Jokowi-Waha
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
SINDO,
06 Oktober 2012
Sebelum
tampil bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam acara televisi (TV) yang
dipandu Slamet Rahardjo, saya mengatakan bahwa busa-busa kegembiraan, euforia,
akan makin menunggu sampai pelantikan nanti.
Kalau
masyarakat biasa sampai mengajak anak-istri berpotret bersama di depan spanduk
foto Joko Widodo (Jokowi)-Ahok, itu lebih dari sekadar bukti. Bahwa pemilihan
gubernur DKI telah menggerakkan hati masyarakat, bahwa ini menjadi pesta
meriah. Seolah pesta pernikahan, wiwaha, di mana kegembiraan dan harapan,
keinginan besar kecil bergegas diwujudkan.
Kekuatan Mendengar
Tahun lalu, di harian ini di halaman ini, saya sudah menulis “Jokowi untuk DKI-1?”, (17 Desember 2011), padahal yang bersangkutan belum dicalonkan dan nama wakilnya belum muncul sama sekali. Saya melihat kemungkinan nama Jokowi bersaing dan bertanding ada, sementara PDI-P masih saja ragu: mengangkat bendera sendiri atau bernaung dalam payung incumbent. Sejarah mencatat kemudian, apa yang terjadi sekarang ini. Keterpilihannya karena masyarakat menghendaki, dan bukan kehendak elite politik, atau keinginan partai politik, atau kuasa dana.
Pilihan masyarakat yang melihat sesuatu yang baru. Sebagaimana terlihat pada baju kotak-kotak. Kotak-kotak adalah paradigma yang berbeda dibandingkan warna merah, biru, kuning, atau hijau. Keberadaannya untuk bersapa dan “berada di antara masyarakat”, secara wadag, secara fisik, juga merupakan berbeda dari yang ada. Tidak dalam memberi instruksi, tidak dalam memerintah, melainkan mendengarkan. Kekuatan utama ini seharusnya menjadi pegangan pendekatan yang mewujud nyata dalam program 90 hari— tidak selalu harus diberi nama 100 hari, dalam menjaring aspirasi.
Bayangan saya, di antara program-program utama seperti jaminan dan kesehatan, barangkali muncul dan ditangani program yang tak direncanakan, yang muncul dari mendengarkan. Misalnya saja yang selama ini telantar, Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang semua orang mengatakan penting dan perlu dikembangkan. Yang ternyata memalukan dan tak ada perhatian sama sekali. Misal yang lain pasti sangat banyak dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan segera seketika. Dan tak bernama “proyek” yang berarti penggelembungan atau bahkan sumber korupsi. Kekuatan mendengar adalah menangkap kebutuhan yang sesuai, dan menyelesaikan secara mendasar.
Dinamika masyarakat akan terjadi dengan sendirinya, dan kemandirian— dalam pengertian bukan terus bergantung, akan menemukan bentuknya. Ibarat kata, dalam menaikkan pesawat terbang, semua tenaga dikerahkan tapi juga sekaligus dihemat—kalau perlu lampu kabin dimatikan, agar pesawat bisa mencapai ketinggian tertentu, dan bisa melaju dengan aman. Setelah itu, pilot atau pramugari bisa jalan-jalan sambil bersapa.
Kekuatan Kerja Sama
Kekuatan kedua pasangan gubernur DKI pilihan rakyat ini, adalah dengan birokrasi, dengan para petinggi negeri. Karena Jakarta adalah ibu kota, karena Jakarta warganya ada yang menjadi presiden, dan wakil, para menteri, dan istrinya, duta besar, atau jabatan apa saja. Semua jabatan dan profesi ada. Kalau diumpamakan penjara, Jakarta lebih mirip LP Cipinang.
Di sini semua napi dari berbagai profesi dan jabatan—meski sudah mantan—ada, di samping yang abal-abal. Ini memerlukan seni diplomasi yang berbeda dengan pendekatan pada masyarakat, namun arus utamanya bisa sama. Bahwa kerja sama membentuk “Jakarta Baru” adalah kepentingan dan keuntungan untuk semua, yang dirasakan dan dirayakan bersama. Bukan kemenangan satu pihak dan membuat cemburu pihak lain. Sehingga pawiwahan, pesta pernikahan ini menandai kebersamaan antara yang punya gawe, antara mertua dan besan sekaligus.
Dan kemungkinan ini bisa segera terjadi dalam suasana penuh semangat, setelah busa-busa pesta usai. Secara pribadi, saya melihat dua kekuatan ini bisa berjalan. Saya sendiri bukan anggota tim sukses, bukan juga anggota atau kader partai pendukung atau yang berlawanan. Saya mengenal pak wali—sebutan saat itu, ketika mengubah wajah Solo, dan menuliskan dalam buku Kitab Solo.
Semangat kerja keras, kadang juga keras kepala, tak kunjung reda. Kalau ada saat galau, itu saya rasakan seminggu sebelum pilkada kedua berlangsung. Saat itu saya diundang ceramah di Sekolah Marsudirini Solo dan sempat bertemu sebelum lari ke bandara. Saat itu ada festival budaya, semacam kirab, dari para peserta. Jokowi didaphuk, dicasting memakai pakaian Kresno, sedang wakilnya tampil sebagai Bima.
Pakaian sudah disiapkan, pawai sudah mulai. Saat terakhir, Jokowi dan wakilnya memilih tidak tampil sebagai tokoh wayang orang, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang berada di pinggir jalan. Saya malah ketiban sampur, kebagian peran mendadak, untuk didandani dan naik kuda di jalan raya. Dan pesta pun terus berjalan. ●
Kekuatan Mendengar
Tahun lalu, di harian ini di halaman ini, saya sudah menulis “Jokowi untuk DKI-1?”, (17 Desember 2011), padahal yang bersangkutan belum dicalonkan dan nama wakilnya belum muncul sama sekali. Saya melihat kemungkinan nama Jokowi bersaing dan bertanding ada, sementara PDI-P masih saja ragu: mengangkat bendera sendiri atau bernaung dalam payung incumbent. Sejarah mencatat kemudian, apa yang terjadi sekarang ini. Keterpilihannya karena masyarakat menghendaki, dan bukan kehendak elite politik, atau keinginan partai politik, atau kuasa dana.
Pilihan masyarakat yang melihat sesuatu yang baru. Sebagaimana terlihat pada baju kotak-kotak. Kotak-kotak adalah paradigma yang berbeda dibandingkan warna merah, biru, kuning, atau hijau. Keberadaannya untuk bersapa dan “berada di antara masyarakat”, secara wadag, secara fisik, juga merupakan berbeda dari yang ada. Tidak dalam memberi instruksi, tidak dalam memerintah, melainkan mendengarkan. Kekuatan utama ini seharusnya menjadi pegangan pendekatan yang mewujud nyata dalam program 90 hari— tidak selalu harus diberi nama 100 hari, dalam menjaring aspirasi.
Bayangan saya, di antara program-program utama seperti jaminan dan kesehatan, barangkali muncul dan ditangani program yang tak direncanakan, yang muncul dari mendengarkan. Misalnya saja yang selama ini telantar, Dokumentasi Sastra HB Jassin, yang semua orang mengatakan penting dan perlu dikembangkan. Yang ternyata memalukan dan tak ada perhatian sama sekali. Misal yang lain pasti sangat banyak dan sebenarnya bisa diselesaikan dengan segera seketika. Dan tak bernama “proyek” yang berarti penggelembungan atau bahkan sumber korupsi. Kekuatan mendengar adalah menangkap kebutuhan yang sesuai, dan menyelesaikan secara mendasar.
Dinamika masyarakat akan terjadi dengan sendirinya, dan kemandirian— dalam pengertian bukan terus bergantung, akan menemukan bentuknya. Ibarat kata, dalam menaikkan pesawat terbang, semua tenaga dikerahkan tapi juga sekaligus dihemat—kalau perlu lampu kabin dimatikan, agar pesawat bisa mencapai ketinggian tertentu, dan bisa melaju dengan aman. Setelah itu, pilot atau pramugari bisa jalan-jalan sambil bersapa.
Kekuatan Kerja Sama
Kekuatan kedua pasangan gubernur DKI pilihan rakyat ini, adalah dengan birokrasi, dengan para petinggi negeri. Karena Jakarta adalah ibu kota, karena Jakarta warganya ada yang menjadi presiden, dan wakil, para menteri, dan istrinya, duta besar, atau jabatan apa saja. Semua jabatan dan profesi ada. Kalau diumpamakan penjara, Jakarta lebih mirip LP Cipinang.
Di sini semua napi dari berbagai profesi dan jabatan—meski sudah mantan—ada, di samping yang abal-abal. Ini memerlukan seni diplomasi yang berbeda dengan pendekatan pada masyarakat, namun arus utamanya bisa sama. Bahwa kerja sama membentuk “Jakarta Baru” adalah kepentingan dan keuntungan untuk semua, yang dirasakan dan dirayakan bersama. Bukan kemenangan satu pihak dan membuat cemburu pihak lain. Sehingga pawiwahan, pesta pernikahan ini menandai kebersamaan antara yang punya gawe, antara mertua dan besan sekaligus.
Dan kemungkinan ini bisa segera terjadi dalam suasana penuh semangat, setelah busa-busa pesta usai. Secara pribadi, saya melihat dua kekuatan ini bisa berjalan. Saya sendiri bukan anggota tim sukses, bukan juga anggota atau kader partai pendukung atau yang berlawanan. Saya mengenal pak wali—sebutan saat itu, ketika mengubah wajah Solo, dan menuliskan dalam buku Kitab Solo.
Semangat kerja keras, kadang juga keras kepala, tak kunjung reda. Kalau ada saat galau, itu saya rasakan seminggu sebelum pilkada kedua berlangsung. Saat itu saya diundang ceramah di Sekolah Marsudirini Solo dan sempat bertemu sebelum lari ke bandara. Saat itu ada festival budaya, semacam kirab, dari para peserta. Jokowi didaphuk, dicasting memakai pakaian Kresno, sedang wakilnya tampil sebagai Bima.
Pakaian sudah disiapkan, pawai sudah mulai. Saat terakhir, Jokowi dan wakilnya memilih tidak tampil sebagai tokoh wayang orang, melainkan sebagai bagian dari masyarakat yang berada di pinggir jalan. Saya malah ketiban sampur, kebagian peran mendadak, untuk didandani dan naik kuda di jalan raya. Dan pesta pun terus berjalan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar