“Konflik”
Keagamaan
Nazar Nurdin ; Peneliti
Muda di Lembaga Studi Sosial dan Agama Semarang
|
SUARA
KARYA, 12 Oktober 2012
Kalau
disimak bersama, semua kitab suci dalam agama-agama mengandung ajaran yang
bersifat ekslusif (tertutup). Ajaran demikian tentunya akan menjadi berbahaya
jika disampaikan di depan publik. Selama ini, semua agama mengajarkan makna
kebaikan. Agama sangat minim mengajarkan sisi pertentangan, pembunuhan, dan
sisi buruk lainnya.
Padahal,
ada ayat-ayat dalam kitab suci agama-agama yang berbicara masalah kekerasan.
Umumnya, potongan ayat ini yang dijadikan dasar untuk menggelar 'pesta'
kekerasan kepada umat lain. Hingga pada akhirnya menimbulkan kesan, bahwa
tidak ada tempat bagi suatu golongan yang berbeda dengan dirinya, kemudian
ditempatkan dalam satu level bawah dan dinistakan mendapat hak yang berbeda.
Nah, di sini bisa dilihat seara seksama bahwa orang yang beragama pada saat
bersamaan bisa menjadi pemicu dan pengendali sebuah konflik.
Pada
dasarnya, masalah yang paling mendasar dalam sebuah konflik beragama adalah
adanya teks legitimat yang melekat pada suatu konflik. Sementara aspek-aspek
lainnya, semisal politik, agama, dan ekonomi bisa menambah konflik hingga
semakin melebar.
Dalam
kelompok agama-agama, misalnya, kelompok Islam selalu mengkhawatirkan adanya
gerakan pemindahan agama secara massal, dari Islam menjadi agama selain
Islam. Didasarkan atas kekhawatiran ini, mereka berjuang atas nama agama
Islam. Kasus di Temanggung dengan tindakan sejumlah ormas Islam sangat
mendukung gerakan perjuangan ini.
Dalam
posisi demikian, tentunya gerakan yang didorong dengan pemahaman agama yang
tekstual bisa difahami sekaligus dihindari oleh banyak pihak. Kelompok
tersebut tidak segan berkampanye bahwa orang-orang Islam jumlahnya semakin
mengecil. Apalagi, ketika mendiskusikan soal sekularisme, liberalisme,
kebanyakan mereka dengan berani mengatakan orang Islam kian hari kian
menyusut.
Soal
kelompok Islam yang mendasarkan diri pada ajaran agama secara khusus
(fundamental) atau yang lain merupakan suatu pilihan beragama. Konflik agama
selain dasar teks agama, juga bisa muncul dari masalah ekonomi-politik.
Bahkan, pada suatu waktu ketika pasca terbangun sebuah kesepakatan antara
satu pihak dengan pihak lain, kelompok Islam tertentu bisa memulai sebuah
konflik besar. Jadi, pendasaran atas pemahaman tekstual tidak saja menjadi
dasar semata, namun ia juga menjadi 'roh' yang membuat seseorang menjadi
begitu bersemangat hingga menjadi sumber pemicu konflik hubungan kehidupan
beragama saat ini.
Konflik
membesar umumnya terjadi atas permainan media. Bagaimanapun media bisa
memerankan peran ganda, yakni menciptakan keharmonisan ataupun kerusuhan
dalam masyarakat. Media tinggal memilih mana posisi yang paling menguntungkan
bagi keberadaan sebuah media dan pemihakan terhadap kepentingan kelompok
tertentu. Di Solo, ada beberapa institusi gerakan Islam radikal yang memahami
ajaran agama Islam secara fundamental. Kelompok ini biasanya anti Barat.
Mereka terus menggalang demonstrasi dengan tujuan untuk menggoyang kekuasaan.
Ada
juga mantan jihadi Afganistan yang kemudian melihat Indonesia sebagai negara
thagut. Maka, mereka senantiasa merubah peta langkah-langkah jihad mereka.
Pada umumnya, mereka tidak menguasai basis Nusantara, dan masih dipengaruhi
oleh doktrin-doktrin luar. Mestinya dasar kearifan lokal Nusantara bisa
menjadi salah satu rujukan utama. Jika tidak, tentunya kecintaan atas
Nusantara tidak didasarkan atas kearifan bangsa ini.
Di
tempat yang sama pula, tahlil bagi orang-orang Nahdlatul Ulama menjadi
tradisi dianggap oleh sebagian pihak dinilai haram. Di sini terjadi konflik
laten antara kelompok satu dan kelompok lainnya. Media bisa memperparah
kondisi konflik ketika mengambil berita pertarungan kedua kelompok yang
bertikai tersebut.
Hormati
Minoritas
Regulasi
penyiaran agama juga menyimpan masalah serius, terutama berkaitan dengan
penyiaran terhadap kelompok minoritas. Kelompok minoritas, semisal komunitas
Samin yang sebenarnya punya 'agama', dengan dasar pemerintah justru dinilai
tidak mempunyai agama. Pemerintah juga terkesan tidak memberikan kesempatan
bagi kelompok minoritas untuk menyampaikan argumen yang menjadi pijakan
mereka.
Adanya
kebebasan beragama mestinya juga harus menyentuh lapisan bawah masyarakat.
Selama ini, dogma kebebasan beragama dianggap hanya sebagai obrolan ilmiah,
tanpa ada fakta yang menjadi rujukan. Untuk itu, kebebasan beragama bisa
mengadopsi pola baru agar bisa sampai pada golongan minoritas, sehingga
kebebasan beragama benar-benar bias dinikmati golongan minoritas.
Konflik
terhadap kelompok minoritas, khususnya di komunitas Samin lebih banyak
dilakukan oleh pemerintah. Komunitas Samin menganggap pemerintah selalu
memaksa, dan memaksakan kehendak.
Menurut
Pak Budi, tokoh Samin di Undaan Kudus seringkali didatangi oleh pemerintah
desa setempat. Juga, berkaitan dengan masalah sosial. Ketika mengawini orang
di luar Samin harus menikah secara adat orang yang dinikahi. Bagi Kaum Samin,
diakui bahwa penekanan pemerintah terhadap kaum Samin secara langsung tidak
ada, tetapi secara tidak langsung yang justru seringkali terjadi.
Masalah lain yang
muncul adalah fenomena pindah agama. Ada Islamisasi, Kristenisasi, dan
lainnya. Dalam posisi ini, kita semestinya berada pada posisi yang sama.
Harus disadari bahwa satu agama mempunyai potensi konflik yang besar terhadap
agama lain. Oleh sebab itu, da'wah agama sebaiknya ditampilkan untuk
menguatkan doktrin dan mengajak mereka yang tidak beragama. Dengan demikian,
da'wah agama bisa dilakukan dalam kapasitas saling menghormati dengan dilandasi
spirit kebebasan beragama. Sehingga, kekacauan konflik intra dan antarumat
beragama semakin terkurangi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar