Minggu, 07 Oktober 2012

Buruh dan Pengusaha Harus Kompak


Buruh dan Pengusaha Harus Kompak
( Wawancara )
Rekson Silaban ;  Ketua Majelis Pengawas Organisasi (MPO)
Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI),
Anggota Dewan Pengarah Organisasi Buruh Dunia (ILO)
SUARA KARYA, 06 Oktober 2012


Aksi mogok kerja dan demonstrasi buruh secara besar-besaran menuntut dihapuskannya sistem kerja alih daya (outsourcing) dan upah murah terus terjadi. Penyimpangan pelaksanaan outsourcing dan sistem pengupahan yang tidak akomodatif terhadap kesejahteraan buruh menjadi sorotan, karena tidak kunjung terselesaikan.

Di sisi lain, pemerintah seperti melakukan pembiaran dan menyerahkan masalah yang ada untuk diselesaikan sendiri oleh pihak buruh/pekerja dan pengusaha. Bahkan, pemerintah cenderung abai dan tidak berani melakukan tindakan tegas terhadap penyimpangan terhadap penyalahgunaan pelaksanaan outsourcing yang memang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Untuk mengurai masalah hubungan industrial yang seakan tidak ada jalan keluarnya, berikut petikan wawancara wartawan Harian Umum Suara Karya Andrian Novery dengan Ketua Majelis Pengawas Organisasi (MPO) Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) yang juga anggota Dewan Pengarah Organisasi Buruh Dunia (ILO) Rekson Silaban.

Aksi mogok nasional dan demonstrasi jalanan oleh sejumlah serikat pekerja/serikat buruh akhir-akhir ini kian marak. Mereka menuntut pemerintah menyelesaikan masalah outsourcing dan upah murah. Apakah masalah ini bisa dicarikan solusinya?

Sejak UU No 13 Tahun 2003 terbit, persoalan outsourcing sudah menuai persoalan dari buruh. Itulah sebabnya, sejak 2003 sampai sekarang, setiap kali ada demo buruh pasti mengusung tema penghapusan outsourcing karena memiskinkan buruh, memicu diskriminasi upah dan melemahkan gerakan buruh. UU juga membuka munculnya multitafsir terhadap apa yang dimaksud dengan kegiatan bisnis utama dan bisnis pendukung. Diperparah lagi dengan tiadanya sanksi dalam UU No 13/2003 bila perusahaan melakukan pelanggaran terhadap outsourcing.

Aksi mogok/demo buruh/pekerja seharusnya merupakan langkah atau upaya terakhir untuk memperjuangkan nasib mereka. Apakah ini berarti solusi terkait masalah hubungan industrial ini tidak bisa diselesaikan di forum bipartit atau tripartit?

Serikat buruh tampaknya mulai bosan merundingkan masalah outsourcing dengan mekanisme tripartit, karena sudah begitu banyak usulan yang sudah disampaikan, sudah pernah diteliti oleh 5 universitas dan dikaji LIPI. Mereka juga sudah memberikan rekomendasi. Tetapi, tidak ada kebijakan yang dikeluarkan untuk mengurangi penyimpangan outsourcing, bahkan semakin hari penyimpangan praktik ousourcing semakin marak.

Pebisnis outsourcing juga tidak harus memiliki badan hukum. Yayasan, ormas, koperasi, karang taruna bisa pengelola outsourcing. Hampir semua kegiatan industri seolah bisa di outsourcing. Pengawasan juga tidak berfungsi efektif meluruskan pelanggaran.

Kalangan pengusaha maupun pengamat atau pemerintah berharap kaum buruh/pekerja tidak selalu melakukan aksi mogok kerja/demo, karena mengganggu kegiatan produksi industri dan merugikan perusahaan. Kaum buruh/pekerja lantas diharapkan lebih mengedepankan dialog atau musyawarah untuk memperjuangkan tuntutannya. Menurut Anda seperti apa?

Mekanisme dialog dan aksi unjuk rasa dalam UU dimungkinkan dilakukan oleh buruh. Secara umum sebenarnya buruh lebih suka berunding ketimbang unjuk rasa atau mogok. Aksi mogok biasanya dilakukan sebagai upaya terakhir, bila jalan dialog tertutup atau tidak ada harapan, maka akan muncul solusi. Sebab, buruh juga akan kehilangan sebagian pendapatannya, bila tidak masuk kerja. Buruh juga menyadari, konsekuensi mogok akan menggangu produktivitas, membuat macet lalu lintas, menguras dana serikat buruh, dan lainnya.

Tapi, akibat rendahnya kepercayaan hubungan industrial di Indonesia, mayoritas buruh belum percaya mekanisme berunding bipartit dan tripartit bisa menyelesaikan masalah. Kebetulan dalam banyak kasus, banyak masalah bisa selesai setelah berdemo. Mekanisme yang benar, efisien, dan berkelanjutan sebenarnya harus melalui dialog, yang perlu ditingkatkan adalah berunding secara niat baik, saling percaya, transparan.

Kalangan pengusaha dan pemerintah menganggap kondisi ketenagakerjaan di Indonesia menjadi salah satu penghambat masuknya investasi. Bahkan kini sudah ada investasi yang hengkang atau pindah ke negara lain, terutama di ASEAN. Apalagi, Pemerintah Indonesia juga dianggap tidak cukup baik dalam mengantisipasi dan menentukan solusi dari masalah yang ada. Tentunya jika investasi dan sektor industri terganggu, maka perekonomian nasional pun terancam. Anda melihatnya seperti apa?

Benar! Bila buruh terus demo, akan mempengaruhi investasi. Tetapi, maraknya demo akhir-akhir ini tidak otomatis membuat investor hengkang. Banyak faktor yang membuat investor relokasi. Untuk kasus Indonesia sendiri belum terlihat adanya kasus relokasi atau turunnya investasi asing. Karena, terbukti investasi asing ke Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun.

Klaim pengusaha tentang seringnya demo buruh membuat investor takut atau relokasi ke negara asing, bertentangan dengan data yang dirilis BKPM yang menyatakan Indonesia tetap menjadi salah satu tujuan favorit FDI (Foreign Direct Investment) di kawasan Asia, yang dibuktikan dengan peningkatan volume FDI setiap tahun.

Dari berbagai studi yang dilakukan, faktor pendorong investasi asing memilih sebuah negara untuk investasi, biasanya dimulai dari (1) ketersediaan infrastruktur, termasuk energi (2) peraturan investasi dan perpajakan, (3) faktor keamanan, (4) ketersediaan bahan baku, (5) kecepatan pengembalian modal (ROI), (6) faktor ketenagakerjaan.

Menurut Anda, apa yang harus dilakukan kalangan pengusaha, buruh, dan pemerintah untuk menyelesaikan atau mencari solusi dari masalah-masalah yang ada di bidang ketenagakerjaan? Hal ini terkait aksi demo buruh/pekerja yang seakan tidak ada habis-habisnya untuk menuntut sesuatu yang sejak dulu sudah menjadi masalah.

Peta jalan untuk mencapai hubungan industrial yang harmonis di Indonesia perlu diciptakan. Sekalipun tidak berarti demo buruh hilang. Relasi buruh dan kapital memiliki potensi konflik yang tidak terhindarkan. Tetapi dari pengalaman internasional, banyak negara yang sukses meminimalisir konflik buruh sampai tingkat rendah.

Di Jepang, Jerman, Skandinavia, Brasil, dan Australia, demo buruh sangat jarang terjadi, karena mereka memikiki mekanisme preventif untuk menghindari konflik. Banyaknya konflik industrial di Indonesia adalah bukti belum ditemukannya sistem hubungan industrial yang rendah konflik. Indonesia memang telah memiliki hubungan industrial dengan rumusan indah harmonis dan berkeadilan.

Tetapi tidak memiliki panduan teknis operasional merealisasikannya. Salah satu, misalnya, cara menurunkan konflik adalah dengan mengharuskan adanya pertemuan reguler CEO dengan wakil buruh di setiap perusahaan untuk menerima masukan, tanpa dihadiri HRD.

Di tingkat wilayah dan nasional harus ada keharusan kepala daerah dan Presiden RI berkonsultasi dengan pemimpin buruh. Minimal 6 kali dalam setahun. Asumsinya jelas, bila kita sering berdialog, akan mengurangi tensi konflik, mempersempit kecurigaan, mendekatkan hubungan saling menghargai. Inilah yang dilakukan negara-negara industri maju. Bahkan di Jepang, serikat buruh JTU Rengo bisa ketemu perdana menteri Jepang 12 kali dalam setahun. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar