Sabtu, 06 Oktober 2012

Konflik Ketenagakerjaan


Konflik Ketenagakerjaan
Novri Susan ;  Sosiolog Konflik Unair: PhD Candidate Conflict Management and Democracy, The School of Global Studies Doshisha University
SINDO, 06 Oktober 2012


Majelis Pekerja Buruh Indonesia melaporkan ada sekitar 2,8 juta pekerja industri melakukan demonstrasi di 21 kota Indonesia, termasuk kota-kota besar seperti di Tangerang, Bogor, Jakarta, Surabaya (Sindonews, 4/10/12).

Tuntutan mendasar para pekerja dalam demonstrasi massal tersebut adalah penghapusan sistem outsourcing, selain isu-isu perbaikan upah dan kesejahteraan. Sistem outsourcing dalam industri nasional merupakan isu yang menciptakan protracted conflict (konflik berkepanjangan). Serangkaian konsekuensi buruk dari konflik berkepanjangan itu bisa mengancam Indonesia, di antaranya iklim investasi memburuk, larinya modal ke luar negeri, dan produktivitas ekonomi nasional melambat. Berhadapan dengan rangkaian konsekuensi ini, seluruh stakeholder terkait bertanggung jawab melakukan transformasi konstruktif untuk keluar dari masalah konflik berkepanjangan di dunia industri nasional.

Masalah Outsourcing

Sistem kerja outsourcing (alih daya/kontrak) secara terminologi tidak dicantumkan di dalam UU No 13/2012 tentang Ketenagakerjaan. Namun secara substantif pada Bab IX Pasal 64, 65, dan 66 dipaparkan konsep dan operasional sistem outsourcing. Pasal 64 menyebutkan bahwa satu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian tertulis.

Kelengkapan peraturan operasional outsourcing diatur dalam Kepmen No Kep.101/ Men/VI/2004 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perizinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/ Buruh dan Inpres No 3 Tahun 2006 tentang paket Kebijakan Iklim Investasi. Isu krusial dalam konteks konflik ketenagakerjaan adalah terkait dengan eksistensi kelembagaan outsourcing dalam sistem industri di Indonesia.

Kalangan pekerja level bawah, terutama pekerja status kontrak, memandang sistem outsourcing bersifat eksploitatif dan memarginalkan hak-hak sebagai pekerja. Sebab pengalaman keseharian sebagai pekerja kontrak memberi justifikasi terhadap realitas eksploitasi dan marginalisasi tersebut. Misal, beban pekerjaan tidak sesuai dengan jumlah upah dan kesejahteraan yang diberikan perusahaan. Beban kerja 40 jam satu minggu hanya mendapatkan rata-rata upah secara nasional sekitar Rp250.000. Beban kerja bisa saja ditambah tanpa kompensasi upah lembur.

Pekerja pun hanya memperoleh upah tanpa jaminan perlindungan kerja dan kesejahteraan. Adapun risiko PHK sepihak tanpa pesangon bisa terjadi kapan pun. Perasaan tereksploitasi dan termarginalisasi dalam sistem outsourcing merupakan realitas para pekerja kontrak secara kolektif. Pada situasi tersebut, pihak mana dalam sistem industri yang bertanggung jawab? Sistem outsourcing, merujuk pada UU No 13/2003,melibatkan perusahaan pengguna pekerja dan perusahaan penyedia pekerja (outsource company).

Perusahaan penyedia tenaga kerja, berdasar Pasal 65 ayat 3, bertanggung jawab memberikan perlindungan kerja. Perlindungan kerja mencakup keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Akan tetapi ayat tersebut tidak memberikan kejelasan kewajiban dan sangsi jika perusahaan penyedia tenaga kerja tidak memberikan perlindungan kerja. Pada Pasal 66 ayat 2 poin b, hanya disebutkan bahwa perselisihan tentang perlindungan adalah tanggung jawab perusahaan penyedia jasa.

Pengawasandansangsiterhadap perusahaan penyedia jasa jika melakukan pelanggaran UU Ketenagakerjaan tidak diregulasi secara jelas dan tegas. Baik kalangan akademisi maupun praktisi bersepakat bahwa sistem outsourcing yang termuat di dalam UU Ketenegakerjaan memiliki persoalan secara konseptual. Hal ini menyebabkan terbukanya peluang penyimpangan dan pelanggaran perusahaan penyedia jasa seperti pengabaian pada pemberian perlindungan kerja K3 pada pekerja kontrak.

Transformasi Konstruktif

Mekanisme kerja kontrak yang hanya diatur melalui tiga pasal merupakan bentuk simplifikasi negara dalam membangun sistem industri nasional. Pada kasus kerja kontrak di Jepang, pemerintah di sana sangat responsif dengan menciptakan produk perundangan secara khusus tentang sistem kerja kontrak melalui hukum tentang pekerja kontrak (haken-ho/dispatch worker law). Hukum tersebut mengatur secara terperinci tentang kelembagaan dan mekanisme kerja kontrak agar kepentingan perusahaan dan pekerja terakomodasi.

Selain itu, pengawasan dan sangsi pemerintah Jepang terhadap perusahaan-perusahaan penyedia jasa sangat tegas. Pelanggaran terhadap isi hukum seperti tentang perlindungan kerja akan ditindaklanjuti dengan pencabutan izin perusahaan penyedia jasa. Adapun pada praktik sistem outsourcing di Indonesia, pelanggaran- pelanggaran perusahaan penyedia jasa sering kali lepas dari pengawasan dan sangsi oleh pemerintah. Eksistensi sistem kerja kontrak di Jepang pun bukan tanpa protes dari serikat pekerja.

Walaupun demikian, serikat pekerja di Jepang memperjuangkan perubahan sistem ketenagakerjaan melalui mekanisme politik formal di parlemen. Proses deliberasi dan negosiasi berlangsung dengan wakil-wakil rakyat (legislator) yang akan meneruskan aspirasi ke sidang legislasi secara serius. Pada saat bersamaan, para pekerja memberikan komitmen terhadap tanggung jawab pekerjaan di perusahaan walaupun sedang dalam perjuangan mengubah kebijakan tentang hukum pekerja kontrak.

Oleh sebab itu, peristiwa mogok buruh di Jepang tidak pernah terjadi. Hasil dialektika dari pemerintah yang responsif terhadap kepentingan pelaku dunia industri, kebiasaan politik memanfaatkan mekanisme politik formal, dan budaya pekerja dalam menghargai tanggung jawab pekerjaannya telah mendorong Jepang menjadi negara yang sukses dalam transformasi ketenagakerjaan nasional. Transformasi konstruktif yang mampu menjaga kepentingan pemerintah, swasta, dan pekerja sehingga produktivitas ekonomi terjaga.

Seluruh stakheolders dalam konflik ketenagakerjaan di Indonesia perlu belajar dari proses simultan transformasi konstruktif ketenagakerjaan di Jepang. Kerja sama konstruktif antara pemerintah, perusahaan, dan pekerja merupakan kunci transformasi ketenagakerjaan yang mampu menjawab kepentingan seluruh pihak.Pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif, perlu memulai langkah responsif dengan melakukan pembenahan terhadap sistem ketenagakerjaan. Termasuk di dalamnya penguatan mekanisme pengawasan dan sangsi terhadap perusahaan yang melanggar hukum.

Perusahaan pun harus terbuka pada aspirasi para pekerja, sedangkan para pekerja perlu membiasakan diri dan percaya pada penggunaan politik formal tanpa perlu meninggalkan tanggung jawab pekerjaan. Melalui proses simultan inilah tercipta transformasi konstruktif ketenagakerjaan yang mampu mengatasi konflik berkepanjangan di dunia industri nasional.

Misi industri nasional untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menguatnya iklim bisnis, dan membangun kualitas kesejahteraan pekerja pun bisa tercapai.
● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar