Rabu, 10 Oktober 2012

Episode Pemberontakan Trunojoyo


Episode Pemberontakan Trunojoyo
Saharuddin Daming ;  Komisioner Komnas HAM
KORAN TEMPO, 09 Oktober 2012


Dunia pemberantasan korupsi tak putus dirundung malang. Belum tuntas ancaman penggembosan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun2002, kini perseteruan Polri dengan KPK kembali bergolak setelah Novel Baswedan (Ketua Satgas Penyidik KPK pada kasus simulator Korlantas) dikriminalkan oleh Polri. Ini adalah episode keempat dari kisah pertarungan cicak versus buaya, hal yang merupakan refleksi dari kisah pemberontakan Trunojoyo, sebuah simbol pembangkangan Polri terhadap KPK. Trunojoyo sendiri merupakan tokoh bangsawan Madura yang pernah melancarkan pemberontakan terhadap kesultanan Mataram pada abad ke-19. Berkat kisah suksesnya itu, ia diabadikan menjadi nama jalan di beberapa kota, termasuk alamat Markas Besar Kepolisian RI saat ini.

Kisah ini rupanya memiliki benang merah secara psikohistoris dengan kasus cicak versus buaya. Betapa tidak, karena sudah merupakan komitmen bangsa untuk memerangi korupsi sebagai extraordinary crime dengan membentuk KPK. Hal ini dilakukan karena lembaga penegak hukum konvensional dirasakan tidak efektif memenuhi rasa dahaga publik terhadap pemberantasan korupsi secara tegas.

Karena itu, KPK diperlengkapi dengan otoritas superbody demi menaklukkan bandit-bandit pencoleng properti negara yang umumnya dilakonkan oleh perselingkuhan antara elite kekuasaan dan pebisnis. Ketangguhan KPK dalam membabat belantara korupsi tanpa kompromi menimbulkan pergesekan kepentingan dan persaingan dengan sesama lembaga penegak hukum. Sejumlah kalangan yang sudah lama terserang kepentingannya oleh sepak terjang KPK kemudian membangun aliansi ala Trunojoyo guna melancarkan pemberontakan terhadap KPK.

Ketika KPK berhasil memergoki skandal megakorupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang diduga melibatkan petingginya, pucuk pimpinan pasukan cokelat ini meradang. Mereka lalu melancarkan pemberontakan dengan klaim kewenangan atas perkara yang sama. Untuk memperkuat misinya, pimpinan Polri membangun konsolidasi dengan berbagai elemen. Bukan hanya kalangan internal, Kapolri juga mengundang mantan pendahulunya dan pensiunan pati hingga advokat dan akademisi.

Aksi penggeledahan dan penyitaan setumpuk barang bukti oleh KPK di Korlantas ditafsirkan Polri sebagai bentuk kelancangan. Alhasil, Trunojoyo pun bereaksi dengan mencaplok perkara itu. Tak ayal lagi, genderang perang kompetensi kedua lembaga tersebut menyeruak ke ruang publik. Dua puluh penyidik Polri ditarik dari KPK meski Novel Baswedan bersama 13 rekannya menolak. Akibatnya, Novel dikriminalkan dengan kasus penembakan, padahal banyak kasus seperti itu yang dilaporkan ke Komnas HAM justru dilindungi pimpinan Polri.

Polri tiba-tiba merasa lebih superior daripada KPK . Selain merujuk pada eksistensi Trunojoyo sebagai lembaga yang disebut secara eksplisit dalam konstitusi, juga menunjuk pada modal senioritas, infrastruktur, bujet, personel, hingga klaim terhadap KUHAP sebagai aturan hukum yang jauh lebih luas dan kuat daripada aturan hukum yang menjadi acuan KPK.

Klaim Polri tersebut memicu deviasi hukum. Betapa tidak, karena dalam dunia hukum terdapat asas lex posteriori derogat legi priori, maka klaim keunggulan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 versus UU No. 30/2002 tentang KPK gugur demi hukum. Apalagi, jika klaim itu diuji dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis, maka tumbanglah seluruh klaim superioritas Polri dimaksud.

Sebetulnya Pasal 50 ayat 3 UU No. 30/2002 sudah sangat jelas dan konkret mengatur bahwa kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang penyidikannya telah dilakukan KPK. Bahkan ayat 4 menegaskan, kepolisian atau kejaksaan harus segera menghentikan penyidikan apabila kasus ditangani bersama-sama oleh KPK. Tidak ada yang dapat memungkiri fakta bahwa terkuaknya kasus megakorupsi di Korps Lalu Lintas Polri, sejak semula, memang di bawah prakarsa KPK hingga menetapkan DS sebagai tersangka. Sejak itu, wewenang polisi dan jaksa hilang khusus untuk perkara aquo, tetapi tidak hilang untuk penanganan kasus korupsi lainnya.

Bukan hanya itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2, 3, dan ayat 4 UU No. 30/2002, KPK berwenang penuh mengambil alih suatu perkara korupsi yang telah ditangani oleh Polri dan kejaksaan. Kedua lembaga tersebut wajib hukumnya untuk menyerahkan perkara dimaksud kepada KPK jika memang diminta. Dengan mekanisme hukum seperti ini, sudah sangat terang-benderang menempatkan kejaksaan dan Polri sebagai institusi inferior dari KPK, khusus dalam penanganan tindak pidana korupsi.

Untuk menghindari terjadinya "abuse of power and arrogance of authority", maka pengambilalihan perkara oleh KPK harus memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU No. 30/2002. Salah satu di antaranya yang memiliki urgensi dengan perkara aquo yang disengketakan antara KPK dan Polri adalah syarat pada huruf c, yaitu penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.

Dengan adanya tindakan hiperaktif dan overprotektif Polri terhadap perkara aquo, hingga terjadi pemberontakan terhadap kewenangan KPK, sulit untuk tidak menyimpulkan bahwa, di balik semua itu, Polri disusupi hidden agenda dalam menangani perkara aquo demi melokalisasi pancaran eksplosif dari bom yang diledakkan KPK. Betapa tidak, karena perkara aquo ada kemungkinan melibatkan lebih banyak lagi oknum pejabat tinggi Trunojoyo, sehingga wajar jika pimpinan Polri kasak-kusuk untuk mencaplok perkara aquo dengan menggalang dukungan dari berbagai elemen demi memperoleh legitimasi publik.

Sebenarnya Polri dan kejaksaan sudah lama kehilangan kepercayaan publik dalam penanganan perkara korupsi. Sudah sering terjadi penanganan perkara seperti itu menguap begitu saja, apalagi jika perkara itu melibatkan pejabat internal masing-masing lembaga. Bagaimanapun, nuansa conflict of interest kental sekali dalam perkara itu. 

Dengan demikian, tidak mungkin Polri dan Kejaksaan dapat berlaku adil dalam penanganan suatu perkara yang melibatkan dirinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa). Potensi solidaritas korps membawa konsekuensi pada kenyataan bahwa tak ada orang yang mau membakar rumahnya sendiri.

Jika dirunut dari awal, sebenarnya DPR patut dipersalahkan sebagai pihak yang lalai dalam melahirkan undang-undang yang memberi ruang terjadinya conflict of interest dan konfrontasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum dalam penanganan tindak pidana korupsi. Karena itu, DPR jugalah yang harus mengakhiri kerancuan ini sesuai dengan kewenangan legislasinya untuk merevisi segala ketentuan dalam UU No. 30/2002 yang masih mengandung dualisme kewenangan dan conflict of interest.

Bukan hanya itu, DPR juga sudah saatnya mereposisi kewenangan investigasi (reskrim) menjadi lembaga mandiri, seperti FBI di Amerika Serikat, yang terpisah dari tubuh Polri. Termasuk dalam hal ini adalah kewenangan menerbitkan SIM, STNK, dan sejenisnya diserahkan kepada Kementerian Perhubungan. Dengan demikian, tugas pokok dan fungsi Polri di masa mendatang hanya fokus pada urusan keamanan dan ketertiban masyarakat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar