Distorsi
Otonomi
Irfan Ridwan Maksum ; Anggota
DPOD RI,
Guru Besar
Tetap Ilmu Administrasi Negara FISIP UI dan UMJ
|
SINDO,
11 Oktober 2012
Perdebatan mengenai desain dan
praktik otonomi daerah di Indonesia kini diliputi oleh pertanyaan mengenai
betulkah otonomi daerah itu berasal dari presiden. Diskursus tersebut mencuat terkait dengan
revisi UU pemda yang sedang digodok di DPR. Namun,diskusi semacam ini
berpotensi membuat salah paham pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia makin
besar. Untuk itu, perlu disikapi secara serius. Desentralisasi sebagai sumber
penyerahan urusan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang tertuang dalam
Rancangan Revisi UU Pemda oleh sebagian kalangan dinilai hanya berada di dalam
kekuasaan eksekutif.
Mereka prihatin atas praktik otonomi di Indonesia yang semakin dibatasi. Akibatnya mereka mengarahkan agar otonomi tetap sesuai UUD harus berada dalam ranah pemerintahan nasional, tidak hanya kekuasaan eksekutif semata. Ranah pemerintahan nasional yang dipahami tersebut dapat dibenarkan dalam arti dari segi dinamika nasional pengambilan kebijakan memutuskan wewenang apa saja yang diserahkan kepada daerah otonom.
Karena melibatkan masyarakat Indonesia dan pengambilan kebijakan melalui UU berada dalam level ”political authority” sudah tentu harus melibatkan DPR (legislatif) bukan hanya pemerintah (eksekutif). Namun, materi urusan yang diserahkan kepada daerah adalah domain eksekutif semata. Daerah hanya mengerjakan urusan-urusan eksekutif semata dan tidak di bidang kekuasaan lainnya.
Bibit Federalisme
Di dalam praktik negara maju, pemerintahan daerah menjalankan otonominya hanya dalam bidang kekuasaan eksekutif semata. Adapun proses legislasi itu bagian dari pengertian otonomi itu sendiri yang terdiri atas proses mengatur yang diwujudkan adanya legislasi dan mengurus dengan adanya keputusankeputusan penetapan untuk penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat daerah.
Dengan demikian, bukan berarti ada DPRD itu simbol ada pendesentralisasian wewenang legislatif di tingkat nasional. Kemungkinan besar pemahaman di atas terdistorsi oleh praktik di negara bagian dalam sebuah negara federal yang memang keberadaan lembaga pengaturnya diwujudkan dengan adanya parlemen yang setara dengan parlemen di tingkat nasional. Biasanya disebut senat negara bagian.
Apakah dasar pembentukan daerah otonom dengan UU berarti otonomi itu berada dalam domain pemerintahan nasional dalam arti menyangkut bidangbidang kekuasaan yang tidak sekedar pemerintah (eksekutif) semata? Dalam ranah pengaturan (governance) nasional betul. Membentuk daerah otonom harus melibatkan wakil rakyat di tingkat nasional karena pengotonomian menyangkut masyarakat meskipun urusan-urusan yang nanti diemban hanya berada dalam lingkup eksekutif. Rasa-rasanya sulit untuk menunjukkan bukti praktik di negara mana urusan dalam otonomi itu bisa berada di luar bidang eksekutif.
Dalam UU Pemda terdapat dasar dan norma umum untuk menjadi acuan bagi pengaturan lebih rinci mengenai proses pembentukan daerah otonom tersebut. Pemerintah Pusat berkewajiban merincinya dalam peraturan pemerintah (PP). Hal ini sebaiknya tidak diartikan UU pembentukan daerah otonom tertentu merujuk peraturan perundangan yang lebihrendah.Tetapi,sangatmungkin jika PP tersebut diadopsi langsung dalam UU Pemda untuk menghindari pemahaman seperti disebutkan oleh banyak kalangan belakangan ini.
Namun, jika ini terjadi,UU Pemda akan berisi banyak hal secara detail.Bukankah logika hukum dibangun atas dasar proses hierarki yang makin rinci? Nanti proses menjalankan otonomi daerah di level pemerintahan daerahnya melalui sejumlahperaturandaerah (perda) di masing-masing tempat bahkan harus bersandarkan pada hukum di tingkat nasional. Penentuan perda itu dibuat atas kerja sama antara DPRD dan pemerintah daerah. Dua lembaga tersebut adalah pemegang ”political authority” di tingkat lokal.
Idealnya karena mewakili masyarakat yang mendapat otonomi, harus diisi melalui proses politik untuk mengakomodasi nilai demokrasi dan dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi pemerintahan nasional. Tetapi, nilai kemampuan menerjemahkan kebijakan nasional lebih diprioritaskan. Bangsa Indonesia sejak Reformasi mengidamkan nilai demokrasi semakin tinggi dalam praktik pemerintahan. Dengan demikian, sangat beralasan jika DPRD sebagai wakil rakyat diisi melalui pemilu. Daya tampung akan kekhasan daerah dalam desain otonomi seperti di atas apakah bermasalah?
Sebetulnya dalam otonomi terkandung kebebasan dalam koridor hukum nasional. Sepanjang urusan tertentu sudah diotonomikan, seharusnya setiap daerah berlomba berbeda dari daerah otonom lainnya. Namun, di kalangan bangsa Indonesia juga masih belum cukup sehingga muncul wacana desentralisasi asimetris.
Dalam makna seperti ini seandainya diadopsi dalam praktik NKRI, tetap mengikuti pemahaman bahwa urusan itu dipancarkan dalam ranah kekuasaan eksekutif semata yang selanjutnya tergantung dari asimetrisitasnya. Jika sampai pada ranah bidang kekuasaan di luar eksekutif, tampak terdapat bibit-bibit federalisme. Otonomi bergerak ke arah kedaulatan yang jelas berbeda konstruksi organ negaranya. Kita wajib merenunginya dengan seksama. ●
Mereka prihatin atas praktik otonomi di Indonesia yang semakin dibatasi. Akibatnya mereka mengarahkan agar otonomi tetap sesuai UUD harus berada dalam ranah pemerintahan nasional, tidak hanya kekuasaan eksekutif semata. Ranah pemerintahan nasional yang dipahami tersebut dapat dibenarkan dalam arti dari segi dinamika nasional pengambilan kebijakan memutuskan wewenang apa saja yang diserahkan kepada daerah otonom.
Karena melibatkan masyarakat Indonesia dan pengambilan kebijakan melalui UU berada dalam level ”political authority” sudah tentu harus melibatkan DPR (legislatif) bukan hanya pemerintah (eksekutif). Namun, materi urusan yang diserahkan kepada daerah adalah domain eksekutif semata. Daerah hanya mengerjakan urusan-urusan eksekutif semata dan tidak di bidang kekuasaan lainnya.
Bibit Federalisme
Di dalam praktik negara maju, pemerintahan daerah menjalankan otonominya hanya dalam bidang kekuasaan eksekutif semata. Adapun proses legislasi itu bagian dari pengertian otonomi itu sendiri yang terdiri atas proses mengatur yang diwujudkan adanya legislasi dan mengurus dengan adanya keputusankeputusan penetapan untuk penyediaan barang dan jasa bagi masyarakat daerah.
Dengan demikian, bukan berarti ada DPRD itu simbol ada pendesentralisasian wewenang legislatif di tingkat nasional. Kemungkinan besar pemahaman di atas terdistorsi oleh praktik di negara bagian dalam sebuah negara federal yang memang keberadaan lembaga pengaturnya diwujudkan dengan adanya parlemen yang setara dengan parlemen di tingkat nasional. Biasanya disebut senat negara bagian.
Apakah dasar pembentukan daerah otonom dengan UU berarti otonomi itu berada dalam domain pemerintahan nasional dalam arti menyangkut bidangbidang kekuasaan yang tidak sekedar pemerintah (eksekutif) semata? Dalam ranah pengaturan (governance) nasional betul. Membentuk daerah otonom harus melibatkan wakil rakyat di tingkat nasional karena pengotonomian menyangkut masyarakat meskipun urusan-urusan yang nanti diemban hanya berada dalam lingkup eksekutif. Rasa-rasanya sulit untuk menunjukkan bukti praktik di negara mana urusan dalam otonomi itu bisa berada di luar bidang eksekutif.
Dalam UU Pemda terdapat dasar dan norma umum untuk menjadi acuan bagi pengaturan lebih rinci mengenai proses pembentukan daerah otonom tersebut. Pemerintah Pusat berkewajiban merincinya dalam peraturan pemerintah (PP). Hal ini sebaiknya tidak diartikan UU pembentukan daerah otonom tertentu merujuk peraturan perundangan yang lebihrendah.Tetapi,sangatmungkin jika PP tersebut diadopsi langsung dalam UU Pemda untuk menghindari pemahaman seperti disebutkan oleh banyak kalangan belakangan ini.
Namun, jika ini terjadi,UU Pemda akan berisi banyak hal secara detail.Bukankah logika hukum dibangun atas dasar proses hierarki yang makin rinci? Nanti proses menjalankan otonomi daerah di level pemerintahan daerahnya melalui sejumlahperaturandaerah (perda) di masing-masing tempat bahkan harus bersandarkan pada hukum di tingkat nasional. Penentuan perda itu dibuat atas kerja sama antara DPRD dan pemerintah daerah. Dua lembaga tersebut adalah pemegang ”political authority” di tingkat lokal.
Idealnya karena mewakili masyarakat yang mendapat otonomi, harus diisi melalui proses politik untuk mengakomodasi nilai demokrasi dan dalam rangka mewujudkan proses demokratisasi pemerintahan nasional. Tetapi, nilai kemampuan menerjemahkan kebijakan nasional lebih diprioritaskan. Bangsa Indonesia sejak Reformasi mengidamkan nilai demokrasi semakin tinggi dalam praktik pemerintahan. Dengan demikian, sangat beralasan jika DPRD sebagai wakil rakyat diisi melalui pemilu. Daya tampung akan kekhasan daerah dalam desain otonomi seperti di atas apakah bermasalah?
Sebetulnya dalam otonomi terkandung kebebasan dalam koridor hukum nasional. Sepanjang urusan tertentu sudah diotonomikan, seharusnya setiap daerah berlomba berbeda dari daerah otonom lainnya. Namun, di kalangan bangsa Indonesia juga masih belum cukup sehingga muncul wacana desentralisasi asimetris.
Dalam makna seperti ini seandainya diadopsi dalam praktik NKRI, tetap mengikuti pemahaman bahwa urusan itu dipancarkan dalam ranah kekuasaan eksekutif semata yang selanjutnya tergantung dari asimetrisitasnya. Jika sampai pada ranah bidang kekuasaan di luar eksekutif, tampak terdapat bibit-bibit federalisme. Otonomi bergerak ke arah kedaulatan yang jelas berbeda konstruksi organ negaranya. Kita wajib merenunginya dengan seksama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar