Rabu, 10 Oktober 2012

Korupsi, Media, dan Double Consciousness


Korupsi, Media, dan Double Consciousness
Milto Seran ;  Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero, Flores, NTT
MEDIA INDONESIA, 09 Oktober 2012


MENJAMURNYA berita tentang korupsi pada halaman-halaman koran lokal dan nasional tentu merupakan realitas yang tak tersangkal. Para koruptor diselidiki, disidik, diperkarakan, divonis, dan akhirnya tak hanya dipenjarakan, tetapi juga dibebaskan. Kasus korupsi kemudian menghiasi halaman-halaman koran, mulai permasalahan korupsi kelas teri hingga persoalan ruwet semisal bailout Bank Century dan kasus Hambalang yang menelan uang negara triliunan rupiah. Tiap hari ulasan tentang korupsi tak pernah luput dari pemberitaan media massa.

Media Indonesia (MI), misalnya, selama September lalu menurunkan 11 judul editorial yang berisikan masalahmasalah seputar korupsi dan penanganannya serta tantangan-tantangan politis yang kian intens. Untuk lebih jelas membincangkan hal tersebut, saya coba menyebutkan sejumlah judul editorial MI yang berisikan kegelisahan akan kasus korupsi.

Judul-judul itu antara lain `Tabiat Buruk Penyerapan Anggaran' (3/9), `Keteladanan dari Istana' (4/9), `Apa Kabar Hambalang' (6/9), `Angie dan Koster' (7/9), `Moratorium Studi Banding' (11/9), `Kesaksian Antasari di Timwas Century' (13/9), `Patgulipat Perjalanan Dinas' (15/9), `Penyidik Independen untuk KPK' (17/9), `Keprihatinan Ulama' (19/9), `KPK di Tengah Pusaran Century' (22/9), dan `Ancaman Mundur Ketua KPK' (25/9). Dengan itu dapat disimpulkan, 44% (11 dari 25 judul) editorial MI pada September berbicara tentang masalah korupsi. Hingga 5 Oktober, permasalahan korupsi masih menjadi topik yang mendominasi dalam editorial MI.

Realitas tersebut setidak-tidaknya menunjukkan dua hal mendasar berikut ini.
Pertama, konsistensi media dalam meliput dan memberitakan persoalan korupsi merupakan sebuah sikap atau pilihan fundamental. Media massa tak mundur selangkah pun dalam jalan panjang perjuangan mencegah dan memberantas korupsi.

Kedua, keberpihakan media. Tak dapat dimungkiri lagi, media massa lokal dan nasional mengusung prinsip-prinsip yang berperikemanusiaan. Beberapa semboyan media cetak nasional berikut ini merupakan contoh menarik: Amanat Hati Nurani Rakyat (Kompas), Jujur Bersuara (Media Indonesia), Memihak Kebenaran (Suara Pembaruan), Suara Hati Nurani Rakyat (Kedaulatan Rakyat), dan Sumber Referensi Tepercaya (Seputar Indonesia). Dengan semboyan-semboyan tersebut, ekspektasi publik bahwa media massa merupakan fourth estate sesudah legislatif, eksekutif, dan yudikatif dapat dibuktikan dalam praksis. Jika media massa (elektronik dan cetak) sungguh memainkan peran sebagai salah satu kekuatan lunak (soft power) dalam medan tempur melawan korupsi dan dalam dinamika memengaruhi kebijakan-kebijakan publik, keberpihakan media kepada kepentingan publik mendapat penegasan di sini.

Kesadaran Ganda

Media Indonesia ternyata bukan satu-satunya koran nasional yang getol memberitakan masalah korupsi. Laporan Harian Monitoring Isu Publik, sebagaimana yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika, dapat menerangkan hal itu. Pada 3 Agustus, misalnya, dari 22 media massa yang diamati, terdapat 18 media memberitakan kasus dugaan korupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas Polri senilai Rp189 Miliar. Hal serupa terjadi pada 11 Agustus. Delapan dari 21 media nasional yang diamati mengangkat berita tentang testimoni Antasari Azhar. Berikut empat media memberitakan langkah KPK mengusut rekening janggal Rp10 miliar. Kuantitas dan frekuensi pemberitaan itu tentu sangat bergantung pada aktualitas permasalahan yang diangkat. Akan tetapi, hal itu toh menunjukkan bahwa masalah korupsi sudah merupakan problem yang menyita perhatian publik. Korupsi bahkan telah menjadi terminologi yang makin familier dalam ocehan-ocehan masyarakat luas, mulai pedagang kaki lima, tukang ojek di tepi jalan, hingga ruang-ruang kuliah kaum intelektual dan kantorkantor para birokrat.

Ketika mencermati realitas tersebut dan terutama mempertimbangkan persoalan teranyar yang menimpa KPK (relasi yang kurang akur dengan Polri), saya menyimpulkan dua hal penting di sini. Pertama, tabiat buruk para koruptor yang telah merugikan negara itu lebih merupakan persoalan-persoalan pribadi yang telah terjalin rapi menjadi persoalan institusiinstitusi politis seperti partai politik, legislatif, yudikatif, atau eksekutif.

Jika ditelusuri secara saksama, lembaga politik mana pun pasti mengusung prinsip res publica (kesejahteraan umum). Tak ada lembaga politik yang mengusung kepentingan kelas atau golongan. Persoalan sering timbul tatkala komunikasi politis di antara lembaga-lembaga yang berkepentingan dibangun di atas dasar kepentingan pribadi politikus yang juga kapitalis, kaum yang disebut-sebut Karl Marx dalam The Capital sebagai `serigala rakus'. Kepentingan pribadi dibiarkan menerobos masuk wilayah publik secara tidak seimbang dan mulai mendominasi kebijakan-kebijakan publik. Dengan kata lain, kepentingan publik terdesak atau bahkan tersepak oleh kepentingan privat segelintir pejabat publik yang tak memiliki spirit dedikasi.

Kedua, kesadaran ganda (double consciousness). Dengan istilah itu, mengikuti sosiolog Amerika WEB Du Bois, saya mengartikan kesadaran ganda sebagai perasaan akan `ke-dua-an' atau perasaan di pihak kaum yang melihat dan mengukur diri sendiri melalui mata orang lain. Jika media massa dilihat sebagai wujud `mata orang lain', masyarakat luas (pembaca dan pemirsa) patut becermin diri di hadapan media yang menyuguhkan berita-berita yang membentuk makna dan nilai tertentu. Problemnya ialah telinga dan mata masyarakat makin terbiasa dan akrab dengan terminologi korupsi. Apa yang sebetulnya jahat dibikin kian akrab. Hal itu terjadi lantaran masyarakat diliputi selubung ketidaksadaran (atau ketakberdayaan?) dalam lingkungan `busuk dan jahat' yang sedang membentuknya.

Dalam hal itu, berita harian yang berisikan permasalahan korupsi sebenarnya merupakan kicauan harian yang coba membakar kesadaran kolektif warga negara akan krisis-krisis yang tengah membelenggu kehidupan publik. Secara epistemologis, persoalannya ialah apakah berita-berita yang dibaca (termasuk oleh koruptor) mampu membentuk kesadaran baru akan pentingnya komitmen melawan korupsi mulai dari diri sendiri ataukah berita-berita itu hanyalah kata-kata nirmakna?

Tampaknya saat ini sebagian besar energi bangsa sedang dicurahkan untuk mengurus, melawan, dan memberantas pelbagai bentuk persoalan korupsi. Menurut hemat saya, strategi dan komitmen melawan korupsi mesti dimulai dari diri sendiri, rumah sendiri, dan lembaga atau tempat kerja sendiri.

Bagi mereka yang tengah menghunus pedang melawan korupsi (misalnya KPK), andaikan ada aktor-aktor politis yang berupaya menumpulkan pedang perlawanan itu, sekali-kali jangan mundur selangkah pun, sebab pedang sejati dalam jalan panjang melawan korupsi ialah `kebenaran'. Sarung pedang kebenaran itu tak lain ialah perikemanusiaan. Karena itu, menyitir sosiolog Herbert Spencer, kita boleh menegaskan, “Membantu orang yang tak berguna dengan mengorbankan orang yang berguna adalah kekejaman ekstrem. Itu akan menimbulkan kesengsaraan terhadap generasi yang akan datang.“ ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar