Kontroversi
Hukuman Mati (Koruptor)
Roby Arya Brata ; Analis
Antikorupsi, Hukum, dan Kebijakan
|
KORAN
TEMPO, 04 Oktober 2012
Dalam keadaan darurat korupsi
seperti sekarang ini, ketika korupsi telah mengakibatkan kemiskinan yang luas
dan karenanya "membunuh" hak hidup jutaan manusia, adalah adil
menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang koruptor.
Hukuman mati terhadap koruptor
kembali menjadi perdebatan publik setelah belum lama ini Musyawarah Nasional
Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Cirebon mengeluarkan fatwa
hukuman mati bagi pencuri uang negara. Lalu, apakah hukuman mati itu sendiri
adalah hukuman yang adil, manusiawi, dan konstitusional? Tulisan ini membahas
argumen-argumen kelompok yang kontra dan yang pro-hukuman mati, khususnya
terhadap koruptor.
Hukuman mati telah lama, dan
tampaknya akan tetap, menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan
filsafat dan hukum. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok
abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis),
mendasarkan pendapatnya pada argumen yang kuat.
Kaum abolisionis mendasarkan
argumennya pada beberapa alasan. Pertama, hukuman mati merupakan bentuk hukuman
yang merendahkan martabat manusia dan bertentangan dengan hak asasi manusia.
Atas dasar argumen inilah kemudian banyak negara menghapuskan hukuman mati
dalam sistem peradilan pidananya. Sampai sekarang ini sudah 97 negara
menghapuskan hukuman mati. Negara-negara anggota Uni Eropa dilarang menerapkan
hukuman mati berdasarkan Pasal 2 Charter
of Fundamental Rights of the European Union tahun 2000.
Majelis Umum pada 2007, 2008, dan
2010 mengadopsi resolusi tidak mengikat (non-binding
resolutions) yang mengimbau moratorium global terhadap hukuman mati.
Protokol Opsional II International
Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR
akhirnya melarang penggunaan hukuman mati pada negara-negara pihak terkait.
Dasar argumen selanjutnya yang dikemukakan kelompok abolisionis adalah konstitusionalitas
hukuman mati. Kaum abolisionis di Amerika Serikat, misalnya, menentang hukuman
mati karena hukuman ini bertentangan dengan Amendemen VIII Konstitusi Amerika
Serikat.
Dasar argumentasi konstitusional
juga telah digunakan oleh kaum abolisionis di Indonesia. Pada 2007, dua WNI
terpidana mati kasus narkoba, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, serta
tiga warga Australia, yakni Myuran Sukumaran, Andrew Chan, dan Scott Rush,
mengajukan permohonan uji konstitusional kepada Mahkamah Konstitusi atas pasal
hukuman mati dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Kuasa hukum pemohon
berargumentasi pasal pidana mati UU No. 22/1997 bertentangan dengan Pasal 28A
Perubahan II Undang-Undang Dasar 1945. Namun permohonan para pemohon ditolak
oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi yang pada intinya menyatakan hukuman
mati terhadap kejahatan yang serius merupakan bentuk pembatasan hak asasi
manusia.
Kelompok abolisionis juga
membantah alasan kaum retensionis yang meyakini hukuman mati akan menimbulkan
efek jera dan, karena itu, akan menurunkan tingkat kejahatan khususnya korupsi.
Belum ada bukti ilmiah konklusif yang membuktikan korelasi positif antara
hukuman mati dan tingkat korupsi.
Sebaliknya, berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi Transparency
International tahun 2011, justru negara-negara yang tidak menerapkan
hukuman mati menempati ranking tertinggi sebagai negara yang relatif bersih
dari korupsi, yaitu Selandia Baru di peringkat 1, Denmark peringkat 2, dan
Swedia 4.
Argumen Pro
Kelompok retensionis tidak kalah
sengit mengajukan argumen yang mendukung hukuman mati. Alasan utama adalah
hukuman mati memberi efek cegah terhadap pejabat publik yang akan melakukan
korupsi. Bila menyadari akan dihukum mati, pejabat demikian setidaknya akan berpikir
seribu kali sebelum melakukan korupsi.
Fakta membuktikan, bila
dibandingkan dengan negara-negara maju yang tidak menerapkan hukuman mati, Arab
Saudi, yang memberlakukan hukum Islam dan hukuman mati, memiliki tingkat
kejahatan yang rendah. Berdasarkan data United
Nations Office on Drugs and Crime pada 2012, misalnya, tingkat kejahatan
pembunuhan hanya 1,0 per 100 ribu orang. Bandingkan dengan Finlandia yang
sebesar 2,2; Belgia 1,7; dan Rusia 10,2.
Kaum retensionis juga menolak
pendapat kelompok abolisionis yang mengatakan hukuman mati (terhadap koruptor)
bertentangan dengan kemanusiaan. Sebaliknya, mereka berpendapat justru korupsi
merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan. Korupsi
merupakan kejahatan kemanusiaan yang melanggar hak hidup dan hak asasi manusia
tidak hanya satu orang, melainkan jutaan manusia. Kelompok retensionis
berpendapat, hukuman mati terhadap koruptor tidak melanggar konstitusi
sebagaimana telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi. Di Amerika Serikat pun,
hukuman mati tidak bertentangan dengan konstitusi. Dalam kasus Gregg vs
Georgia, Mahkamah Agung Amerika Serikat menyatakan, "The punishment of death does not violate the Constitution."
Dari berbagai argumen yang
dikemukakan kelompok abolisionis dan retensionis, sesungguhnya dapat diambil
kebijakan sintesis hukuman mati bagi koruptor di Indonesia. Dalam keadaan
darurat korupsi seperti sekarang ini, ketika korupsi telah mengakibatkan
kemiskinan yang luas dan karenanya "membunuh" hak hidup jutaan manusia,
adalah adil menjatuhkan hukuman mati terhadap satu orang koruptor. Jadi,
pertimbangan utamanya adalah rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukuman
mati juga diterapkan untuk memberi peringatan keras bagi para pejabat publik
untuk tidak melakukan korupsi.
Tetapi hukuman mati hanya
dijatuhkan pada bentuk korupsi yang paling jahat dan berdampak luas. Selain
itu, hukuman mati harus sangat berhati-hati dijatuhkan. Dalam sistem peradilan
pidana yang korup seperti sekarang ini, seseorang sangat mungkin menjadi korban
peradilan sesat (miscarriage of justice).
Di Amerika Serikat, 23 orang telah dihukum mati karena kekeliruan peradilan
dalam periode 1900-1987.
Karena itu, untuk mencegah miscarriage of justice, terdakwa korupsi
harus diberi hak melakukan upaya hukum yang adil. Misalnya, dalam sidang
kasasi, terdakwa wajib diadili sendiri oleh sembilan hakim agung pidana
independen Mahkamah Agung. Untuk mengumpulkan bukti-bukti baru yang meyakinkan
(novum), ia pun diberi hak untuk mengajukan peninjauan kembali tanpa batas
waktu.
Apabila terdakwa pada akhirnya
dipidana mati, ia pun masih memiliki kesempatan mengajukan grasi atau
permintaan ampun. Ada dua opsi dalam hal ini. Pertama, ia mengajukan permintaan
ampun kepada parlemen sebagai wakil rakyat yang telah dirugikan. Jika grasinya
diterima, hukumannya diperingan. Peringanan hukuman hanya boleh diberikan
menjadi minimal 20 tahun penjara. Namun, bila ditolak, ia masih memiliki
kesempatan memohon grasi kepada presiden.
Opsi kedua, terdakwa mengajukan
grasi kepada presiden yang sedang berkuasa. Tetapi, apabila grasinya ditolak,
ia dapat mengajukan kepada presiden dari pemerintahan yang baru. Hal ini untuk
mencegah penyalahgunaan hukuman mati oleh rezim korup yang ingin menyingkirkan
lawan-lawan politiknya. Apabila Indonesia telah terbebas dari darurat korupsi
dan kedaulatan hukum telah ditegakkan, hukuman mati terhadap koruptor sebaiknya
dihapuskan. Dampak korupsi dalam keadaan "normal" tidaklah seburuk
seperti dampak korupsi dalam keadaan darurat.
Selain itu, meskipun kita telah
mendesain sistem peradilan pidana dengan baik untuk mencegah miscarriage of
justice, kemungkinan menghukum mati orang yang tidak sepantasnya dihukum mati
tetap ada. Kita tidak ingin menghukum mati anak manusia yang tidak bersalah.
Sebab, seperti yang dikatakan ahli hukum abad ke-12, Moses Maimonides, "It is better and more satisfactory to acquit
a thousand guilty persons than to put a single innocent man to death."
Membunuh satu manusia (yang tidak
bersalah), sabda Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya
adalah seperti membunuh seluruh manusia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar