Senin, 08 Oktober 2012

Kejarlah Daku, Penyidik Kutangkap


Kejarlah Daku, Penyidik Kutangkap
Saifur Rohman ;  Pengajar Program Doktor Universitas Negeri Jakarta
JAWA POS, 8 Oktober 2012


MARKAS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) digerebek oleh Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya Jumat malam (5/10). Polisi menyatakan akan menangkap salah seorang penyidik KPK bernama Kompol Novel Baswedan. Menurut polisi, Baswedan terlibat dalam pembunuhan terhadap warga dalam kasus sarang walet ketika dia menjabat sebagai Kasatreskrim Polres Bengkulu pada 2004. Sebelumnya, Jumat siang, KPK memeriksa tersangka jenderal aktif Irjen (Pol) Djoko Susilo yang terlibat kasus korupsi dalam proyek senilai hampir Rp 200 miliar.

Penggerebekan ini merupakan lanjutan kasus penting dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. KPK justru melihat kasus ini sebagai bentuk rivalitas KPK dan Polri sehingga pimpinan KPK meminta presiden turun tangan. Lembaga kepresidenan sendiri masih bergeming. Benarkah kasus ini merupakan cerminan dualitas institusional dalam penegakan hukum di Indonesia? Apa yang mesti dijadikan pertimbangan utama untuk kebijakan Presiden SBY yang akan diumumkan Selasa ini?

Bukan Cerita Lama

Secara historis, kasus rivalitas memang pernah mengemuka. Publik masih mengingat frasa "cicak versus buaya" yang pernah dilontarkan oleh seorang petinggi Polri. Cicak ibarat KPK, sedangkan buaya adalah Polri. Perumpamaan itu sebetulnya hendak menyatakan, kendati KPK mirip dengan polisi dari sisi bentuk, kekuatan polisi lebih besar. Bentuk buaya berkali-kali lebih besar daripada cicak.

Kerangka pikir "cicak-buaya" itu muncul saat ini manakala KPK sedang menangani kasus yang menimpa salah seorang anggota Polri yang terlibat dalam tindak pidana korupsi (tipikor). Ketika kasus korupsi sumlator SIM dimunculkan oleh KPK, polisi pada saat yang sama mengaku sedang menangani kasus simulator SIM sehingga terkesan ada dualitas penyelidikan. Munculnya kasus itu seakan-akan memberikan kerangka pikir kasus lama yang terulang. Apalagi dualitas itu diperuncing dengan penolakan tersangka suap Irjen Djoko Susilo terhadap panggilan KPK. Susilo menolak karena dia "bingung" dengan institusi yang melakukan penyelidikan.

Kasus kedatangan anggota Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya ke markas KPK tidak bisa diartikan sebagai kedatangan institusi Polri secara resmi. Dinyatakan, cukuplah Polri diwakili oleh beberapa orang saja untuk menyatakan insitusinya. Logika ini disebut dengan logika formal. Logika formal ini mengalami jalan buntu bila dikonfirmasi dalam gerakan antikorupsi di Indonesia. Kasus ini jelaslah bukan dualitas institusional. Bukan pula tabrakan kewenangan dan tanggung jawab pada lembaga-lembaga negara.

Ini cerita bukan tentang korupsi kecil-kecilan. Fakta: Djoko Susilo, seorang jenderal polisi, diduga menerima suap dari Budi Susanto terkait proyek senilai Rp 198,6 miliar. Budi Susanto adalah direktur utama PT Citra Mandiri Metalindo Abadi yang bekerja sama dengan Polri. Selain Budi, tersangka lain yang ditetapkan oleh KPK adalah Sukotjo Bambang (direktur utama PT Inovasi Teknologi Indonesia).

Berdasar UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantsan Korupsi, KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap setiap warga negara korup tanpa diskriminasi. Kewenangan itu membuahkan keputusan untuk memeriksa tersangka. Djoko Susilo dipanggil KPK pada Jumat (28/9/2012) terkait dengan dugaan kasus korupsi. Dia mangkir. Alasannya, dia masih meminta fatwa kepada MA (Mahkamah Agung) perihal kewenangan institusi penyelidik kasus tersebut. Polri atau KPK. Beberapa hari kemudian, MA menolak permohonan tersebut.

Pada Jumat berikutnya (5/10), Djoko Susilo memenuhi panggilan KPK pada pagi hari. Dia diperiksa selama enam jam sejak pukul 09.00. Setelah diperiksa, Djoko Susilo menyatakan bahwa dia telah menaati hukum dengan langkah kedatangannya ke kantor KPK. Tetapi, sebetulnya pernyataan tersebut juga bisa dibalik: Tidak ada lagi logika hukum yang membuat dia untuk mangkir sekali lagi sehingga dia harus mengikuti aturan yang memaksa dia datang ke kantor KPK.

Penjahat yang Menyamar

Pada mulanya, kedatangan itu bisa ditafsirkan sebagai "kekalahan" seorang jenderal aktif di hadapan publik. Tetapi, kekalahan itu bersifat sementara. Sebab, dalam hitungan jam, Polda Bengkulu bersama Polda Metro Jaya menggerebek markas KPK. Polisi beralasan menangkap seorang penyidik KPK yang sekarang ini sedang menangani kasus simulator SIM. Menurut polisi, penyidik tersebut pernah melakukan tindak pidana berupa tindakan pembunuhan terhadap warga dalam kasus sarang walet. Ketika itu (1999-2005) sang penyidik menjadi Kasatreskrim Polres Bengkulu. Penggerebekan itu seakan-akan diartikan sebagai "perlawanan" atas "kekalahan" yang diderita Polri beberapa jam yang lalu. Sebelumnya juga Polri telah melakukan penarikan terhadap 20 penyidik karena dianggap masa tugasnya sudah usai.

Kasus itu seperti balas-membalas. Kerangka pikir bahwa KPK sedang menghadapi Polri sangat menyesatkan. Secara resmi, Kapolri mempersilahkan KPK memeriksa anggota Polri yang terlibat dalam kasus simulator SIM. Kendati itu dapat dianggap sebagai pernyataan normatif, sekurang-kurangnya bisa ditafsirkan sebagai bentuk afirmasi terhadap setiap tindakan hukum terhadap siapa pun yang terlibat korupsi di negeri ini.

Jika cara pandang ini disetujui, KPK sesungguhnya tidak sedang menghadapi Polri, tetapi jaringan yang dipilin rapi oleh para penjahat yang bersarang di tubuh Polri. Perlawanan bukan KPK versus Polri, tetapi KPK versus koruptor.

Dalam kasus yang lain, KPK juga tidak sedang berhadapan dengan institusi legislatif, tetapi para penjahat di dalam institusi Dewan Perwakilan Rakyat. Pendeknya seperti ini: Penjahat telah menyamar jadi polisi, anggota dewan, jaksa, atau para aparat yang duduk di lembaga tinggi negara
. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar