Pilihan
Blunder Polri
Andy Suryadi ; Dosen,
Pegiat di Pusat Kajian Kepolisian FIS Unnes
|
SUARA
MERDEKA, 09 Oktober 2012
POLEMIK terbuka antara KPK dan Polri berkait
perkembangan pengusutan dugaan korupsi pada proyek simulator SIM kian memanas
dan menjurus tidak sehat. Konflik terbaru dipicu oleh penggeledahan KPK
terhadap kantor Korlantas Mabes Polri pada 30 Juli 2012. Sebelum itu, eskalasi
persoalan dimulai dari perebutan penanganan kasus, penetapan tersangka, hingga
penarikan 20 penyidik KPK yang berasal dari Polri.
Benih-benih ketidakharmonisan itu mencapai
puncak pada Jumat, 5 Oktober 2012 sekitar pukul 20.00 ketika sejumlah polisi
berseragam dan berpakaian bebas mendatangi kantor KPK.
Mereka akan menjemput paksa Kompol Novel
Baswedan, penyidik KPK dari Polri, yang tergabung dalam tim yang menangani
kasus Irjen Pol Djoko Susilo, mantan Kakorlantas.
Novel akan dijemput paksa karena, menurut
Dirkrimum Polda Bengkulu Kombes Pol Dedy Irianto, perwira itu tahun 2004
melakukan memproses perkara 6 tersangka pencuri sarang burung walet di
Bengkulu. Salah satu di antara tersangka itu tewas tertembak. Saat itu Novel
menjabat kasatserse di polres dengan pangkat iptu.
Ada beberapa pertanyaan yang mengemuka di
ruang publik dalam menyikapi kasus Novel. Pertama; kenapa kasus itu ditimpakan
saat Novel ikut dalam tim penyidik kasus yang menimpa salah seorang petinggi
Polri. Apakah ini sesuatu yang bersifat kebetulan ataukah memang ada upaya
memberi terapi kejut supaya Novel mau bersikap lebih manis?
Kedua; kenapa kasus yang terjadi 8 tahun lalu
(tahun 2004) baru diungkap sekarang, lalu apa saja yang dilakukan Polri,
minimal di tingkat Polres dan Polda Bengkulu, sepanjang waktu itu? Bukankah
barang bukti, rekan kerja, dan kawanan pencuri itu saat itu masih di bawah
kendali Polri?
Jangan-jangan kasus tersebut aktu itu memang
berusaha ditutup-tutupi karena Novel saat itu masih menjadi anak manis, dan
baru diungkit ketika dia bertindak tegas terkait dengan pengusutan kasus di
institusi asalnya?
Kombes Pol Dedy Irianto yang memimpin rencana
penangkapan secara paksa Novel di gedung KPK berdalih kasus tersebut memang
baru dibuka setelah ada desakan dari LSM dan korban. Dia menampik rencana
penangkapan perira itu terkait dengan penanganan kasus simulator SIM, yang
penyidikannya melibatkan Novel, dalam kapasitas sebagai penyidik KPK.
Jawaban Deny masih melahirkan pertanyaan
baru, semisal apakah LSM dan keluarga korban benar-benar mendesak kasus itu
kembali dibuka dalam arti ada novum? Atau sebaliknya, bahwa Polri proaktif
meminta LSM dan korban membuat laporan supaya Polda Bengkulu bisa kembali
membuka kasus lama tersebut.
Publik melihat ada keganjilan terkait rencana
penjemputan paksa Novel. Mereka menangkap ada pesan khusus, semisal semacam
warning bagi anggota Polri yang lain yang lebih memilih menjadi penyidik di
KPK, atau tak mau diajak kompromi. Jika mereka mau berkompromi maka limpahan
penghargaan, berupa kenaikan pangkat atau promosi jabatan, sudah menanti.
Langkah
Blunder
Penulis berpendapat apa yang terjadi pada
Jumat malam lalu di gedung KPK merupakan langkah blunder Polri. Korps berbaju
cokelat tersebut dapat saja membela diri dengan mengatakan bahwa kasus Novel
murni pidana umum dan tak terkait dengan perseteruan antara KPK dan Polri.
Namun dalam situasi memanasnya hubungan dua
lembaga penegak hukum itu, ditambah kepercayaan publik terhadap Polri berada di
titik nadir maka pembelaan apapun akan terasa sebagai apologia, bahkan makin
menyudutkan posisi Polri.
Harian ini (www.suaramerdeka.com, 06/10/12)
mengunggah pernyataan mantan Panglima TNI Endriartono Sutarto yang pada intinya
menyebutkan citra kepolisian sudah hancur terkait dengan tindakan lembaga
tersebut berencana menjemput paksa penyidik KPK Kompol Novel.
Logikanya adalah seandainya yang dituduhkan
kepada Novel itu benar, sesungguhnya bukan KPK yang dicemarkan melainkan justru
Polri, yang seolah-olah menampar muka sendiri. Rasionalisasinya adalah,
pertama; kasus itu menunjukkan kelemahan kinerja dan kontrol Polri terhadap
tindakan anggotanya yang melanggar hukum hingga harus butuh waktu 8 tahun untuk
mengungkap kembali kasusnya yang secara logika tidak terlalu rumit.
Kedua; jika benar Novel terlibat, justru
menunjukkan bahwa janji dan komitmen Polri untuk mengirim penyidik terbaik
untuk KPK, menjadi terbantahkan. Bisa saja hal itu malah menghadirkan gambaran
bahwa penyidik Polri yang diperbantukan ke KPK justru perwira yang pernah
bermasalah.
Ketiga; menggunakan perspektif komunikasi
politik, Polri tampak kurang bijak dan tidak cerdas menentukan momentum
penangkapan.
Upaya penangkapan yang dilakukan saat dirinya
berseteru dengan KPK pasti menimbulkan multiprasangka. Terlebih jika pihak yang
dibidik adalah seseorang yang sedang menangani kasus yang melibatkan petinggi
Polri.
Konflik antara KPK dan Polri
yang makin memanas tidak bisa dibiarkan. Saatnya kita
berharap Presiden SBY bangkit dari istana, memediasi tanpa mengintervensi, dan
memberi solusi.
Jangan salahkan mahasiswa dan pegiat
antikorupsi bila yang memaksanya untuk bertindak. Sungguh, kasus Cicak versus
Buaya jilid II sudah di depan mata. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar