Senin, 08 Oktober 2012

Kita Biarkan yang Istimewa Tumpah di Jalan

Kita Biarkan yang Istimewa Tumpah di Jalan
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 8 Oktober 2012


Pelajar berkelahi itu sudah lumrah. Orang-orang tua juga berkelahi dan seolah memberi contoh. Pelajar berkelahi dalam kelompok, tawuran juga lumrah karena orang tua tawuran antardesa juga terjadi. Berkelahi di sekolah akan memperoleh sanksi sekolah. Buat sebagian anak, sanksi itu menakutkan. Tapi anak bandel, yang memiliki agresivitas dan energi berlebihan, tak peduli sanksi, tak peduli larangan. Petuah, nasihat, pembinaan— dan semua hal yang normatif— hanya membosankan. Mereka melawan guru, melawan orang tua, dan melawan otoritas lain di dalam masyarakat.

Semua mereka lawan, tak bisa memberi sesuatu yang mereka dambakan di dalam hidup. Mereka sedang “mencari” kesejatian diri, identitas diri, dan nilai-nilai yang tak pernah dimiliki guru maupun orang tua di sekitar mereka. Perkelahian satu lawan satu merupakan ukuran jiwa kesatria. Ujian ketangkasan dan kekuatan jiwa maupun raga ditentukan di situ. Yang kalah mengakui kelebihan yang menang, damai pun mengikuti.

Tak ada dendam. Tak ada dengki sesudahnya. Boleh jadi, sesudah perkelahian macam itu mereka bersahabat. Itulah jiwa kesatria. Dalam dunia para jagoan, para kesatria sejati, berkelahi satu lawan satu disebut perang tanding. Kata itu muncul dalam perang di mana sepasukan prajurit melawan pasukan musuh. Mereka yang memanggul dendam terhadap seseorang memutuskan keluar dari pasukan dan membentuk satu medan tempur tersendiri. Satu lawan satu.

Pertaruhannya nyawa. Kalah atau menang, binasa atau jaya disepakati bersama di bawah aturan dan etika yang dikenal bersama. Di sini tak ada bantu-membantu. Barang siapa menang karena dibantu pihak lain—biarpun bantuan itu tersembunyi—jika kelak akhirnya dia tahu, dia akan kehilangan harga diri. Namanya tercoreng. Hidupnya diliputi noda. Dia merasa “luka”secara sosial. “Luka” abadi yang tak tersembuhkan. Sikap kesatria telah sirna dari tata kehidupan kita.

Satu orang dikeroyok beramai-ramai, dianggap biasa. Semua lawan semua menjadi tradisi di dalam tawuran. Tak ada perasaan “luka”sosial. Harga diri tak pernah terusik. Tak ada rasa malu. Kita bukan kesatria. Di Jakarta ada suatu patologi sosial bernama tawuran pelajar. Prinsip semua lawan semua sudah dianggap hukum kehidupan. Satu anak kurus digecek ramai-ramai dianggap biasa. Tapi mereka tawuran karena suatu alasan psikologis maupun sosial yang jelas.

Mereka sedang mencari sesuatu yang di rumah, di sekolah, dan di masyarakat sudah tak ada. Mereka itu anak-anak yang kecewa dan dikecewakan dalam hidup. Guru bisa menjadi sumber yang mengecewakan. Orang tua, mengapa tidak? Juga masyarakat yang sering begitu kejam kepada anak-anak. Kekecewaan pun menimbulkan agresivitas yang tak terkendali.

Di rumah, di sekolah, di masyarakat, di masjid, di gereja, di rumah ibadah lain, suasananya sama saja: monoton, normatif, kebanyakan aturan palsu, hipokrit, basa-basi, dan penjejalan etika yang berlebihan. Pendeknya, “dunia orang tua” hanya menghalangi “pencarian” mereka. Kita melupakan ungkapan bijak Kahlil Gibran: “Beri anakmu makanan untuk raganya. Tapi jangan kau jejalkan isi pikiranmu kepada jiwa mereka. Anak-anak itu datang darimu. Tapi bukan anakmu. Mereka anak-anak Sang Hidup.”

Orang tua pamer kearifan dan menjejalkannya kepada anak-anak yang sudah punya kearifannya sendiri. Kita pun tak merasa bahwa kita telah berbuat salah pada kehidupan. Sebaliknya, dengan nasihat, petuah, dan petatah-petitih yang meluncur dari mulut seperti air terjun, kita merasa telah berjasa pada dunia. Lalu, jika anak-anak mengabaikannya, disebutlah mereka anak durhaka.

Dan kemudian dikutuk-kutuk. Di pengajian diceritakan sebagai bumbu obralan. Di arisan aib itu pun diumbar, dengan sikap seorang pembebas yang merasa berjasa tadi. Ini merupakan pukulan mematikan bagi jiwa anak bersangkutan. Dia dimarginalisasi, disingkirkan dari pergaulan, yang disebut sopan. Sopan dengan ukuran siapa? Kita tak menyadari bahwa di sini pun kita berbuat salah dan tak adil bagi anak-anak. Guru-guru sering bersikap terlalu normatif. Kepala sekolah tak ada bedanya.

Guru konseling bahkan diam-diam dijauhi anak-anak. Jarak usia, jarak generasi berarti jarak serius. Mereka tak bisa berkomunikasi dan tak mungkin berbagi nilai yang sama, kehendak yang sama, dan cita-cita masa depan yang sama. Jarak ini harus dijembatani. Anak-anak harus bisa dan berani berbicara dengan guru, sama seperti berbicara dengan teman. Tapi guru harus menciptakan lebih dulu suasana psikologis yang bisa membuka kemungkinan itu.

Di dalam momentum macam itu guru bisa memasukkan nilai-nilai orang tua—yang memang agung dan mulia—kepada anak-anak. Di situ makna “pendidikan” sejati berlangsung. Orang tua bertanggung jawab kepada yang muda. Anak muda pun menaruh hormat kepada yang tua. Pendidikan itu kesediaan “memeluk”, mengakomodasi, memberi tempat—di hati— anak yang menjengkelkan, sama seperti guru memperhatikan “anak mami” yang imut-imut, taat, penurut, dan lemah lembut.

Pendidikan, dengan sikap akomodatif, didambakan anak-anak. Mereka minta dimengerti, kemudian menuntut dihargai karena mereka memang berharga. Tapi kita tidak tahu dan selalu keliru. Mengapa pelajar tawuran dikutuk, tapi orang-orang tua, yang memakai simbol keagamaan dan mengaku membela agama, menyerang, menyergap pihak lain yang menyebabkan terjadinya tawuran, dibiarkan, bahkan dipelihara?

Tawuran membuat harmoni kita rusak. Rasa aman, kebanggaan, dan harga diri terkoyak karena tawuran. Tapi selama kekeliruan cara pandang dan egoisme orang dewasa—guru, orang tua, pemimpin masyarakat, pemimpin agama—tak berubah, kita akan tetap hidup di tengah tawuran. Orang dewasa yang keliru dalam memandang hidup dan memandang dunia anak-anak akan menimang-nimang anakanak “mami” yang taat dan patuh, tapi kita membiarkan anak-anak “garang” dan “agresif”, yang juga istimewa, terjerumus di jalan mereka masing-masing.

Kita, orang dewasa, akan tetap memelihara kesadaran palsu tentang anak didik sendiri dan membiarkan yang istimewa tumpah di jalan raya. Kita pun makin jauh dari cita-cita tentang apa yang luhur dan mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar