Aborsi
Kewenangan KPK
M Rizqi Azmi ; Staf Ahli Komisi III DPR RI
|
REPUBLIKA,
09 Oktober 2012
Arti harfiah dari korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Positioning korupsi sebagai extraordinary
crime, menjadikan pencegahan dan pemberantasan korupsi harus ditempuh
dengan cara-cara yang luar biasa.
Sebagaimana hasil dari UN
Convention Against Corruption 2003, di antaranya, menyatakan bahwa korupsi
adalah ancaman bagi keamanan dan kestabilan masyarakat, merusak nilainilai dan
lembaga-lembaga demokrasi, merusak nilai-nilai moral dan keadilan, membahayakan
“pembangunan yang berkelanjutan” dan rule
of law, serta mengancam stabilitas politik. Korupsi akan menimbulkan multiple effect.
Bentuk Rekayasa
RUU KPK merupakan sebuah langkah penting untuk mendukung
proses pemberantasan korupsi yang efektif dan efisien. Bila memang mendukung maksud
dan tujuan ini maka RUU harus lebih baik dari undang-undang tentang pemberantasan
korupsi yang sudah ada.
Pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
merupakan isu yang cukup panas dan sedang menjadi perhatian publik. Terdapat resistensi
dari beberapa kalangan yang kurang sependapat atas rencana perubahan
undang-undang tersebut.
Hal ini merupakan bagian dari dinamisasi masyarakat yang
harus juga menjadi perhatian bagi para legislator dalam melakukan perbaikan
undang-undang. Agar, revisi undang-undang yang dilaksanakan akan searah dengan harapan
dalam upaya mewujudkan aspek keadilan masyarakat. Semangat dari revisi ini
haruslah ditujukan untuk memberikan penguatan terhadap kelembagaan KPK, yang
tak lain bertujuan untuk mempercepat akselerasi pemberantasan korupsi di negeri
ini.
Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera, bangsa ini telah memiliki semangat pemberantasan korupsi yang sangat
kuat. Sebagaimana amanah Tap MPR RI Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka seluruh arah kebijakan
pemerintah harus dilaksanakan dalam kerangka pemerintahan yang baik dan bersih.
Lebih lanjut, TAP MPR Nomor VIII/ MPR/2001 memberi kerangka mengenai
Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme.
Pembentukan KPK melalui UU No mor 30 Tahun 2002 pada dasarnya
bertujuan menjadi stimulan dalam pemberantasan korupsi. Pembentukan KPK
sebenarnya sebagai sebuah jawaban atas lunturnya kepercayaan publik terhadap
lembaga penegak hukum lainnya dalam hal pemberantasan korupsi. Saat
pembentukannya, KPK diposisikan sebagai katalisator.
Begitu beratnya, upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.
Karenanya, diperlukan lembaga penegak hukum yang kredibel, professional, dan
memiliki integritas tinggi dalam penegakan korupsi. Sebagai leading sector pemberantasan korupsi,
KPK ternyata masih juga dinilai memiliki problem dalam persoalan integritas.
Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis pada Desember 2008 persepsi
atas kinerja KPK dalam memberantas korupsi sebesar 65 persen, kemudian naik
satu persen pada 2009 menjadi 66 persen, selanjutnya pada 2010 turun menjadi 61
persen, sementara di 2011 turun drastis di angka 49 persen. Kondisi ini
menuntut Komisi III untuk melakukan evaluasi dan reformulasi atas UU KPK.
Kedok Penguatan
Alasan yang diambil Komisi III DPR RI sebenarnya sah-sah
saja karena sebagai lembaga penampung aspirasi sudah menjadi hak baginya melakukan
perubahan perundang-undangan apabila itu penting. Namun, fatalnya dalam proses
politik, hadirlah pasal-pasal yang mengabortus kewenangan KPK yang sudah ideal
sebelumnya. Sedikitnya ada beberapa hal yang urgen untuk dianalisis sebagai
pelemahan KPK.
Pertama, mengingat sampai saat ini tidak adanya bukti
penyalahgunaan wewenang penuntutan oleh KPK. Bahkan, yang terjadi selama ini
justru adanya efektivitas dari
penggunaan wewenang penuntutan oleh KPK dalam menyelesaikan berbagai kasus
korupsi. Maka, hal ini dapat jadi alasan utama bahwa tak ada dasar yang cukup
bagi DPR untuk menghapus wewenang tersebut.
Apabila kewenangan ini dihilangkan maka yang terjadi adalah
pelemahan terhadap institusi KPK. Wewenang pe nuntutan harus tetap ada dengan
pertimbangan. Dalam klausul menimbang huruf (b) disebutkan, pemberantasan
korusi belum optimal. Ini merujuk pada kinerja institusi penegak hukum
kepolisian dan kejaksaaan yang sampai saat ini tidak bisa diandalkan.
Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan satu rangkaian
yang tidak dapat dipisahkan dalam ranah penegakan hukum oleh eksekutif. Hal ini
dapat menghemat energi dan mempermudah dilakukannya pengawasan karena diemban
oleh satu institusi saja, yaitu KPK.
Kedua, RUU KPK memperlambat kerja KPK dengan memperpanjang
birokrasi mengenai penyadapan. Pada Pasal 12 A ayat 2, KPK dilemahkan dalam hal
penyadapan, harus meminta izin kepada ketua pengadilan negeri.
Ketiga, terkait masalah penanganan kasus korupsi, khususnya
mengenai nilai minimum kerugian negara yang dapat ditangani KPK, yakni Rp 1
miliar pada UU Nomor 30 Tahun 2002. Namun, dalam RUU dinyatakan KPK dapat
melakukan penyelidikan dan penyidikan atas kerugian negara paling sedikit Rp 5
miliar. Konsekuensinya, beberapa ka sus yang ditangani KPK di bawah Rp 5 miliar
terpaksa dilepaskan dan dialihkan kepada kepolisian. Sehingga, kemungkinan
terduga koruptor yang ditangani KPK dapat direkayasa lepas dari tuntutan
pidana.
Keempat, Pasal 37 A mengatur tentang dewan pengawas yang melakukan
pengawasan terhadap tugas dan wewenang KPK. Seharusnya, dewan pengawas yang
sesuai dengan legal formal Indonesia adalah DPR. Ditakutkan dengan adanya dewan
pengawas, akan lahir lagi lembaga mubazir dan menelan APBN. Kemudian, seleksi
dewan pengawas sangat tidak representatif karena dilakukan dengan proses
politik di DPR sehingga rentan pesanan dari DPR. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar