Sabtu, 13 Oktober 2012

“Konflik” Keagamaan


“Konflik” Keagamaan
Nazar Nurdin ;  Peneliti Muda di Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang
SUARA KARYA, 12 Oktober 2012
  
Kalau disimak bersama, semua kitab suci dalam agama-agama mengandung ajaran yang bersifat ekslusif (tertutup). Ajaran demikian tentunya akan menjadi berbahaya jika disampaikan di depan publik. Selama ini, semua agama mengajarkan makna kebaikan. Agama sangat minim mengajarkan sisi pertentangan, pembunuhan, dan sisi buruk lainnya.
Padahal, ada ayat-ayat dalam kitab suci agama-agama yang berbicara masalah kekerasan. Umumnya, potongan ayat ini yang dijadikan dasar untuk menggelar 'pesta' kekerasan kepada umat lain. Hingga pada akhirnya menimbulkan kesan, bahwa tidak ada tempat bagi suatu golongan yang berbeda dengan dirinya, kemudian ditempatkan dalam satu level bawah dan dinistakan mendapat hak yang berbeda. Nah, di sini bisa dilihat seara seksama bahwa orang yang beragama pada saat bersamaan bisa menjadi pemicu dan pengendali sebuah konflik.
Pada dasarnya, masalah yang paling mendasar dalam sebuah konflik beragama adalah adanya teks legitimat yang melekat pada suatu konflik. Sementara aspek-aspek lainnya, semisal politik, agama, dan ekonomi bisa menambah konflik hingga semakin melebar.
Dalam kelompok agama-agama, misalnya, kelompok Islam selalu mengkhawatirkan adanya gerakan pemindahan agama secara massal, dari Islam menjadi agama selain Islam. Didasarkan atas kekhawatiran ini, mereka berjuang atas nama agama Islam. Kasus di Temanggung dengan tindakan sejumlah ormas Islam sangat mendukung gerakan perjuangan ini.
Dalam posisi demikian, tentunya gerakan yang didorong dengan pemahaman agama yang tekstual bisa difahami sekaligus dihindari oleh banyak pihak. Kelompok tersebut tidak segan berkampanye bahwa orang-orang Islam jumlahnya semakin mengecil. Apalagi, ketika mendiskusikan soal sekularisme, liberalisme, kebanyakan mereka dengan berani mengatakan orang Islam kian hari kian menyusut.
Soal kelompok Islam yang mendasarkan diri pada ajaran agama secara khusus (fundamental) atau yang lain merupakan suatu pilihan beragama. Konflik agama selain dasar teks agama, juga bisa muncul dari masalah ekonomi-politik. Bahkan, pada suatu waktu ketika pasca terbangun sebuah kesepakatan antara satu pihak dengan pihak lain, kelompok Islam tertentu bisa memulai sebuah konflik besar. Jadi, pendasaran atas pemahaman tekstual tidak saja menjadi dasar semata, namun ia juga menjadi 'roh' yang membuat seseorang menjadi begitu bersemangat hingga menjadi sumber pemicu konflik hubungan kehidupan beragama saat ini.
Konflik membesar umumnya terjadi atas permainan media. Bagaimanapun media bisa memerankan peran ganda, yakni menciptakan keharmonisan ataupun kerusuhan dalam masyarakat. Media tinggal memilih mana posisi yang paling menguntungkan bagi keberadaan sebuah media dan pemihakan terhadap kepentingan kelompok tertentu. Di Solo, ada beberapa institusi gerakan Islam radikal yang memahami ajaran agama Islam secara fundamental. Kelompok ini biasanya anti Barat. Mereka terus menggalang demonstrasi dengan tujuan untuk menggoyang kekuasaan.
Ada juga mantan jihadi Afganistan yang kemudian melihat Indonesia sebagai negara thagut. Maka, mereka senantiasa merubah peta langkah-langkah jihad mereka. Pada umumnya, mereka tidak menguasai basis Nusantara, dan masih dipengaruhi oleh doktrin-doktrin luar. Mestinya dasar kearifan lokal Nusantara bisa menjadi salah satu rujukan utama. Jika tidak, tentunya kecintaan atas Nusantara tidak didasarkan atas kearifan bangsa ini.
Di tempat yang sama pula, tahlil bagi orang-orang Nahdlatul Ulama menjadi tradisi dianggap oleh sebagian pihak dinilai haram. Di sini terjadi konflik laten antara kelompok satu dan kelompok lainnya. Media bisa memperparah kondisi konflik ketika mengambil berita pertarungan kedua kelompok yang bertikai tersebut.
Hormati Minoritas
Regulasi penyiaran agama juga menyimpan masalah serius, terutama berkaitan dengan penyiaran terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas, semisal komunitas Samin yang sebenarnya punya 'agama', dengan dasar pemerintah justru dinilai tidak mempunyai agama. Pemerintah juga terkesan tidak memberikan kesempatan bagi kelompok minoritas untuk menyampaikan argumen yang menjadi pijakan mereka.
Adanya kebebasan beragama mestinya juga harus menyentuh lapisan bawah masyarakat. Selama ini, dogma kebebasan beragama dianggap hanya sebagai obrolan ilmiah, tanpa ada fakta yang menjadi rujukan. Untuk itu, kebebasan beragama bisa mengadopsi pola baru agar bisa sampai pada golongan minoritas, sehingga kebebasan beragama benar-benar bias dinikmati golongan minoritas.
Konflik terhadap kelompok minoritas, khususnya di komunitas Samin lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Komunitas Samin menganggap pemerintah selalu memaksa, dan memaksakan kehendak.
Menurut Pak Budi, tokoh Samin di Undaan Kudus seringkali didatangi oleh pemerintah desa setempat. Juga, berkaitan dengan masalah sosial. Ketika mengawini orang di luar Samin harus menikah secara adat orang yang dinikahi. Bagi Kaum Samin, diakui bahwa penekanan pemerintah terhadap kaum Samin secara langsung tidak ada, tetapi secara tidak langsung yang justru seringkali terjadi.
Masalah lain yang muncul adalah fenomena pindah agama. Ada Islamisasi, Kristenisasi, dan lainnya. Dalam posisi ini, kita semestinya berada pada posisi yang sama. Harus disadari bahwa satu agama mempunyai potensi konflik yang besar terhadap agama lain. Oleh sebab itu, da'wah agama sebaiknya ditampilkan untuk menguatkan doktrin dan mengajak mereka yang tidak beragama. Dengan demikian, da'wah agama bisa dilakukan dalam kapasitas saling menghormati dengan dilandasi spirit kebebasan beragama. Sehingga, kekacauan konflik intra dan antarumat beragama semakin terkurangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar