Rabu, 10 Oktober 2012

Provokasi Suriah


Provokasi Suriah
Azis Anwar Fachrudin ;  Pengajar Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta
REPUBLIKA, 09 Oktober 2012


Balasan serangan Turki terhadap lontaran mortir Suriah yang ‘nyasar’ masuk ke --dan menewaskan lima warga--Kota Akcakale di wilayah perbatasan memanaskan tensi kedua negara. Ini merupakan eskalasi tertinggi sejak krisis Suriah meledak 18 bulan lalu.

Parlemen Turki segera menindaklanjuti konflik ini. Mayoritas anggotanya menyetujui penambahan pasukan untuk bersiaga perang. Namun demikian, persetujuan parlemen itu sempat mengundang protes. Lebih dari seribu orang dari kelompok sayap kiri menyuarakan tudingan bahwa Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin PM Recep Tayyip Erdogan kini menjadi boneka AS.

PBB pun merespons. Dan, pembicaraan negara-negara Barat (pendukung Turki) serta Rusia sebagai (pendukung Suriah) kemudian menghasilkan permintaan, baik kepada Turki maupun Suriah, agar menahan diri.

Sejauh ini, rezim Bashar al-Assad masih lepas tangan terhadap insiden itu. Apologi 
mereka, tembakan itu bukan disengaja. Jawaban seperti ini mengingatkan pada tanggapan yang sama dari rezim Assad dalam kasus penembakan terhadap pengungsi Suriah di perbatasan Turki pada April lalu --persis saat rencana damai enam poin Kofi Annan mestinya dilaksanakan.

Bila berkaca pada kejadian sebelumnya, sanggahan rezim terhadap konflik Akcakale itu bisa jadi ambivalen. Itu memunculkan dua tafsiran. Pertama, tembakan itu memang hanya kecelakaan. Kedua, tembakan itu bermotif provokasi yang diinisiasi sendiri oleh rezim Assad untuk memanas-manasi Turki dan terpancing perang.

Provokasi ini bermanfaat bagi rezim Assad setidaknya dalam tiga hal. Pertama, untuk menunjukkan pada dunia bahwa Turki kini mulai agresif dan mengubah haluan politik luar negerinya. Kedua, untuk mendapatkan simpati dan dukungan lebih dari aliansi Suriah, yakni Rusia dan Iran. Ketiga, menyeret kubu-kubu politik ke dalam proxy war sekaligus untuk memperkuat posisi Suriah kembali di mata internasional yang dalam beberapa bulan belakangan mulai terdesak.

Jika benar demikian motif dari tembakan itu maka Turki akan berada dalam posisi yang tak tepat jika membalas serangan Suriah. Membalas serangan juga bisa semakin membenarkan anggapan publik internasional belakangan ini bahwa bandul Turki mulai mengayun ke Barat.

Pertaruhan Turki

Di tengah gejolak revolusi Arab setahun lalu, Turki banyak digadang-gadang agar bisa menjadi kekuatan politik moderat di kawasan. Turki diharapkan bisa menjadi kekuatan politik baru di kawasan yang bisa mengimbangi hegemoni Iran-Rusia di satu sisi, dan AS-Israel-Saudi di sisi lain.

Namun, manuver Ankara belakangan justru cenderung bersetuju dengan manuver AS dan sekutunya. Tentu saja, berat ke satu kubu akan memunculkan resistensi yang lebih besar dari kubu lawannya. Turki, dalam kasus pembalasan serangan ini, akan mempertaruhkan hubungannya yang sebelumnya relatif baik dengan Iran.

Turki punya nilai tawar besar bagi dua kubu penguasa geopolitk. Markas al-Majlis al-Wathani as-Suriy (SNC), grup oposisi terbesar dan didukung oleh lebih dari 70 negara Sahabat Suriah (Friends of Syria), berada di Istanbul. Markas Free Syrian Army (FSA), sayap oposisi militer, pun diberitakan mulai pindah masuk dan mendapat bantuan dari Turki. Ada 100 ribu lebih pengungsi Suriah di dekat perbatasan Turki.

Yang menarik adalah, Turki condong ke kebijakan politik Barat. Di negara-negara Arab lainnya, seperti Mesir, Tunisia, dan Yaman, sikap Turki relatif netral, yakni cenderung lurus menyuarakan demokrasi dan sekularis memoderat. Sedangkan dalam kasus Suriah, Turki tak selantang di negara-negara itu. Selain pertimbangan Turki sebagai anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Erdogan harus memeras pikiran untuk menahan faksi Kurdi agar tidak mengguncang stabilitas Ankara.

Turki, dengan demikian, mulai mempertaruhkan kebijakan politik luar negerinya, zero problem with neighbours (ini gagasan yang disuarakan oleh Menlu Ahmet Davutoglu). Beberapa hal cukup penting untuk diingat kembali: Turki mau menormalisasi hubungan dengan Israel terkait insiden Mavi Marmara pada 2010; menarik kembali blokadenya terhadap Jalur Gaza; radar NATO kini juga ada di Ankara; dan membangun hubungan baik dengan Qatar yang sangat antirezim Suriah.

Pertaruhan Turki ini ke depan akan berimbas pada dua hal. Pertama, rusaknya hubungan dengan Iran --mungkin juga berpengaruh pada kemitraan perdagangan. Apalagi, jika tudingan rezim Assad benar, Turki bersama Prancis, Saudi, dan Qatar memasok bantuan senjata ke oposisi Suriah.

Kedua, manuver Turki bisa ditunggangi oleh kelompok ekstrem yang ingin memancing di air keruh. Tak selang lama dari terjadinya konflik perbatasan, bom mobil meledak di wilayah Aleppo yang masih dikuasai rezim, menewaskan lebih dari 40 orang, dan melukai lebih dari 120 orang. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar