Kamis, 04 Oktober 2012

Kriminalisasi Profesi Hakim


Kriminalisasi Profesi Hakim
Binsar M Gultom ;  Dosen Pascasarjana
Universitas Hazairin Bengkulu dan Universitas Bengkulu
MEDIA INDONESIA, 04 Oktober 2012


PENCANTUMAN pemidanaan (kriminalisasi) terhadap profesi hakim dalam Rancangan Undang-Undang Mahkamah Agung (RUU MA) yang kini sedang dibahas di Komisi Hukum DPR RI bukanlah langkah menjaga wibawa lembaga peradilan dan profesionalitas hakim. Itu justru meruntuhkan independensi badan peradilan dan wibawa hakim.

Alasan itu didasarkan pada teori dan doktrin ‘kekuasaan kehakiman’ yang berlaku secara universal dan konsepsi ‘pemisahan kekuasaan’ antara kekuasaan eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudikatif (Mahkamah Agung) yang ‘melarang’ kekuasaan yudikatif (profesi hakim) diintervensi kekuasaan mana pun.

Oleh karena itu, dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) kekuasaan kehakiman, independensi peradilan dan independensi hakim merupakan unsur yang paling hakiki dan esensial serta merupakan syarat pokok bagi terwujudnya cita suatu negara hukum (rechsstaat). Hal itu sesuai dengan amanat Pasal 1 ayat 3 UUD 1945.

Itu sebabnya kekuasaan kehakiman yang merupakan bagian dari independensi peradilan dan independensi hakim merupakan `kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan' (vide Pasal 24 ayat 1 UUD 1945). Dalam hal urusan teknis peradilan, `pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang mencampurinya' (vide Pasal 3 ayat 2 UU No 48 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Itu berarti independensi hakim, selaku pelaksana kekuasaan kehakiman dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara yang ditangani, mutlak dijaga dan dilindungi kelestariannya dari berbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim. Pengaruh itu berupa intervensi, tekanan, ancaman, dan campur tangan dari pihak mana pun (dari pihak eksekutif dan legislatif). Kriminalisasi terhadap hakim di dalam menjalankan tupoksinya juga harus `dilarang'. Hal itu diperlukan demi menjaga wibawa dan martabat peradilan, termasuk nama baik hakim, untuk mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan.

Tidak Absolut

Sekalipun independensi hakim `bukan merupakan kemerdekaan yang absolut' karena hakim dalam menjalankan tupoksi selalu ‘dibatasi’ hukum dan keadilan, kemerdekaan hakim itu harus diartikan ‘terbebas’ dari nilai dan substansi yang diyakininya melalui penafsiran hukum sesuai prinsip profesionalitas hakim.

Putusan hakim tersebut mungkin bertentangan dengan kepentingan pihak eksekutif atau legislatif, termasuk pihak mereka yang mempunyai kekuasaan politik, atau putusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan masyarakat tertentu. Namun ketidaksesuaian, ketidakpuasan, atau ketidakadilan suatu putusan hakim, menurut hemat penulis, tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan ‘kriminalisasi’ atau ‘pemidanaan’ terhadap hakim dan kepada lembaga peradilan, sebab sistem hukum yang berlaku di Indonesia menganut res judicata pro veritate habetur (semua putusan pengadilan adalah sah, kecuali dibatalkan pengadilan yang lebih tinggi).

Larangan dan kriminalisasi terhadap profesi hakim agung yang diatur dalam RUU MA justru menarik untuk dipersoalkan. Di negara mana pun selain di Indonesia, tidak pernah dalam sejarah tupoksi hakim agung dikriminalisasi. Pasal 97 menyebutkan, ‘Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi: (b) dilarang membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru-hara; (c) dilarang membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan dengan realitas di tengah­tengah masyarakat, adat istiadat, dan kebiasaan yang turun-temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan keributan'. Ancaman pidana terhadap hakim yang melanggar ketentuan tersebut menurut Pasal 98, `Hakim dalam melaksanakan tugas profesi yang melanggar ketentuan dapat dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10 miliar'.

Konsepsi pemikiran Komisi Hukum DPR merancang UU baru tentang MA untuk mencekal putusan (vonis) hakim agung sekaligus memberikan pidana terhadap profesi hakim jelas merupakan intervensi dan perbuatan melanggar konstitusi UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tersebut.

Atas rancangan Pasal 97 dan 98 UU MA tersebut, Komisi Hukum DPR telah melanggar independensi (kemerdekaan) hakim dalam memutus perkara. Terhadap teknis yudisial (substansi perkara), tidak seorang pun bisa mengintervensi profesi hakim sekalipun itu dari pihak internal MA dan Komisi Yudisial (KY), apalagi pihak eksternal seperti Komisi Hukum DPR, itu sangat mustahil. Semua pihak harus menjaga dan menghormati independensi hakim secara universal, termasuk DPR tidak boleh mencampuri kinerja lembaga yudikatif (hakim).

Tumpang Tindih

Bila ada ketidakpuasan atau kekeliruan atas suatu putusan hakim, hal yang hanya dapat dilakukan ialah upaya hukum yang sudah ditentukan UU, yakni melalui upaya hukum banding, kasasi, atau peninjauan kembali ke MA. Jika Pasal 97 RUU MA menyebutkan MA dilarang membuat putusan yang bersifat non-executable (tidak dapat dieksekusi) seperti yang pernah terjadi dewasa ini, menurut hemat penulis itu merupakan `ranah hukum lembaga yudikatif' tanpa harus membentuk UU baru untuk mengkriminalisasi tupoksi hakim.

Jika kriminalisasi terhadap profesi hakim diatur dalam suatu UU MA (yang baru), itu menyebabkan terjadinya overlapping (tumpang tindih) pengawasan yang dilakukan MA (vide UU No 3 Tahun 2009 tentang MA) dan yang dilakukan KY (vide UU No 18 Tahun 2011 tentang KY) terhadap hakim terperiksa. Dengan sudah diaturnya secara tegas pemberian sanksi kepada hakim di saat dia menyalahgunakan tugas profesinya sebagai hakim, segala bentuk kriminalisasi terhadap profesi hakim menurut UU (terbaru) yang dikeluarkan DPR dan pemerintah `sudah tidak diperlukan lagi'.

Upaya pemaksaan kriminalisasi terhadap profesi hakim dalam RUU MA, menurut penulis, menjadikan UU (terbaru) tersebut harus `batal demi hukum' (null and void). Mengapa? Karena hakim dalam melaksanakan tupoksi telah dijamin berdasarkan UUD 1945, status/ kedudukan UUD 1945 berada di atas UU MA. Sesuai prinsip hukum yang berlaku, `UU yang lebih rendah bertentangan dengan UU yang lebih tinggi, maka secara mutatis mutandis UU yang lebih rendah tersebut harus batal demi hukum' (tidak pernah ada).

Sesungguhnya hakim yang memutus suatu perkara bukanlah berdasarkan kata orang, intervensi, atau menurut kehendak masyarakat. Putusan hakim harus mampu `mengatur' dan `mengendalikan' masyarakat demi penegakan hukum yang berkeadilan. Ketika putusan hakim itu belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sesuai sistem hukum yang berlaku, masyarakat pencari keadilan tak usah panik dan melakukan keonaran atau huru-hara. Mereka dapat melakukan upaya hukum yang sudah disediakan untuk itu.

Setelah putusan itu sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht), `suka atau tidak suka', putusan hakim itu bersifat `mengikat' dan harus `dilaksanakan'. Jika putusan itu menimbulkan kerusuhan dan huru-hara, justru di situlah fungsi pihak keamanan (Polri) untuk mengamankan pelaksanaan putusan hakim di lapangan, bukan justru memberikan sanksi hukum kepada sang `pengadil'.

Batalkan

Agar sistem penegakan hukum di Indonesia tidak semakin kacau-balau, harusnya DPR `membatalkan' RUU baru MA menyangkut `intervensi dan kriminalisasi' terhadap hakim agung yang sedang melaksanakan profesinya sebagai pejabat kekuasaan kehakiman plus pejabat negara.

Jika DPR tetap nekat mengesahkan RUU MA menjadi UU, selain DPR telah merusak dan menjatuhkan wibawa peradilan yang telah dijamin Konstitusi UUD 1945, seyogianya peranan KY `mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (vide Pasal 20 ayat 1 huruf e UU No 18 Tahun 2011 tentang KY).

Kemudian tatkala RUU MA itu disahkan menjadi UU oleh DPR, menurut hemat penulis, MA atau lewat organisasi Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) dapat melakukan uji materiil (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan UU baru MA tersebut karena itu telah bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar