan
pelayanan publik kepada rakyat serta menjauhkan aktivitas pemerintahan
keseharian dari kemewahan sebagai cermin moral pengendalian diri pemerintah
(Adam Smith, 1754).
Presiden memang harus berani menegakkan
kepentingan rakyat dan hukum sekalipun kepentingan diri dan sekelilingnya
dikorbankan. C Wright Mills dalam The
Power Elite (1956:4) menegaskan kekuasaan ialah kemampuan untuk
melaksanakan kemauan kendati pihak lain menentang.
Maka, Presiden termasuk politikus ialah sosok
yang mesti nya mampu melawan arus kebanyakan demi menegakkan kebenaran, bukan
politikus yang mudah larut dalam arus pragmatis. Politikus harus menjadi
leader, yang mengarahkan negara kepada pencapaian konstitusi, bukan dealer
yang penuh transaksional dan menyerahkan negara ini dalam sarang penyamun
koruptor. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar