Rabu, 10 Oktober 2012

Pilihan Blunder Polri


Pilihan Blunder Polri
Andy Suryadi ;  Dosen, Pegiat di Pusat Kajian Kepolisian FIS Unnes
SUARA MERDEKA, 09 Oktober 2012


POLEMIK terbuka antara KPK dan Polri berkait perkembangan pengusutan dugaan korupsi pada proyek simulator SIM kian memanas dan menjurus tidak sehat. Konflik terbaru dipicu oleh penggeledahan KPK terhadap kantor Korlantas Mabes Polri pada 30 Juli 2012. Sebelum itu, eskalasi persoalan dimulai dari perebutan penanganan kasus, penetapan tersangka, hingga penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari Polri.
Benih-benih ketidakharmonisan itu mencapai puncak pada Jumat, 5 Oktober 2012 sekitar pukul 20.00 ketika sejumlah polisi berseragam dan berpakaian bebas mendatangi kantor KPK.

Mereka akan menjemput paksa Kompol Novel Baswedan, penyidik KPK dari Polri, yang tergabung dalam tim yang menangani kasus Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Kakorlantas.
Novel akan dijemput paksa karena, menurut Dirkrimum Polda Bengkulu Kombes Pol Dedy Irianto, perwira itu tahun 2004 melakukan memproses perkara 6 tersangka pencuri sarang burung walet di Bengkulu. Salah satu di antara tersangka itu tewas tertembak. Saat itu Novel menjabat kasatserse di polres dengan pangkat iptu.

Ada beberapa pertanyaan yang mengemuka di ruang publik dalam menyikapi kasus Novel. Pertama; kenapa kasus itu ditimpakan saat Novel ikut dalam tim penyidik kasus yang menimpa salah seorang petinggi Polri. Apakah ini sesuatu yang bersifat kebetulan ataukah memang ada upaya memberi terapi kejut supaya Novel mau bersikap lebih manis?

Kedua; kenapa kasus yang terjadi 8 tahun lalu (tahun 2004) baru diungkap sekarang, lalu apa saja yang dilakukan Polri, minimal di tingkat Polres dan Polda Bengkulu, sepanjang waktu itu? Bukankah barang bukti, rekan kerja, dan kawanan pencuri itu saat itu masih di bawah kendali Polri?

Jangan-jangan kasus tersebut aktu itu memang berusaha ditutup-tutupi karena Novel saat itu masih menjadi anak manis, dan baru diungkit ketika dia bertindak tegas terkait dengan pengusutan kasus di institusi asalnya?

Kombes Pol Dedy Irianto yang memimpin rencana penangkapan secara paksa Novel di gedung KPK berdalih kasus tersebut memang baru dibuka setelah ada desakan dari LSM dan korban. Dia menampik rencana penangkapan perira itu terkait dengan penanganan kasus simulator SIM, yang penyidikannya melibatkan Novel, dalam kapasitas sebagai penyidik KPK.

Jawaban Deny masih melahirkan pertanyaan baru, semisal apakah LSM dan keluarga korban benar-benar mendesak kasus itu kembali dibuka dalam arti ada novum? Atau sebaliknya, bahwa Polri proaktif meminta LSM dan korban membuat laporan supaya Polda Bengkulu bisa kembali membuka kasus lama tersebut.

Publik melihat ada keganjilan terkait rencana penjemputan paksa Novel. Mereka menangkap ada pesan khusus, semisal semacam warning bagi anggota Polri yang lain yang lebih memilih menjadi penyidik di KPK, atau tak mau diajak kompromi. Jika mereka mau berkompromi maka limpahan penghargaan, berupa kenaikan pangkat atau promosi jabatan, sudah menanti.

Langkah Blunder

Penulis berpendapat apa yang terjadi pada Jumat malam lalu di gedung KPK merupakan langkah blunder Polri. Korps berbaju cokelat tersebut dapat saja membela diri dengan mengatakan bahwa kasus Novel murni pidana umum dan tak terkait dengan perseteruan antara KPK dan Polri.

Namun dalam situasi memanasnya hubungan dua lembaga penegak hukum itu, ditambah kepercayaan publik terhadap Polri berada di titik nadir maka pembelaan apapun akan terasa sebagai apologia, bahkan makin menyudutkan posisi Polri.

Harian ini (www.suaramerdeka.com, 06/10/12) mengunggah pernyataan mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto yang pada intinya menyebutkan citra kepolisian sudah hancur terkait dengan tindakan lembaga tersebut berencana menjemput paksa penyidik KPK Kompol Novel.

Logikanya adalah seandainya yang dituduhkan kepada Novel itu benar, sesungguhnya bukan KPK yang dicemarkan melainkan justru Polri, yang seolah-olah menampar muka sendiri. Rasionalisasinya adalah, pertama; kasus itu menunjukkan kelemahan kinerja dan kontrol Polri terhadap tindakan anggotanya yang melanggar hukum hingga harus butuh waktu 8 tahun untuk mengungkap kembali kasusnya yang secara logika tidak terlalu rumit.

Kedua; jika benar Novel terlibat, justru menunjukkan bahwa janji dan komitmen Polri untuk mengirim penyidik terbaik untuk KPK, menjadi terbantahkan. Bisa saja hal itu malah menghadirkan gambaran bahwa penyidik Polri yang diperbantukan ke KPK justru perwira yang pernah bermasalah.

Ketiga; menggunakan perspektif komunikasi politik, Polri tampak kurang bijak dan tidak cerdas menentukan momentum penangkapan.

Upaya penangkapan yang dilakukan saat dirinya berseteru dengan KPK pasti menimbulkan multiprasangka. Terlebih jika pihak yang dibidik adalah seseorang yang sedang menangani kasus yang melibatkan petinggi Polri.

Konflik antara KPK dan Polri yang makin memanas tidak bisa dibiarkan. Saatnya kita berharap Presiden SBY bangkit dari istana, memediasi tanpa mengintervensi, dan memberi solusi.

Jangan salahkan mahasiswa dan pegiat antikorupsi bila yang memaksanya untuk bertindak. Sungguh, kasus Cicak versus Buaya jilid II sudah di depan mata. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar