Korupsi,
Media, dan Double Consciousness
Milto Seran ; Mahasiswa
Pascasarjana STFK Ledalero, Flores, NTT
|
MEDIA
INDONESIA, 09 Oktober 2012
MENJAMURNYA berita tentang korupsi pada halaman-halaman koran
lokal dan nasional tentu merupakan realitas yang tak tersangkal. Para koruptor
diselidiki, disidik, diperkarakan, divonis, dan akhirnya tak hanya
dipenjarakan, tetapi juga dibebaskan. Kasus korupsi kemudian menghiasi
halaman-halaman koran, mulai permasalahan korupsi kelas teri hingga persoalan
ruwet semisal bailout Bank Century dan kasus Hambalang yang menelan uang negara
triliunan rupiah. Tiap hari ulasan tentang korupsi tak pernah luput dari
pemberitaan media massa.
Media Indonesia (MI), misalnya, selama September lalu menurunkan
11 judul editorial yang berisikan masalahmasalah seputar korupsi dan
penanganannya serta tantangan-tantangan politis yang kian intens. Untuk lebih
jelas membincangkan hal tersebut, saya coba menyebutkan sejumlah judul
editorial MI yang berisikan kegelisahan akan kasus korupsi.
Judul-judul itu antara lain `Tabiat Buruk Penyerapan Anggaran'
(3/9), `Keteladanan dari Istana' (4/9), `Apa Kabar Hambalang' (6/9), `Angie dan
Koster' (7/9), `Moratorium Studi Banding' (11/9), `Kesaksian Antasari di Timwas
Century' (13/9), `Patgulipat Perjalanan Dinas' (15/9), `Penyidik Independen
untuk KPK' (17/9), `Keprihatinan Ulama' (19/9), `KPK di Tengah Pusaran Century'
(22/9), dan `Ancaman Mundur Ketua KPK' (25/9). Dengan itu dapat disimpulkan,
44% (11 dari 25 judul) editorial MI pada September berbicara tentang masalah
korupsi. Hingga 5 Oktober, permasalahan korupsi masih menjadi topik yang
mendominasi dalam editorial MI.
Realitas tersebut setidak-tidaknya menunjukkan dua hal mendasar
berikut ini.
Pertama, konsistensi media dalam meliput dan memberitakan persoalan korupsi merupakan sebuah sikap atau pilihan fundamental. Media massa tak mundur selangkah pun dalam jalan panjang perjuangan mencegah dan memberantas korupsi.
Pertama, konsistensi media dalam meliput dan memberitakan persoalan korupsi merupakan sebuah sikap atau pilihan fundamental. Media massa tak mundur selangkah pun dalam jalan panjang perjuangan mencegah dan memberantas korupsi.
Kedua, keberpihakan media. Tak dapat dimungkiri lagi, media massa
lokal dan nasional mengusung prinsip-prinsip yang berperikemanusiaan. Beberapa
semboyan media cetak nasional berikut ini merupakan contoh menarik: Amanat Hati
Nurani Rakyat (Kompas), Jujur Bersuara (Media Indonesia), Memihak Kebenaran
(Suara Pembaruan), Suara Hati Nurani Rakyat (Kedaulatan Rakyat), dan Sumber
Referensi Tepercaya (Seputar Indonesia). Dengan semboyan-semboyan tersebut,
ekspektasi publik bahwa media massa merupakan fourth estate sesudah legislatif, eksekutif, dan yudikatif dapat
dibuktikan dalam praksis. Jika media massa (elektronik dan cetak) sungguh
memainkan peran sebagai salah satu kekuatan lunak (soft power) dalam medan tempur melawan korupsi dan dalam dinamika
memengaruhi kebijakan-kebijakan publik, keberpihakan media kepada kepentingan
publik mendapat penegasan di sini.
Kesadaran Ganda
Media Indonesia ternyata bukan satu-satunya koran nasional yang
getol memberitakan masalah korupsi. Laporan Harian Monitoring Isu Publik, sebagaimana
yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dapat menerangkan hal
itu. Pada 3 Agustus, misalnya, dari 22 media massa yang diamati, terdapat 18
media memberitakan kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas
Polri senilai Rp189 Miliar. Hal serupa terjadi pada 11 Agustus. Delapan dari 21
media nasional yang diamati mengangkat berita tentang testimoni Antasari Azhar.
Berikut empat media memberitakan langkah KPK mengusut rekening janggal Rp10
miliar. Kuantitas dan frekuensi pemberitaan itu tentu sangat bergantung pada
aktualitas permasalahan yang diangkat. Akan tetapi, hal itu toh menunjukkan
bahwa masalah korupsi sudah merupakan problem yang menyita perhatian publik.
Korupsi bahkan telah menjadi terminologi yang makin familier dalam ocehan-ocehan masyarakat luas, mulai pedagang kaki
lima, tukang ojek di tepi jalan, hingga ruang-ruang kuliah kaum intelektual dan
kantorkantor para birokrat.
Ketika mencermati realitas tersebut dan terutama mempertimbangkan
persoalan teranyar yang menimpa KPK (relasi yang kurang akur dengan Polri),
saya menyimpulkan dua hal penting di sini. Pertama, tabiat buruk para koruptor
yang telah merugikan negara itu lebih merupakan persoalan-persoalan pribadi
yang telah terjalin rapi menjadi persoalan institusiinstitusi politis seperti
partai politik, legislatif, yudikatif, atau eksekutif.
Jika ditelusuri secara saksama, lembaga politik mana pun pasti
mengusung prinsip res publica (kesejahteraan umum). Tak ada lembaga politik
yang mengusung kepentingan kelas atau golongan. Persoalan sering timbul tatkala
komunikasi politis di antara lembaga-lembaga yang berkepentingan dibangun di
atas dasar kepentingan pribadi politikus yang juga kapitalis, kaum yang
disebut-sebut Karl Marx dalam The Capital sebagai `serigala rakus'. Kepentingan
pribadi dibiarkan menerobos masuk wilayah publik secara tidak seimbang dan
mulai mendominasi kebijakan-kebijakan publik. Dengan kata lain, kepentingan
publik terdesak atau bahkan tersepak oleh kepentingan privat segelintir pejabat
publik yang tak memiliki spirit dedikasi.
Kedua, kesadaran ganda (double
consciousness). Dengan istilah itu, mengikuti sosiolog Amerika WEB Du Bois,
saya mengartikan kesadaran ganda sebagai perasaan akan `ke-dua-an' atau
perasaan di pihak kaum yang melihat dan mengukur diri sendiri melalui mata
orang lain. Jika media massa dilihat sebagai wujud `mata orang lain',
masyarakat luas (pembaca dan pemirsa) patut becermin diri di hadapan media yang
menyuguhkan berita-berita yang membentuk makna dan nilai tertentu. Problemnya
ialah telinga dan mata masyarakat makin terbiasa dan akrab dengan terminologi
korupsi. Apa yang sebetulnya jahat dibikin kian akrab. Hal itu terjadi lantaran
masyarakat diliputi selubung ketidaksadaran (atau ketakberdayaan?) dalam
lingkungan `busuk dan jahat' yang sedang membentuknya.
Dalam hal itu, berita harian yang berisikan permasalahan korupsi
sebenarnya merupakan kicauan harian yang coba membakar kesadaran kolektif warga
negara akan krisis-krisis yang tengah membelenggu kehidupan publik. Secara epistemologis,
persoalannya ialah apakah berita-berita yang dibaca (termasuk oleh koruptor)
mampu membentuk kesadaran baru akan pentingnya komitmen melawan korupsi mulai
dari diri sendiri ataukah berita-berita itu hanyalah kata-kata nirmakna?
Tampaknya saat ini sebagian besar energi bangsa sedang dicurahkan
untuk mengurus, melawan, dan memberantas pelbagai bentuk persoalan korupsi.
Menurut hemat saya, strategi dan komitmen melawan korupsi mesti dimulai dari
diri sendiri, rumah sendiri, dan lembaga atau tempat kerja sendiri.
Bagi mereka yang tengah menghunus pedang melawan korupsi
(misalnya KPK), andaikan ada aktor-aktor politis yang berupaya menumpulkan
pedang perlawanan itu, sekali-kali jangan mundur selangkah pun, sebab pedang
sejati dalam jalan panjang melawan korupsi ialah `kebenaran'. Sarung pedang
kebenaran itu tak lain ialah perikemanusiaan. Karena itu, menyitir sosiolog Herbert Spencer, kita boleh
menegaskan, “Membantu orang yang
tak berguna dengan mengorbankan orang yang berguna adalah kekejaman ekstrem.
Itu akan menimbulkan kesengsaraan terhadap generasi yang akan datang.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar