Provokasi
Suriah
Azis Anwar Fachrudin ; Pengajar Pesantren Nurul Ummah,
Kotagede, Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
09 Oktober 2012
Balasan serangan Turki terhadap lontaran mortir Suriah yang
‘nyasar’ masuk ke --dan menewaskan lima warga--Kota Akcakale di wilayah
perbatasan memanaskan tensi kedua negara. Ini merupakan eskalasi tertinggi
sejak krisis Suriah meledak 18 bulan lalu.
Parlemen Turki segera menindaklanjuti konflik ini. Mayoritas
anggotanya menyetujui penambahan pasukan untuk bersiaga perang. Namun demikian,
persetujuan parlemen itu sempat mengundang protes. Lebih dari seribu orang dari
kelompok sayap kiri menyuarakan tudingan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan
(AKP) yang dipimpin PM Recep Tayyip Erdogan kini menjadi boneka AS.
PBB pun merespons. Dan, pembicaraan negara-negara Barat (pendukung
Turki) serta Rusia sebagai (pendukung Suriah) kemudian menghasilkan permintaan,
baik kepada Turki maupun Suriah, agar menahan diri.
Sejauh ini, rezim Bashar al-Assad masih lepas tangan terhadap
insiden itu. Apologi
mereka, tembakan itu bukan disengaja. Jawaban seperti ini
mengingatkan pada tanggapan yang sama dari rezim Assad dalam kasus penembakan
terhadap pengungsi Suriah di perbatasan Turki pada April lalu --persis saat
rencana damai enam poin Kofi Annan mestinya dilaksanakan.
Bila berkaca pada kejadian sebelumnya, sanggahan rezim terhadap
konflik Akcakale itu bisa jadi ambivalen. Itu memunculkan dua tafsiran. Pertama,
tembakan itu memang hanya kecelakaan. Kedua, tembakan itu bermotif provokasi
yang diinisiasi sendiri oleh rezim Assad untuk memanas-manasi Turki dan
terpancing perang.
Provokasi ini bermanfaat bagi rezim Assad setidaknya dalam tiga
hal. Pertama, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Turki kini mulai agresif dan
mengubah haluan politik luar negerinya. Kedua, untuk mendapatkan simpati dan
dukungan lebih dari aliansi Suriah, yakni Rusia dan Iran. Ketiga, menyeret
kubu-kubu politik ke dalam proxy war
sekaligus untuk memperkuat posisi Suriah kembali di mata internasional yang
dalam beberapa bulan belakangan mulai terdesak.
Jika benar demikian motif dari tembakan itu maka Turki akan berada
dalam posisi yang tak tepat jika membalas serangan Suriah. Membalas serangan
juga bisa semakin membenarkan anggapan publik internasional belakangan ini
bahwa bandul Turki mulai mengayun ke Barat.
Pertaruhan Turki
Di tengah gejolak revolusi Arab setahun lalu, Turki
banyak digadang-gadang agar bisa menjadi kekuatan politik moderat di kawasan.
Turki diharapkan bisa menjadi kekuatan politik baru di kawasan yang bisa
mengimbangi hegemoni Iran-Rusia di satu sisi, dan AS-Israel-Saudi di sisi lain.
Namun, manuver Ankara belakangan justru cenderung
bersetuju dengan manuver AS dan sekutunya. Tentu saja, berat ke satu kubu akan
memunculkan resistensi yang lebih besar dari kubu lawannya. Turki, dalam kasus pembalasan
serangan ini, akan mempertaruhkan hubungannya yang sebelumnya relatif baik
dengan Iran.
Turki punya nilai tawar besar bagi dua kubu penguasa
geopolitk. Markas al-Majlis al-Wathani
as-Suriy (SNC), grup oposisi terbesar dan didukung oleh lebih dari 70
negara Sahabat Suriah (Friends of Syria), berada di Istanbul. Markas Free Syrian Army (FSA), sayap oposisi
militer, pun
diberitakan mulai pindah masuk dan mendapat bantuan dari Turki. Ada 100 ribu
lebih pengungsi Suriah di dekat perbatasan Turki.
Yang menarik adalah, Turki condong ke kebijakan politik Barat. Di
negara-negara Arab lainnya, seperti Mesir, Tunisia, dan Yaman, sikap Turki
relatif netral, yakni cenderung lurus menyuarakan demokrasi dan sekularis memoderat.
Sedangkan dalam kasus Suriah, Turki tak selantang di negara-negara itu. Selain
pertimbangan Turki sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Erdogan
harus memeras pikiran untuk menahan faksi Kurdi agar tidak mengguncang
stabilitas Ankara.
Turki, dengan demikian, mulai mempertaruhkan kebijakan politik
luar negerinya, zero problem with
neighbours (ini gagasan yang disuarakan oleh Menlu Ahmet Davutoglu).
Beberapa hal cukup penting untuk diingat kembali: Turki mau menormalisasi
hubungan dengan Israel terkait insiden Mavi Marmara pada 2010; menarik kembali
blokadenya terhadap Jalur Gaza; radar NATO kini juga ada di Ankara; dan
membangun hubungan baik dengan Qatar yang sangat antirezim Suriah.
Pertaruhan Turki ini ke depan akan berimbas pada dua hal. Pertama,
rusaknya hubungan dengan Iran --mungkin juga berpengaruh pada kemitraan
perdagangan. Apalagi, jika tudingan rezim Assad benar, Turki bersama Prancis,
Saudi, dan Qatar memasok bantuan senjata ke oposisi Suriah.
Kedua, manuver Turki bisa
ditunggangi oleh kelompok ekstrem yang ingin memancing di air keruh. Tak selang
lama dari terjadinya konflik perbatasan, bom mobil meledak di wilayah Aleppo
yang masih dikuasai rezim, menewaskan lebih dari 40 orang, dan melukai lebih
dari 120 orang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar