Ketoprak yang
Tidak Lagi Lucu
Franz Magnis-Suseno ; Guru Besar Emeritus STF Driyarkara
|
KOMPAS,
06 Oktober 2012
Menurut para ahli, jumlah orang ”PKI” dan
”terlibat” yang dibunuh pada Oktober 1965-Februari 1966 minimal setengah juta
dan maksimal 3 juta orang. Angka terakhir disebut oleh Sarwo Edhie, Komandan
Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu.
Kalaupun kita mengasumsikan angka korban
terkecil (500.000 orang), pembunuhan itu masih termasuk empat pembantaian
paling mengerikan yang pernah dilakukan umat manusia dalam bagian kedua abad
ke-20.
Yang pertama adalah kematian 30 juta orang
atau lebih di China akibat ”kebijaksanaan” politik Mao Zedong. Kedua,
pembunuhan 2 juta orang oleh rezim Pol Pot di Kamboja.
Ketiga, pembunuhan
800.000 orang Tutsi dalam aksi genosida di Rwanda.
Sempat muncul omongan
pemerintah mau minta maaf. Namun, sekarang justru mereka yang dibunuh dan
jutaan korban lain yang ditahan, disiksa, diperkosa, tanpa jelas apa
kesalahannya, yang disuruh minta maaf lebih dahulu!
Peristiwa Kelam
Betul, saya sepakat bahwa komunisme adalah
ideologi jahat dan PKI merupakan ancaman serius. Saya pun merasa lega ancaman
PKI tidak ada lagi.
Dalam Peristiwa Madiun 1948 dikatakan bahwa
para pemberontak yang dipimpin Muso membunuh sekitar 4.000 orang, banyak di
antaranya ulama dan tokoh agama lokal. Bisa dimengerti bahwa ingatan terhadap
peristiwa itu tidak padam.
Jelas juga, saya mengalami dan turut
merasakan, pada 1965 suasana begitu serius. Ada semacam perasaan ”kami atau
mereka”. Dalam udara, bau akan terjadi perang Bharatayudha begitu kuat.
Semua itu menjadi latar belakang mengapa sesudah
Gerakan 30 September bergerak, suatu pemecahan damai— yang didambakan Presiden
Soekarno, jauh dari apa yang membara dalam masyarakat—sepertinya tidak mungkin.
Mari kita urutkan lagi. Peristiwa tahun 1948
korbannya 4.000 orang, kemudian antara 1948-1965 korban mati akibat keganasan
PKI masih bisa dihitung dengan jari dua tangan, dan terakhir peristiwa 1965.
Sepanjang 1965-1966 ada 500.000 orang dibunuh, hampir 2 juta orang ditangkap
(angka yang pernah disebutkan Sudomo, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban atau Kopkamtib 1978-1988), dan ratusan ribu ditahan lebih dari 10
tahun tanpa pengadilan, sering dalam keadaan amat tidak manusiawi.
Ini belum termasuk 10 juta orang yang
distigmatisasi, dihancurkan identitasnya sebagai warga negara, dihina,
dipersetan. Dan, sekarang mereka yang harus minta maaf? Bagaimana itu?
Perlu diperhatikan, pembunuhan yang
melibatkan masyarakat—biasanya ormas pemuda— terjadi tidak hanya di Jawa Timur,
tetapi juga di Bali, Flores, Sumatera Utara, dan beberapa tempat lain. Artinya,
pembunuhan itu bukan urusan satu golongan atau kelompok saja. Yang jelas, yang
bertanggung jawab atas kejahatan itu adalah militer. Adalah tidak mungkin
rakyat terlibat dalam pembunuhan tanpa mendapat petunjuk dan angin oleh
militer.
Sekarang dikatakan bahwa pembunuhan dalam
ukuran genosida itu perlu karena ”kalau peristiwa itu tak terjadi, negara kita
tak akan seperti sekarang”.
Memang, pernyataan itu ada benarnya. Tanpa
Gerakan 30 September, Jenderal Soeharto tidak akan menjadi Presiden RI dan
seluruh sistem Orde Baru tidak akan ada. Namun, mengatakan bahwa bangsa
Indonesia hanya bisa selamat setelah membunuhi ratusan ribu warga dan
mencelakakan puluhan juta lainnya, sungguh keterlaluan. Saya jadi ngeri. Siapa
lagi yang lantas perlu dibunuh agar bangsa ini bisa lebih maju lagi?
Omong Kosong Besar
Tentu saja ada nonsense, omong kosong, besar
dalam ucapan itu. Nonsense yang mudah dimengerti alasannya. Nonsense itu seenaknya mencampurkan tiga tahap
pasca-G30S. Pertama, penumpasan
pasukan yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan di Jakarta dan Yogyakarta
pada 1 Oktober 1965.
Kedua,
pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang PKI yang baru mulai tiga minggu
kemudian di Jawa Tengah sesudah Sarwo Edhie Wibowo sampai dengan pasukan
RPKAD-nya.
Tahap ketiga
dimulai sesudah Soeharto pada 11 Maret mengambil alih kekuasaan dari Presiden
Soekarno. Terjadilah penangkapan, penahanan, dan penghancuran basis kehidupan
lewat stigmatisasi sebagai pengkhianat bangsa dan penghinaan besar-besaran
(ingat fitnah kotor terhadap Gerwani) yang sepenuhnya terjadi pada era
Soeharto.
Yang betul adalah bahwa andai
kata sesudah 1 Oktober 1965 PKI oleh militer dinyatakan dibekukan, lalu semua
kantor PKI ditutup/diduduki (sebagaimana memang terjadi), dan organisasi-organisasi
yang dianggap berafiliasi dengan PKI dilarang, selesailah ancaman komunis. Tak
perlu seorang pun dibunuh (kecuali yang terlibat dalam Gerakan 30 September
1965 pantas dihukum sesuai peran mereka).
Dengan mencampurkan tiga tahap
di atas, seakan-akan kejahatan tahap kedua dan ketiga bisa ditutup-tutupi.
Maka, yang kita saksikan sekarang bak ketoprak di pasar malam, tetapi tidak ada
lucunya. Sungguh ini zaman edan, zaman kalabendu, di mana para korban disuruh
minta maaf hanya karena ingin sedikit keadilan.
Tuhan
ampunilah kita semua. ●
'Hari Kesaktian Pancasila' (1 Oktober 1965) memang patut kita syukuri. Tapi 'Hari Hari Kelam' setelah itu (sebagaimana yg disampaikan oleh Romo Magnis dan mengacu pada sila-sila yg terdapat dalam Pancasila) memang patut kita sesali....
BalasHapus