Episode
Pemberontakan Trunojoyo
Saharuddin Daming ; Komisioner
Komnas HAM
|
KORAN
TEMPO, 09 Oktober 2012
Dunia pemberantasan korupsi tak putus
dirundung malang. Belum tuntas ancaman penggembosan wewenang Komisi
Pemberantasan Korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun2002, kini
perseteruan Polri dengan KPK kembali bergolak setelah Novel Baswedan (Ketua
Satgas Penyidik KPK pada kasus simulator Korlantas) dikriminalkan oleh Polri. Ini adalah episode keempat dari kisah pertarungan cicak
versus buaya, hal yang merupakan refleksi dari kisah pemberontakan Trunojoyo,
sebuah simbol pembangkangan Polri terhadap KPK. Trunojoyo sendiri
merupakan tokoh bangsawan Madura yang pernah melancarkan pemberontakan terhadap
kesultanan Mataram pada abad ke-19. Berkat kisah suksesnya itu, ia diabadikan
menjadi nama jalan di beberapa kota, termasuk alamat Markas Besar Kepolisian RI
saat ini.
Kisah ini rupanya memiliki benang merah
secara psikohistoris dengan kasus cicak versus buaya. Betapa tidak, karena
sudah merupakan komitmen bangsa untuk memerangi korupsi sebagai extraordinary crime dengan membentuk
KPK. Hal ini dilakukan karena lembaga penegak hukum konvensional dirasakan tidak
efektif memenuhi rasa dahaga publik terhadap pemberantasan korupsi secara
tegas.
Karena itu, KPK diperlengkapi dengan otoritas
superbody demi menaklukkan
bandit-bandit pencoleng properti negara yang umumnya dilakonkan oleh
perselingkuhan antara elite kekuasaan dan pebisnis. Ketangguhan KPK dalam
membabat belantara korupsi tanpa kompromi menimbulkan pergesekan kepentingan
dan persaingan dengan sesama lembaga penegak hukum. Sejumlah kalangan yang
sudah lama terserang kepentingannya oleh sepak terjang KPK kemudian membangun
aliansi ala Trunojoyo guna melancarkan pemberontakan terhadap KPK.
Ketika KPK berhasil memergoki
skandal megakorupsi simulator SIM di Korps Lalu Lintas Mabes Polri yang diduga
melibatkan petingginya, pucuk pimpinan pasukan cokelat ini meradang. Mereka
lalu melancarkan pemberontakan dengan klaim kewenangan atas perkara yang sama.
Untuk memperkuat misinya, pimpinan Polri membangun konsolidasi dengan berbagai
elemen. Bukan hanya kalangan internal, Kapolri juga mengundang mantan
pendahulunya dan pensiunan pati hingga advokat dan akademisi.
Aksi penggeledahan dan
penyitaan setumpuk barang bukti oleh KPK di Korlantas ditafsirkan Polri sebagai
bentuk kelancangan. Alhasil, Trunojoyo pun bereaksi dengan
mencaplok perkara itu. Tak ayal lagi, genderang perang kompetensi kedua lembaga
tersebut menyeruak ke ruang publik. Dua puluh penyidik Polri ditarik dari KPK
meski Novel Baswedan bersama 13 rekannya menolak. Akibatnya, Novel
dikriminalkan dengan kasus penembakan, padahal banyak kasus seperti itu yang
dilaporkan ke Komnas HAM justru dilindungi pimpinan Polri.
Polri tiba-tiba merasa lebih superior
daripada KPK . Selain merujuk pada eksistensi Trunojoyo sebagai lembaga yang
disebut secara eksplisit dalam konstitusi, juga menunjuk pada modal senioritas,
infrastruktur, bujet, personel, hingga klaim terhadap KUHAP sebagai aturan
hukum yang jauh lebih luas dan kuat daripada aturan hukum yang menjadi acuan
KPK.
Klaim Polri tersebut memicu deviasi hukum.
Betapa tidak, karena dalam dunia hukum terdapat asas lex posteriori derogat legi priori, maka klaim keunggulan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 versus UU No. 30/2002 tentang KPK gugur demi
hukum. Apalagi, jika klaim itu diuji dengan asas hukum lex specialis derogat legi
generalis, maka tumbanglah seluruh klaim superioritas Polri dimaksud.
Sebetulnya Pasal 50 ayat 3 UU No. 30/2002
sudah sangat jelas dan konkret mengatur bahwa kepolisian atau kejaksaan tidak
berwenang melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana korupsi yang
penyidikannya telah dilakukan KPK. Bahkan ayat 4 menegaskan, kepolisian atau
kejaksaan harus segera menghentikan penyidikan apabila kasus ditangani
bersama-sama oleh KPK. Tidak ada yang dapat memungkiri fakta bahwa terkuaknya
kasus megakorupsi di Korps Lalu Lintas Polri, sejak semula, memang di bawah
prakarsa KPK hingga menetapkan DS sebagai tersangka. Sejak itu, wewenang polisi
dan jaksa hilang khusus untuk perkara aquo,
tetapi tidak hilang untuk penanganan kasus korupsi lainnya.
Bukan hanya itu, berdasarkan ketentuan dalam
Pasal 8 ayat 2, 3, dan ayat 4 UU No. 30/2002, KPK berwenang penuh mengambil
alih suatu perkara korupsi yang telah ditangani oleh Polri dan kejaksaan. Kedua
lembaga tersebut wajib hukumnya untuk menyerahkan perkara dimaksud kepada KPK
jika memang diminta. Dengan mekanisme hukum seperti ini, sudah sangat
terang-benderang menempatkan kejaksaan dan Polri sebagai institusi inferior
dari KPK, khusus dalam penanganan tindak pidana korupsi.
Untuk menghindari terjadinya "abuse of power and arrogance of authority",
maka pengambilalihan perkara oleh KPK harus memenuhi syarat sebagaimana diatur
dalam Pasal 9 UU No. 30/2002. Salah satu di antaranya yang memiliki urgensi
dengan perkara aquo yang
disengketakan antara KPK dan Polri adalah syarat pada huruf c, yaitu penanganan
tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi
yang sesungguhnya.
Dengan adanya tindakan hiperaktif dan
overprotektif Polri terhadap perkara aquo,
hingga terjadi pemberontakan terhadap kewenangan KPK, sulit untuk tidak
menyimpulkan bahwa, di balik semua itu, Polri disusupi hidden agenda dalam menangani perkara aquo demi melokalisasi
pancaran eksplosif dari bom yang diledakkan KPK. Betapa tidak, karena perkara aquo ada kemungkinan melibatkan lebih
banyak lagi oknum pejabat tinggi Trunojoyo, sehingga wajar jika pimpinan Polri
kasak-kusuk untuk mencaplok perkara aquo dengan menggalang dukungan dari
berbagai elemen demi memperoleh legitimasi publik.
Sebenarnya Polri dan kejaksaan sudah lama
kehilangan kepercayaan publik dalam penanganan perkara korupsi. Sudah sering
terjadi penanganan perkara seperti itu menguap begitu saja, apalagi jika
perkara itu melibatkan pejabat internal masing-masing lembaga. Bagaimanapun,
nuansa conflict of interest kental
sekali dalam perkara itu.
Dengan demikian, tidak mungkin Polri dan Kejaksaan
dapat berlaku adil dalam penanganan suatu perkara yang melibatkan dirinya
sendiri (nemo judex idoneus in propria
causa). Potensi solidaritas korps membawa konsekuensi pada kenyataan bahwa
tak ada orang yang mau membakar rumahnya sendiri.
Jika dirunut dari awal, sebenarnya DPR patut
dipersalahkan sebagai pihak yang lalai dalam melahirkan undang-undang yang
memberi ruang terjadinya conflict of
interest dan konfrontasi kewenangan di antara lembaga penegak hukum dalam
penanganan tindak pidana korupsi. Karena itu, DPR jugalah yang harus mengakhiri
kerancuan ini sesuai dengan kewenangan legislasinya untuk merevisi segala
ketentuan dalam UU No. 30/2002 yang masih mengandung dualisme kewenangan dan conflict of interest.
Bukan hanya itu, DPR juga sudah saatnya
mereposisi kewenangan investigasi (reskrim) menjadi lembaga mandiri, seperti
FBI di Amerika Serikat, yang terpisah dari tubuh Polri. Termasuk dalam hal ini
adalah kewenangan menerbitkan SIM, STNK, dan sejenisnya diserahkan kepada
Kementerian Perhubungan. Dengan demikian, tugas pokok dan fungsi Polri di masa
mendatang hanya fokus pada urusan keamanan dan ketertiban masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar