Rabu, 10 Oktober 2012

Aborsi Kewenangan KPK


Aborsi Kewenangan KPK
M Rizqi Azmi ;  Staf Ahli Komisi III DPR RI
REPUBLIKA, 09 Oktober 2012


Arti harfiah dari korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Positioning korupsi sebagai extraordinary crime, menjadikan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan cara-cara yang luar biasa.

Sebagaimana hasil dari UN Convention Against Corruption 2003, di antaranya, menyatakan bahwa korupsi adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilainilai dan lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan “pembangunan yang berkelanjutan” dan rule of law, serta mengancam stabilitas politik. Korupsi akan menimbulkan multiple effect.

Bentuk Rekayasa

RUU KPK merupakan sebuah langkah penting untuk mendukung proses pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien. Bila memang mendukung maksud dan tujuan ini maka RUU harus lebih baik dari undang-undang tentang pemberantasan korupsi yang sudah ada.

Pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan isu yang cukup panas dan sedang menjadi perhatian publik. Terdapat resistensi dari beberapa kalangan yang kurang sependapat atas rencana perubahan undang-undang tersebut.
Hal ini merupakan bagian dari dinamisasi masyarakat yang harus juga menjadi perhatian bagi para legislator dalam melakukan perbaikan undang-undang. Agar, revisi undang-undang yang dilaksanakan akan searah dengan harapan dalam upaya mewujudkan aspek keadilan masyarakat. Semangat dari revisi ini haruslah ditujukan untuk memberikan penguatan terhadap kelembagaan KPK, yang tak lain bertujuan untuk mempercepat akselerasi pemberantasan korupsi di negeri ini.

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, bangsa ini telah memiliki semangat pemberantasan korupsi yang sangat kuat. Sebagaimana amanah Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka seluruh arah kebijakan pemerintah harus dilaksanakan dalam kerangka pemerintahan yang baik dan bersih. Lebih lanjut, TAP MPR Nomor VIII/ MPR/2001 memberi kerangka mengenai Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Pembentukan KPK melalui UU No mor 30 Tahun 2002 pada dasarnya bertujuan menjadi stimulan dalam pemberantasan korupsi. Pembentukan KPK sebenarnya sebagai sebuah jawaban atas lunturnya kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum lainnya dalam hal pemberantasan korupsi. Saat pembentukannya, KPK diposisikan sebagai katalisator.

Begitu beratnya, upaya pemberantasan korupsi di negeri ini. Karenanya, diperlukan lembaga penegak hukum yang kredibel, professional, dan memiliki integritas tinggi dalam penegakan korupsi. Sebagai leading sector pemberantasan korupsi, KPK ternyata masih juga dinilai memiliki problem dalam persoalan integritas.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis pada Desember 2008 persepsi atas kinerja KPK dalam memberantas korupsi sebesar 65 persen, kemudian naik satu persen pada 2009 menjadi 66 persen, selanjutnya pada 2010 turun menjadi 61 persen, sementara di 2011 turun drastis di angka 49 persen. Kondisi ini menuntut Komisi III untuk melakukan evaluasi dan reformulasi atas UU KPK.

Kedok Penguatan

Alasan yang diambil Komisi III DPR RI sebenarnya sah-sah saja karena sebagai lembaga penampung aspirasi sudah menjadi hak baginya melakukan perubahan perundang-undangan apabila itu penting. Namun, fatalnya dalam proses politik, hadirlah pasal-pasal yang mengabortus kewenangan KPK yang sudah ideal sebelumnya. Sedikitnya ada beberapa hal yang urgen untuk dianalisis sebagai pelemahan KPK.

Pertama, mengingat sampai saat ini tidak adanya bukti penyalahgunaan wewenang penuntutan oleh KPK. Bahkan, yang terjadi selama ini justru adanya efektivitas dari penggunaan wewenang penuntutan oleh KPK dalam menyelesaikan berbagai kasus korupsi. Maka, hal ini dapat jadi alasan utama bahwa tak ada dasar yang cukup bagi DPR untuk menghapus wewenang tersebut.

Apabila kewenangan ini dihilangkan maka yang terjadi adalah pelemahan terhadap institusi KPK. Wewenang pe nuntutan harus tetap ada dengan pertimbangan. Dalam klausul menimbang huruf (b) disebutkan, pemberantasan korusi belum optimal. Ini merujuk pada kinerja institusi penegak hukum kepolisian dan kejaksaaan yang sampai saat ini tidak bisa diandalkan.

Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dalam ranah penegakan hukum oleh eksekutif. Hal ini dapat menghemat energi dan mempermudah dilakukannya pengawasan karena diemban oleh satu institusi saja, yaitu KPK.

Kedua, RUU KPK memperlambat kerja KPK dengan memperpanjang birokrasi mengenai penyadapan. Pada Pasal 12 A ayat 2, KPK dilemahkan dalam hal penyadapan, harus meminta izin kepada ketua pengadilan negeri.

Ketiga, terkait masalah penanganan kasus korupsi, khususnya mengenai nilai minimum kerugian negara yang dapat ditangani KPK, yakni Rp 1 miliar pada UU Nomor 30 Tahun 2002. Namun, dalam RUU dinyatakan KPK dapat melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kerugian negara paling sedikit Rp 5 miliar. Konsekuensinya, beberapa ka sus yang ditangani KPK di bawah Rp 5 miliar terpaksa dilepaskan dan dialihkan kepada kepolisian. Sehingga, kemungkinan terduga koruptor yang ditangani KPK dapat direkayasa lepas dari tuntutan pidana.

Keempat, Pasal 37 A mengatur tentang dewan pengawas yang melakukan pengawasan terhadap tugas dan wewenang KPK. Seharusnya, dewan pengawas yang sesuai dengan legal formal Indonesia adalah DPR. Ditakutkan dengan adanya dewan pengawas, akan lahir lagi lembaga mubazir dan menelan APBN. Kemudian, seleksi dewan pengawas sangat tidak representatif karena dilakukan dengan proses politik di DPR sehingga rentan pesanan dari DPR. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar