Rabu, 24 Oktober 2012

Mengadili sang Pengadil


Mengadili sang Pengadil
Fakhruddin Aziz ; Hakim di Pengadilan Agama Sambas, Kalimantan Barat
JAWA POS, 24 Oktober 2012



SETELAH rentetan kasus suap yang menimpa hakim sering mengemuka, kini publik dikejutkan oleh kabar penangkapan oknum hakim dalam kasus narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) menangkap hakim Pengadilan Negeri Bekasi PW (Puji Wijayanto, Red) di ruang karaoke di Illigals Hotel and Club, Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Barat, Selasa (16 Oktober 2012) petang, seperti dimuat banyak media.

Di lokasi yang sama, PW didapati sedang bersenang-senang dan bernyanyi bersama S, seorang temannya dari Jayapura, serta empat wanita pemandu lagu. Saat itu petugas berhasil mendapati sejumlah narkotika jenis sabu dan ineks.

Ini adalah kabar yang mengagetkan sekaligus memprihatinkan. Publik terpaksa mengernyitkan dahi dan mengelus dada. Jika terbukti, perilaku nekat oknum hakim PW tersebut jelas melukai perasaan masyarakat, karena ekspektasi terhadap penegakan hukum di negeri ini begitu membuncah. Tak ayal lagi, aksi tak terpuji PW tersebut juga telah mencemarkan korps hakim dan melukai ribuan hakim lain. Bisa jadi, ribuan hakim lain yang bersih dan bermoral dipukul rata karena kasus yang dilakukan oleh segelintir oknum ini.

Selain korupsi, narkoba telah ditahbiskan sebagai musuh bersama (common enemy) di republik ini. Narkoba, apa pun jenisnya, adalah barang terlarang yang telah merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat. Begitu ganasnya barang haram ini, peredaran dan pemakaiannya tidak memandang jenis profesi dan status sosial-ekonomi. Peredaran narkoba telah menyasar para selebritas, pelajar, mahasiswa, PNS, pengusaha, pilot, polisi, bahkan oknum hakim sebagai "sang pengadil". Ketika telah kecanduan, narkoba menjelma menjadi sandera yang selalu mengekang kehidupan pemakai sebagai manusia normal.

Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Gories Mere menuturkan, angka prevalensi penyalahgunaan narkoba 2,2 persen atau sekitar 3,8-4,2 juta orang pada periode 2011. Namun, dengan fenomena gunung es, angka itu bisa lebih besar. Dari penyalahgunaan narkoba itu, usianya 10-59 tahun dengan perincian, usia 10-19 tahun 2,27 persen, 20-29 tahun 4,41 persen, 30-39 tahun 1,08 persen, dan usia di atas 40 tahun sekitar 1,06 persen.

Jika ditilik dari kelompoknya, Gories mengatakan, kelompok pekerja 70 persen dan pelajar 22 persen. Kelompok pekerja masih dominan karena kemampuan finansial cukup memadai untuk membeli narkoba daripada pelajar. Alasan lain, kelompok pekerja menjadikan itu sebagai pendukung stamina kerja ataupun sejak awal menjadi pengguna atau pecandu narkoba.

Memerangi peredaran dan penyalahgunaan narkoba ini tidak hanya tugas BNN, tapi juga membutuhkan kerja sama yang apik berbagai elemen. Maka, sangat disesalkan jika ada oknum hakim malah berbelok arah dari spirit perjuangan melawan narkoba dengan nekat memakainya.

Hakim termasuk profesi yang luhur dan mulia (officium nobile). Maka, alangkah tidak mulianya seorang oknum hakim yang telah mengoyak kemuliaan itu dengan pesta narkoba. Sang pengadil, untuk mempersembahkan kebenaran dan keadilan (truth and justice) kepada pencari keadilan (justiciabelen), jelas mensyaratkan kebugaran fisik dan mental, serta kejernihan hati para hakim. Lantas, jika hal itu telah ternodai oleh perilaku yang kotor, bagaimana keadilan itu mampu dipersembahkan kepada masyarakat?

Pertanyaan lain juga muncul, bagaimana jika hakim pengonsumsi narkoba itu mengadili pemakai atau pengedar narkoba? Dalam hal ini, profesionalitas, independensi, dan imparsialitas sangat menentukan kualitas putusan. Perang terhadap narkoba sedang digalakkan saat ini. Jangan sampai kekuatan narkoba beserta gembongnya berhasil mengerdilkan serta mengendalikan aparat penegak hukum dan akhirnya merusak masyarakat secara luas.

Kasus pemakaian narkoba oleh oknum hakim ini semakin memperkeruh keadaan. Baru saja publik dikejutkan dengan pembatalan hukuman mati terhadap gembong narkoba, Hengky Gunawan. Peninjauan Kembali (PK) yang diajukannya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Saya tidak akan mengomentari putusan PK tersebut, namun publik bisa jadi akan cenderung mengait-ngaitkan hal tersebut.

Dalam kasus ini, MA maupun KY mesti bersikap tegas terhadap hakim-hakim nakal, termasuk oknum pengguna narkoba. Jika tanpa sanksi tegas, dikhawatirkan tidak akan menimbulkan efek jera bagi pelaku. Untuk selanjutnya, MA, KY, dan BNN bisa bersinergi dengan melakukan pengecekan urine secara rutin kepada para hakim, panitera, dan aparatur pengadilan lainnya. Upaya ini untuk mengontrol penyalahgunaan narkoba di lingkup pengadilan terutama para hakim sebagai ujung tombak penegakan hukum.

Hakim adalah sosok yang dianggap tahu hukum (ius curia novit). Namun sekadar tahu saja tidak cukup, hal itu juga mesti dibarengi dengan penguatan sisi moralitas dan spiritualitas. Jika dari kedua sisi itu kering, hakim akan mudah terperosok pada perilaku yang negatif. Pimpinan pengadilan selain melakukan pembinaan teknis peradilan, seyogianya juga sering memberikan pengarahan dan pembinaan moralitas terhadap bawahannya.

Harapan besar akan kebenaran dan keadilan, serta teladan hukum dibebankan di tangan para hakim. Maka, amanah itu mesti dijaga dan dijalankan dengan sebaik-baiknya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KE dan PPH) sudah ada. Mematuhi isinya adalah keniscayaan untuk menjadi hakim yang profesional, berintegritas, dan bermoral dalam menegakkan hukum dan keadilan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar