Buruh dan
Pengusaha Harus Kompak
( Wawancara
)
Rekson Silaban ; Ketua Majelis Pengawas Organisasi (MPO)
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(K-SBSI),
Anggota Dewan Pengarah Organisasi Buruh Dunia
(ILO)
|
SUARA
KARYA, 06 Oktober 2012
Aksi mogok kerja dan demonstrasi buruh secara besar-besaran
menuntut dihapuskannya sistem kerja alih daya (outsourcing) dan upah murah terus terjadi. Penyimpangan pelaksanaan
outsourcing dan sistem pengupahan
yang tidak akomodatif terhadap kesejahteraan buruh menjadi sorotan, karena
tidak kunjung terselesaikan.
Di sisi lain, pemerintah seperti melakukan pembiaran dan
menyerahkan masalah yang ada untuk diselesaikan sendiri oleh pihak buruh/pekerja
dan pengusaha. Bahkan, pemerintah cenderung abai dan tidak berani melakukan
tindakan tegas terhadap penyimpangan terhadap penyalahgunaan pelaksanaan outsourcing yang memang diatur dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Untuk mengurai masalah hubungan industrial yang seakan tidak ada
jalan keluarnya, berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya
Andrian Novery dengan Ketua Majelis Pengawas Organisasi (MPO)
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) yang juga anggota Dewan
Pengarah Organisasi Buruh Dunia (ILO) Rekson Silaban.
Aksi mogok nasional dan demonstrasi jalanan oleh sejumlah serikat
pekerja/serikat buruh akhir-akhir ini kian marak. Mereka menuntut pemerintah
menyelesaikan masalah outsourcing dan upah murah. Apakah masalah ini bisa
dicarikan solusinya?
Sejak UU No 13 Tahun 2003 terbit, persoalan outsourcing sudah
menuai persoalan dari buruh. Itulah sebabnya, sejak 2003 sampai sekarang,
setiap kali ada demo buruh pasti mengusung tema penghapusan outsourcing karena
memiskinkan buruh, memicu diskriminasi upah dan melemahkan gerakan buruh. UU
juga membuka munculnya multitafsir terhadap apa yang dimaksud dengan kegiatan
bisnis utama dan bisnis pendukung. Diperparah lagi dengan tiadanya sanksi dalam
UU No 13/2003 bila perusahaan melakukan pelanggaran terhadap outsourcing.
Aksi mogok/demo buruh/pekerja seharusnya merupakan langkah atau
upaya terakhir untuk memperjuangkan nasib mereka. Apakah ini berarti solusi
terkait masalah hubungan industrial ini tidak bisa diselesaikan di forum
bipartit atau tripartit?
Serikat buruh tampaknya mulai bosan merundingkan masalah
outsourcing dengan mekanisme tripartit, karena sudah begitu banyak usulan yang
sudah disampaikan, sudah pernah diteliti oleh 5 universitas dan dikaji LIPI.
Mereka juga sudah memberikan rekomendasi. Tetapi, tidak ada kebijakan yang
dikeluarkan untuk mengurangi penyimpangan outsourcing,
bahkan semakin hari penyimpangan praktik ousourcing
semakin marak.
Pebisnis outsourcing
juga tidak harus memiliki badan hukum. Yayasan, ormas, koperasi, karang taruna
bisa pengelola outsourcing. Hampir semua kegiatan industri seolah bisa di outsourcing. Pengawasan juga tidak
berfungsi efektif meluruskan pelanggaran.
Kalangan pengusaha maupun pengamat atau pemerintah berharap kaum
buruh/pekerja tidak selalu melakukan aksi mogok kerja/demo, karena mengganggu
kegiatan produksi industri dan merugikan perusahaan. Kaum buruh/pekerja lantas
diharapkan lebih mengedepankan dialog atau musyawarah untuk memperjuangkan tuntutannya.
Menurut Anda seperti apa?
Mekanisme dialog dan aksi unjuk rasa dalam UU dimungkinkan
dilakukan oleh buruh. Secara umum sebenarnya buruh lebih suka berunding
ketimbang unjuk rasa atau mogok. Aksi mogok biasanya dilakukan sebagai upaya
terakhir, bila jalan dialog tertutup atau tidak ada harapan, maka akan muncul
solusi. Sebab, buruh juga akan kehilangan sebagian pendapatannya, bila tidak
masuk kerja. Buruh juga menyadari, konsekuensi mogok akan menggangu
produktivitas, membuat macet lalu lintas, menguras dana serikat buruh, dan
lainnya.
Tapi, akibat rendahnya kepercayaan hubungan industrial di
Indonesia, mayoritas buruh belum percaya mekanisme berunding bipartit dan
tripartit bisa menyelesaikan masalah. Kebetulan dalam banyak kasus, banyak
masalah bisa selesai setelah berdemo. Mekanisme yang benar, efisien, dan
berkelanjutan sebenarnya harus melalui dialog, yang perlu ditingkatkan adalah
berunding secara niat baik, saling percaya, transparan.
Kalangan pengusaha dan pemerintah menganggap kondisi
ketenagakerjaan di Indonesia menjadi salah satu penghambat masuknya investasi.
Bahkan kini sudah ada investasi yang hengkang atau pindah ke negara lain,
terutama di ASEAN. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga dianggap tidak cukup baik
dalam mengantisipasi dan menentukan solusi dari masalah yang ada. Tentunya jika
investasi dan sektor industri terganggu, maka perekonomian nasional pun
terancam. Anda melihatnya seperti apa?
Benar! Bila buruh terus demo, akan mempengaruhi investasi. Tetapi,
maraknya demo akhir-akhir ini tidak otomatis membuat investor hengkang. Banyak
faktor yang membuat investor relokasi. Untuk kasus Indonesia sendiri belum
terlihat adanya kasus relokasi atau turunnya investasi asing. Karena, terbukti
investasi asing ke Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.
Klaim pengusaha tentang seringnya demo buruh membuat investor
takut atau relokasi ke negara asing, bertentangan dengan data yang dirilis BKPM
yang menyatakan Indonesia tetap menjadi salah satu tujuan favorit FDI (Foreign Direct Investment) di kawasan
Asia, yang dibuktikan dengan peningkatan volume FDI setiap tahun.
Dari berbagai studi yang dilakukan, faktor pendorong investasi
asing memilih sebuah negara untuk investasi, biasanya dimulai dari (1)
ketersediaan infrastruktur, termasuk energi (2) peraturan investasi dan
perpajakan, (3) faktor keamanan, (4) ketersediaan bahan baku, (5) kecepatan
pengembalian modal (ROI), (6) faktor ketenagakerjaan.
Menurut Anda, apa yang harus dilakukan kalangan pengusaha, buruh,
dan pemerintah untuk menyelesaikan atau mencari solusi dari masalah-masalah
yang ada di bidang ketenagakerjaan? Hal ini terkait aksi demo buruh/pekerja
yang seakan tidak ada habis-habisnya untuk menuntut sesuatu yang sejak dulu sudah
menjadi masalah.
Peta jalan untuk mencapai hubungan industrial yang harmonis di
Indonesia perlu diciptakan. Sekalipun tidak berarti demo buruh hilang. Relasi
buruh dan kapital memiliki potensi konflik yang tidak terhindarkan. Tetapi dari
pengalaman internasional, banyak negara yang sukses meminimalisir konflik buruh
sampai tingkat rendah.
Di Jepang, Jerman, Skandinavia, Brasil, dan Australia, demo buruh
sangat jarang terjadi, karena mereka memikiki mekanisme preventif untuk
menghindari konflik. Banyaknya konflik industrial di Indonesia adalah bukti
belum ditemukannya sistem hubungan industrial yang rendah konflik. Indonesia
memang telah memiliki hubungan industrial dengan rumusan indah harmonis dan
berkeadilan.
Tetapi tidak memiliki panduan teknis operasional
merealisasikannya. Salah satu, misalnya, cara menurunkan konflik adalah dengan
mengharuskan adanya pertemuan reguler CEO dengan wakil buruh di setiap
perusahaan untuk menerima masukan, tanpa dihadiri HRD.
Di tingkat wilayah dan nasional harus ada keharusan kepala daerah
dan Presiden RI berkonsultasi dengan pemimpin buruh. Minimal 6 kali dalam
setahun. Asumsinya jelas, bila kita sering berdialog, akan mengurangi tensi
konflik, mempersempit kecurigaan, mendekatkan hubungan saling menghargai.
Inilah yang dilakukan negara-negara industri maju. Bahkan di Jepang, serikat
buruh JTU Rengo bisa ketemu perdana menteri Jepang 12 kali dalam setahun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar